Sukses

Bangladesh Hapus Aturan Pasang Status Keperawanan di Buku Nikah

Pengadilan Tinggi di Bangladesh memutuskan bahwa perempuan di negeri itu tidak perlu lagi mencantumkan kata "perawan" di akte pernikahan.

Liputan6.com, Dhaka - Dalam keputusan yang dianggap bersejarah, Pengadilan Tinggi di Bangladesh memutuskan bahwa perempuan di negeri itu tidak perlu lagi mencantumkan kata "perawan" di akte pernikahan.

Keputusan dikeluarkan setelah pertarungan hukum selama lima tahun yang dilancarkan oleh kelompok aktivis yang berusaha melindungi hak-hak perempuan dan kemungkinan mereka dipermalukan.

Sebelumnya UU Pernikahan di Bangladesh, mengharuskan wanita untuk mencantumkan status diri mereka di akte pernikahan apakah mereka "kumari" yang berarti perawan, janda (mati) atau sudah bercerai.

Namun dalam keputusannya hari Minggu 26 Agustus 2019, Pengadilan Tinggi memutuskan agar pemerintah mengganti kata "kumari" dengan kata "belum menikah," demikian seperti dikutip dari ABC Indonesia, Jumat (30/8/2019).

Menurut keputusan terbaru ini, calon suami juga harus menulis status mereka sebelum menikah apakah belum pernah menikah, bercerai, atau duda (mati)."

Belum ada keterangan dari pemerintah Bangladesh mengenai keputusan pengadilan dan kapan aturan baru ini akan diberlakukan.

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Kata Praktisi Hukum Bangladesh

Ainun Nahar Siddiqua, salah satu dari dua pengacara yang terlibat dalam pengajuan kasus ini di tahun 2014 yang meminta perubahan peraturan yang tercantum dalam UU Perkawinan dan Perceraian Muslim Bangladesh yang disahkan di tahun 1974.

"Keputusan ini memberikan keyakinan bahwa kami bisa berjuang dan menciptakan lebih banyak perubahan bagi perempuan Bangladesh di masa depan," kata Siddiqua dari sebuah lembaga LBH kepada Reuters.

"Kami mengajukan petisi karena menurut kami bertanya apakah seseorang itu perawan atau tidak melanggar hak-hak pribadi seseorang."

Mohammad Ali Akbar Sarker, petugas Kantor Catatan Sipil di ibukota Bangladesh Dhaka mengatakan kepada Reuters bahwa petugas seperti dirinya masih menunggu petunjuk dari Kementerian Hukum mengenai perubahan yang dilakukan.

"Saya sudah menyaksikan banyak pernikahan di Dhaka, dan saya sering ditanya mengapa laki-laki tidak perlu mencantumkan status mereka sebelum pernikahan, sementara perempuan harus." kata Sarker.

"Saya selalu mengatakan kepada mereka bukan saya yang membuat aturan tersebut. Sekarang saya kira saya tidak akan lagi mendapat pertanyaan itu."