Sukses

HEADLINE: Pernyataan G7 Bikin China Meradang, Efeknya ke Demo Hong Kong?

Untuk kali pertama, setelah aksi lebih dari dua bulan, letusan senjata api memecah demonstrasi di Hong Kong akhir pekan lalu.

Liputan6.com, Hong Kong - Untuk kali pertama, setelah aksi lebih dari dua bulan, letusan senjata api memecah demonstrasi di Hong Kong akhir pekan lalu. Protes anti-pemerintah ini pun telah mencapai titik krisis terburuk dalam sejarah Tiongkok, yang memerintah eks-koloni Inggris itu sejak 1997.

Demonstrasi tak berujung di Hong Kong sontak menjadi salah satu pembahasan dalam pertemuan puncak kelompok G7 --yang berisi tujuh negara ekonomi terbesar dunia-- di Biarritz, Prancis.

Awalnya, unjuk rasa Hong Kong yang dimulai sejak 31 Maret 2019, dan semakin intens lebih dari dua bulan terakhir, bertujuan mendesak dihapusnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi, yang memungkinkan tersangka dipindah dan diadili ke China Daratan secara sepihak.

Meski RUU Ekstradisi telah ditangguhkan pada pertengahan Juni lalu, namun protes masih terus berlanjut, kali ini dengan tujuan meluas kepada isu anti-pemerintah. Demonstran mengkritik keras pengaruh China yang kian besar di Hong Kong, dan mendesak kota tersebut tetap otonom sesuai perjanjian pengembalian dari Inggris pada 1997 silam.

Beberapa bulan berselang, desakan serupa diserukan para pemimpin negara G7 pada penutupan KTT kelompok itu pada Senin 26 Agustus. Mereka meminta agar Hong Kong tetap otonom sesuai perjanjian 1984, yang memulai proses pembentukan konsep "satu negara, dua sistem".

Infografis Gejolak Panjang di Hong Kong. (Liputan6.com/Triyasni)

"G7 menegaskan kembali keberadaan dan pentingnya Perjanjian China-Inggris 1984 tentang Hong Kong, dan seruan untuk menghindari kekerasan," menurut pernyataan bersama pada akhir pertemuan puncak G7 di Biarritz, Prancis.

Pertemuan itu juga mengimbau agar kondisi di Hong Kong tetap damai, demikian Channel News Asia melansir pada Selasa 27 Agustus.

Dalam kesempatan yang sama, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan para pemimpin G7 --yakni Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, Jerman, Italia, dan Jepang-- semuanya menyatakan "keprihatinan mendalam" tentang situasi di Hong Kong.

"Negara-negara G7 semua ingin mendukung Hong Kong yang stabil dan makmur, dan kami secara kolektif berkomitmen pada kerangka satu negara dua sistem," tandas Johnson.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 6 halaman

Tanggapan Keras China

Di lain pihak, China telah menyuarakan "ketidaksukaan" terhadap pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh para pemimpin G7, dalam mendukung otonomi Hong Kong dan menyerukan ketenangan di tengah protes yang belum juga berakhir.

"Kami menyatakan ketidakpuasan yang kuat dan penentangan tegas terhadap pernyataan yang dibuat oleh para pemimpin KTT G7 tentang urusan Hong Kong," kata Geng Shuang, juru bicara Kementerian Luar Negeri China pada sebuah konferensi pers di Beijing, Selasa 27 Agustus.

"Kami telah berulang kali menekankan bahwa urusan Hong Kong adalah murni urusan dalam negeri China, dan bahwa tidak ada pemerintah asing, organisasi atau individu yang memiliki hak untuk melakukan intervensi," lanjutnya sebagaimana diwartakan di hari yang sama oleh Al Jazeera.

Ditambahkan oleh Geng, pernyataan G7 itu "mencampuri" dan "menyembunyikan niat jahat" terhadap kondisi Hong Kong dan kaitannya dengan China sebagai induk pemerintahnya.

Namun sejauh ini, otoritas China belum melakukan intervensi atas berbagai protes yang diikuti oleh kerusuhan di Hong Kong.

Meski begitu, China telah meningkatkan retorika terhadap demonstran, yang memicu kekhawatiran bahwa pemerintah Beijing dapat bertindak secara militer untuk memadamkan protes.

Sebelumnya, Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengatakan bahwa protes anti-pemerintah semakin meluas, tetapi pihaknya yakin dapat menangani sendiri krisis itu.

Berbicara pada Minggu 25 Agustus, pertama kali sejak eskalasi protes memicu penggunaan meriam air oleh polisi terhadap demonstran, Lam menyerukan rekonsiliasi di tengah masyarakat Hong Kong.

"Kita harus mempersiapkan rekonsiliasi di masyarakat melalui komunikasi dengan orang-orang yang berbeda ... Kami ingin mengakhiri situasi kacau di Hong Kong," katanya, seperti dilansir oleh South China Morning Post pada Senin kemarin.

Lam mengatakan pemerintah memiliki "toleransi nol" untuk kekerasan, dan akan menindaklanjuti "semua kegiatan ilegal".

Carri Lam juga tetap menolak penghapusan penuh RUU Ekstradisi, dan mengatakan waktunya tidak tepat ketika kekerasan terus terjadi di jalan-jalan Hong Kong.

Sementara itu, lebih banyak unjuk rasa telah direncanakan dalam beberapa hari mendatang, di mana menurut banyak pengamat, menghadirkan tantangan langsung ke Beijing menjelang peringatan 70 tahun berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober nanti.

3 dari 6 halaman

Kata Analis soal Reaksi Internasional

Negara-negara G7 telah bereaksi terhadap demonstrasi Hong Kong. Namun, mereka bukan yang pertama. Inggris dan Amerika Serikat juga telah mengeluarkan komentar yang menyatakan keprihatinannya atas demonstrasi berlarut.

Muncul pertanyaan bahwa reaksi G7 bisa memicu efek riak dari komunitas internasional lain dan memicu semakin banyaknya tekanan dunia terhadap Tiongkok sekaligus menyuarakan dukungan untuk Hong Kong.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Darang S Candra menjelaskan, meski ada pernyataan sikap dari komunitas internasional, namun, komentar itu hanyalah angin lalu bagi Beijing.

"Pertama, isu Hong Kong adalah persoalan domestik China. Dan komunitas internasional mengakui bahwa Hong Kong merupakan bagian dari kedaulatan China, sesuai prinsip one country, two system," Darang membuka argumennya ketika dihubungi Liputan6.com, Rabu 28 Agustus 2019.

"Ketika komunitas internasional, termasuk G7, mengeluarkan pernyataan untuk menekan China terkait isu Hong Kong, sejatinya kembali lagi ke China apakah mereka akan menyanggupi tekanan itu."

Karena bagaimanapun, intervensi langsung komunitas internasional ke Hong Kong tidak akan bisa, mengingat statusnya yang merupakan bagian dari kedaulatan China.

"Mereka mungkin hanya bisa mengeluarkan pernyataan yang 'aman', menahan diri, normalisasi situasi, dan lain sebagainya," lanjut Darang.

Tentang kehati-hatian komunitas internasional dalam merespons isu tersebut, kata Darang, juga dipengaruhi oleh relasi ekonomi antara China dengan para anggota G7, atau bahkan, negara lain. "Ini realpolitik," jelasnya.

"Ada perang dagang AS-China misalnya, yang pada akhirnya hanya membuat Presiden Donald Trump telah lebih awal mengeluarkan pernyataan yang 'keras namun main aman' soal isu Hong Kong."

"Kalau mereka mengeluarkan pernyataan keras mungkin bisa mempengaruhi jalannya perundingan negosiasi untuk mengakhiri perang dagang antara kedua negara."

Di samping AS, anggota G7 lain juga memiliki hubungan dagang dan ekonomi yang saling ter-interdependensi (terikat) satu sama lain.

"Makanya mereka cenderung main aman," nilai Darang.

Namun, tidak menutup kemungkinan jika negara anggota G7 mengambil opsi bilateral, sendiri-sendiri, untuk kemudian mengembargo Beijing di luar platform G7.

"Secara teoritis dan historis bisa," kata Darang.

"Ambil contoh bagaimana AS mengembargo Iran usai Revolusi Islam Iran 1979 atau AS mengembargo militer Indonesia terkait isu Timor Leste 1991."

"Tapi, tidak seperti Iran atau Indonesia; China dan anggota G7, bahkan negara lain, punya hubungan interdependensi ekonomi-dagang yang timpal-balik, terikat, dan kuat."

"Jadi, kedua belah pihak akan cenderung main aman. Kecuali, kalau mereka berani ambil risiko dengan pertaruhan akan merusak hubungan dagangnya dengan China. Termasuk sebaliknya China, yang main 'aman' dalam merespons demo di Hong Kong demi mempertahankan relasi dagang dan ekonomi dengan anggota G7," tambah Darang.

Faktor ekonomi tegas Darang, menjadi penghambat bagi komunitas internasional untuk mengintervensi langsung China terkait isu Hong Kong. Indonesia juga dinilai turut meengikuti arus, mengingat "China merupakan mitra dagang pentingnya di Asia."

"Pemerintah juga bisa merugi jika China menarik investasinya sebagai dampak dari tekanan kita kepada Beijing terkait isu Hong Kong."

"Moral highground-nya juga kurang, karena China bisa membalas dengan isu domestik kita, seperti Papua," tutup Darang.

Jangan Pandang Sebelah Mata Kelompok G7

Analis berbeda mengatakan bahwa G7 bisa efektif menekan China terkait isu Hong Kong. Menurut Dr Siti Mutiah Setiawati, MA, dosen program studi Hubungan Internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, dukungan para pemimpin negara G7 terhadap otonomi Hong Kong tidak bisa dipandang sebelah mata.

"Tidak hanya kuat secara ekonomi, kelompok G7 juga punya pengaruh tidak main-main di perpolitikan dunia. Meski China punya independensi sendiri berkat ekonominya yang sangat maju, tapi jangan lupa kalau G7 punya beberapa negara anggota yang jadi punggawa terdepan Uni Eropa, salah satu kelompok regional yang terkenal solid dan mampu memberi tekanan besar pada isu-isu tertentu, termasuk Hong Kong," ungkap Siti dalam sambungan telepon kepada Liputan6.com.

"Hal itu seharusnya bisa memberi tekanan maksimum agar Hong Kong tetap otonom sebagaimana yang diserukan pada penutupan KTT G7 kemarin," lanjutnya.

Seperti yang telah disinggung di atas, Siti mengakui bahwa memang China tidak mudah ditundukkan, tapi tetap ada kemungkinan positif terhadapnya.

"Seperti tragedi Tiananmen pada tahun 1989, China akhirnya mau membebaskan para aktivis setelah desakan berulang dari dunia internasional. Itu membutuhkan waktu cukup lama, tapi memperlihatkan China bisa berkompromi dengan berbagai tekanan. Mungkin ini juga bisa terjadi pada kasus Hong Kong, kita tidak tahu," sambung Siti.

"Bisa jadi butuh setahun, dua atau tiga tahun untuk tercapainya kesepakatan tertentu yang mengakhiri gelombang protes Hong Kong, tapi tidak menutup kemungkinan seruan G7 akan memengaruhi opini global terhadap kondisi di Hong Kong," pungkasnya.

4 dari 6 halaman

Dipicu Kasus Pembunuhan

Sebelum protes massal di jalan, gas air mata dan bentrokan dengan polisi; sebelum pemerintah mengeluarkan semua peraturan yang dapat mengancam status khusus Hong Kong di Tiongkok, dan kemudian secara tiba-tiba menundanya; seorang perempuan muda yang sedang hamil dan kekasihnya berlibur ke Taiwan. Keduanya asal Hong Kong.

Namun, Poon Hiu-wing (20) tidak pernah kembali ke Hong Kong dari perjalanan liburan Hari Valentine tahun lalu. Pacarnya, Chan Tong-kai (19), pulang sendirian tanpa sang kekasih.

Dan setelah itu, sebuah penyelidikan atas kasus pembunuhan perempuan tersebut mencuat.

Chan Tong-kai kemudian mengaku kepada polisi Hong Kong bahwa dia telah mencekik kekasihnya hingga tewas, memasukkan ke dalam koper, dan membuang jasad Poon Hiu-wing di semak-semak dekat stasiun kereta bawah tanah di Taipei, ibu kota Taiwan.

Awalnya itu hanya cerita kriminal lokal, marak muncul di tabloid-tabloid yang membingkainya sebagai kasus kekerasan dalam berpacaran para muda-mudi.

Namun tak dinyana, kasus pembunuhan tersebut menjadi pemicu rangkaian demonstrasi terbesar dalam sejarah Hong Kong.

Pada Februari 2019, hampir setahun setelah penangkapan Chan Tong-kai, pemerintah Hong Kong menolak mengekstradisi tersangka ke Taiwan. Alasannya, kurangnya perjanjian ekstradisi dengan Taiwan.

Kasus pembunuhan itu kemudian dijadikan alat kampanye yang tergesa-gesa oleh pemerintah untuk mendorong RUU Ekstradisi atau bernama resmi The Fugitive Offenders and Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Legislation (Amendment) Bill 2019.

RUU tersebut akan memungkinkan pihak berwenang di China daratan, Taiwan, dan Makau mengekstradisi tersangka yang dituduh melakukan kejahatan seperti pembunuhan dan pemerkosaan.

Kepala eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, dan atasannya dalam kepemimpinan China tampak yakin mereka memiliki strategi untuk meloloskan undang-undang. Lam juga menyebut bahwa RUU Ekstradisi akan membantu wilayah semi-otonomi China untuk menegakkan keadilan dan memenuhi kewajiban internasionalnya dalam hal mencegah Hong Kong sebagai lokasi safe haven para buron kriminal internasional.

Akan tetapi, mereka meremehkan ketakutan dan kecurigaan publik terhadap Beijing, memprovokasi protes terbesar Hong Kong dalam beberapa dekade sementara juga kembali membangkitkan kelompok pro-demokrasi yang sempat senyap di wilayah itu sejak Protes Payung 2014.

Para pengkritik RUU dan kelompok pro-demokrasi melihat produk hukum itu sebagai bagian dari pengikisan kebebasan sipil mereka --yang sejak lama dipandang sebagai keuntungan dan pembeda utama Hong Kong dari daratan Tiongkok.

Lebih lanjut, para pengkritik mengatakan bahwa undang-undang akan menempatkan penduduk Hong Kong dalam risiko terperangkap dalam sistem peradilan China yang mereka nilai "keruh", di mana para terdakwa dapat menghadapi proses hukum yang tidak adil dalam suatu sistem di mana sebagian besar pengadilan pidana berakhir dengan vonis hukuman.

Hal itu juga memacu kritik bahwa sistem peradilan Tiongkok tidak akan menjamin hak yang sama bagi para terdakwa layaknya di Hong Kong.

Lam akhirnya menyerah pada tekanan publik, menunda undang-undang tersebut "hingga waktu yang tidak ditentukan" namun menolak tuntutan massa yang ingin agar RUU tamat sepenuhnya dan pengunduran diri sang kepala eksekutif.

Sementara itu, pejabat Taiwan mengatakan pada Mei 2019 bahwa mereka tidak akan meminta ekstradisi Chan Tong-kai, pelaku pembunuhan Poon Hiu-wing di Taiwan, berdasarkan RUU yang diusulkan oleh Hong Kong.

Penolakan mereka menggemakan apa yang diserukan oleh warga Hong Kong, bahwa RUU tersebut berpotensi memerangkap wilayah yang tengah bersengketa atas hak kedaulatan Pulau Formosa dengan Beijing dalam sistem peradilan China.

5 dari 6 halaman

Akankah Hong Kong Berujung Seperti Tiananmen?

Di Tiongkok, terakhir kali protes massa sebesar di Hong Kong seperti tahun ini terjadi pada 1989 --yang dikenal sebagai Protes Tiananmen. Demografi dan tuntutan para demonstran pada saat itu hampir serupa: menyerukan demokrasi.

Namun, protes di Tiananmen tahun 1989 berujung menjadi tragedi. China mengerahkan militer untuk meredam, bahkan menumpas demonstran.

Kini, kekhawatiran kejadian itu bisa terulang terasa di Hong Kong, terlebih, setelah muncul laporan bahwa China mengerahkan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) ke perbatasan dekat Hong Kong pekan ini.

PLA juga memiliki pasukan di Hong Kong. Namun, status otonomi khusus di wilayah itu, sampai saat ini, masih mencegah tentara China untuk turun tangan meredam massa. Tapi pertanyaannya, sampai kapan Beijing menahan diri untuk tidak mengintervensi pergolakan di sana? Dan apakah protes di Hong Kong bisa berujung menjadi tragedi seperti di Tiananmen 1989?

"Ada kekhawatiran bahwa itu (kejadian seperti di Tiananmen) bisa terjadi di Hong Kong," kata Mark Almond, Director of the Crisis Research Institute yang berbasis di Oxford, Inggris, seperti dikutip dari Daily Mail, Kamis (15/8/2019).

Tapi Almond mengatakan bahwa Beijing sendiri tidak menginginkan kejadian di Tiananmen 1989 terulang di Hong Kong.

"Memang, apa yang dilakukan para pengunjuk rasa Hong Kong adalah mengusik otoritas Presiden Xi Jinping. Mereka menekankan bahwa mereka bukan orang China," jelasnya.

"Tapi yang paling diinginkan Beijing adalah agar para pengunjuk rasa mundur tanpa keterlibatannya ... Pertumpahan darah di jalanan Hong Kong tidak diinginkan. Tidak seperti pada tahun 1989, kepemimpinan Komunis Tiongkok tidak secara langsung terancam oleh protes yang berada 1.200 mil jauhnya, juga tidak ada tanda-tanda 'penularan' pembangkangan di Hong Kong bisa menyebar ke China daratan," Almond memperkirakan.

Soal pengerahan pasukan China untuk meredam demonstrasi di Hong Kong, Almond juga memperkirakan bahwa hal tersebut tidak akan terjadi.

"Karena mereka (tentara China) akan dipandang sebagai penjajah dan bisa memprovokasi perang gerilya perkotaan," kata Almond.

"Itu akan menghancurkan ekonomi Hong Kong, pusat keuangan penting bagi Timur dan Barat, dan melepaskan banjir darah yang merusak reputasi China."

"Mitra dagang globalnya juga akan marah dengan dampak korban manusia dan implikasi yang bisa terjadi, sehingga mereka bisa urung untuk melakukan bisnis di sana," tutup Almond.

Sementara itu, pengamat lain menjelaskan bahwa kekhawatiran akan terjadinya Tiananmen jilid 2 di Hong Kong tidak boleh diremehkan.

Ketika beberapa analis berpendapat bahwa Beijing pada akhirnya akan menahan diri dari penggunaan kekerasan karena kekhawatiran atas reputasi globalnya atau pukulan balik domestik, namun, hal itu bisa saja merupakan sebuah 'sesat pikir', kata Jude Blanchett, kolumnis untuk outlet majalah hubungan internasional yang berbasis di AS, Foreign Policy.

Mengutip Kerry Brown dari King's College London, Blanchett menjelaskan bahwa "perlawanan domestik dan kecaman internasional bisa dikelola meski dengan harga yang mahal, demi mempertahankan sebuah otoritas politik yang saat ini goyah" di Hong Kong.

"Bagi kepemimpinan pemerintahan satu partai seperti di China, yang dipimpin oleh Partai Komunis dibawah otoritas Presiden Xi Jinping, penindakan keras terhadap Hong Kong adalah sebuah taruhan besar."

"Tapi, inti dari Partai Komunis China tentang prinsip integritas teritorial yang tak tertandingi dan argumen bahwa mereka mengganggap dirinya sebagai representatif 'seluruh orang-orang China' bisa mendorong terjadinya suatu pendindakan keras," ujar Blanchett, yang menjelaskan bahwa dengan argumentasi tersebut, respons represif Beijing bisa saja terjadi dan merupakan sebuah 'harga mahal' yang layak.

"Karena itu tidak mengherankan bahwa Beijing telah meningkatkan retorikanya terhadap para demonstran dalam sepekan terakhir, dengan menyamakan mereka sebagai teroris dan menyalahkan 'pasukan asing yang bermusuhan' untuk mengorganisir dan menghasut protes."

"Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Beijing siap untuk menghancurkan protes dengan kekuatan langsung atau apakah ancaman baru-baru ini hanya gertakan, dimaksudkan untuk menakuti baik para pengunjuk rasa dan pemerintahan Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam," tutup Blanchett.

6 dari 6 halaman

Kata Kemlu RI

Indonesia juga menjadi salah satu negara yang menaruh perhatian pada rangkaian demonstrasi di Hong Kong. Perhatian utama pemerintah RI adalah keselamatan para WNI dan pekerja migran Indonesia di sana.

Dalam imbauan terbarunya pada 28 Agustus 2019, KJRI Hong Kong menyarankan agar para WNI menghindari titik-titik demonstrasi yang dijadwalkan bakal terjadi hingga 3 September 2019.

"Berdasarkan informasi dari berbagai sumber yang diterima oleh KJRI Hong Kong ... disampaikan rencana aksi unjuk rasa di Hong Kong hingga 3 September 2019," kata KJRI Hong Kong dalam akun Facebook resminya.

"Harap hindari tempat-tempat demonstrasi tersebut di atas guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan."

"Silakan lapor aparat setempat atau KJRI Hong Kong jika memerlukan informasi atau bantuan di medsos: facebook.com/kjrihk dan WA Hotline : +852 6773 0466/ +852 5294 4184,"

Khusus terkait aksi di Bandara Internasional Hong Kong, para WNI calon penumpang juga diimbau untuk menghubungi maskapai masing-masing untuk kepastian status dan jadwal penerbangan.

"Help Desk Bandara KJRI Hong Kong bisa dihubungi melalui WA +852 6894 jika memerlukan informasi atau bantuan," lanjut KJRI.

Melengkapi, seorang diplomat Kementerian Luar Negeri RI yang berbicara kepada Liputan6.com dalam kondisi anonimitas dan untuk kepentingan latar belakang mengatakan bahwa Kemlu terus memantau kondisi di Hong Kong, "dengan perhatian utama kita adalah pada perlindungan WNI."

"Sejauh ini, imbauan kita mengikuti apa yang disampaikan KJRI Hong Kong," jelasnya seraya menambahhkan agar WNI tidak ikut-ikutan terkait isu politik di sana.

Ia juga menambahkan bahwa Indonesia berharap semua pihak terkait perihal demonstrasi, "senantiasa menahan diri dan mematuhi hukum."

Sementara itu, menilik kondisi Hong Kong saat ini, Pelaksana Tugas Konsul Jenderal Indonesia setempat, Mandala Sukarno Purba, kondisinya cenderung kondusif meski ada imbauan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) untuk tetap waspada hingga 3 Oktober mendatang, terkait masih berlangsung gelombang protes di sana.

"Protes di Hong Kong itu unik. Sekali terjadi, beberapa jam setelahnya kembali kondusif. Mereka tidak mau mengganggu aktivitas publik jika tidak terpaksa, itupun sangat jarang terjadi. Warga asing juga sangat dihargai," jelas Mandala lewat sambungan telepon kepada Liputan6.com.

Ditambahkannya, bahwa hingga saat ini, tidak ada laporan WNI yang menjadi korban dalam serangkaian protes dan kisruh di Hong Kong.

"Sejauh ini semua WNI di Hong Kong dalam kondisi aman, tapi kami tetap mengabarkan pantauan aktual tentang kondisi terbaru soal protes, memastikan warga kita terhindar dari kemungkinan buruk akibat demonstrasi," lanjutnya menegaskan.