Liputan6.com, Harare - Eks presiden Zimbabwe, Robert Mugabe, meinggal dunia pada usia 95 tahun, Jumat, 7 September 2019. Tak ada yang tahu penyebab kematian diktaktor Zimbabwe tersebut. Menurut keterangan keluarga, Mugabe dirawat di Singapura sejak April tahun lalu, tetapi merahasiakan penyakit yang dideritanya dari publik.
"Presiden kita telah mangkat," kata seorang warga setempat, Ernet Sibanda, dalam menanggapi berita duka tentang kematian presiden ke-2 Zimbabwe itu.
"Bagi saya, dia masih menjadi presiden kita, tetapi perasaan saya campur aduk. Dia adalah pemimpin pertama yang saya kenal sejak saya lahir dan saya membentuk keterikatan padanya sebagai seorang anak," imbuhnya, seperti dikutip dari Al Jazeera, Sabtu (8/9/2019).
Advertisement
Baca Juga
Pria yang berprofesi sebagai fotografer itu menambahkan: "Namun, saat saya tumbuh dewasa, saya mulai melihat kekacauan di Zimbabwe yang berakar dari dia ... negara ini berada dalam kekacauan yang bahkan lebih besar dari yang dibayangkan."
Mugabe memerintah Zimbabwe sejak negara di Afrika ini bebas dari kolonialisme pada 1980, hingga akhirnya ia digulingkan dalam kudeta de facto pada November 2017. Anak didik dan sekutu lamanya, Emmerson Mnangagwa, menggantikan Mugabe untuk menduduki kursi kepresidenan.
Warisan kepemimpinan Mugabe, yang hampir 40 tahun, telah membangkitkan reaksi beragam dari rakyat Zimbabwe.
Di Bulawayo, kota terbesar kedua di mana Mugabe bekerja sebagai guru sekolah selama era kolonial, orang-orang menyatakan belasungkawa mereka. Ada yang menyertakan rasa amarahnya, ada pula yang mengungkapkan kesedihannya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Simbol Penderitaan Zimbabwe dan Penghapusan Gap Gender
"Kami menderita ketika dia berkuasa," aku Isaac Maenzanise (47), seorang pedagang kaki lima, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dia tidak sedih ketika mendengar berita kematian Mugabe.
"Kami sangat tertindasa di bawah kakinya dan aku senang dia meninggal. Tuhan terlambat mengambil Mugabe, tetapi Dia (Tuhan) telah melakukannya dengan baik, akhirnya nyawa Mugabe dicabut," lanjutnya.
Ia menambahkan: "Saya tidak bisa mengatakan bahwa kami kini bebas, karena ZANU-PF masih berkuasa dan mereka masih memperlakukan kami (masyarakat kecil) dengan cara yang sama. Saya akan lebih senang jika mereka (ZANU-PF) juga bisa 'pergi' dengan cara yang sama."
ZANU-PF adalah Persatuan Nasional Afrika Zimbabwe-Front Patriotik, organisasi politik yang menjadi partai paling berkuasa di Zimbabwe sejak kemerdekaan 1980 --pendirinya adalah Robert Mugabe.
Akan tetapi, ada pula orang-orang yang merespons kematian Mugabe dengan sudut pandang berbeda.
Tanpa benci. Menurut mereka, kontribusi Mugabe terhadap perjuangan pembebasan Zimbabwe dari penjajahan dan peningkatan akses ke pendidikan di seluruh gender gap adalah salah satu pencapaian penting.
"Aku sedih, ayah kita telah meninggalkan kita. Aku tidak tahu seperti apa masa depan negara ini tanpa dia. Dia membebaskan negara ini dan bagiku, sebagai seorang wanita, aku bisa pergi ke sekolah. Hari ini, aku jadi tahu apa itu perempuan mandiri, sebab dia melakukan banyak hal untuk membantu kami (kaum Hawa) dalam mendapatkan kesetaraan dengan pria," ucap Sithandazile Dube, vendor berusia 33 tahun.
Advertisement
Kontribusi Positif
Isaac Maenzanise (47), seorang pedagang kaki lima, mengakui kontribusi positif Robert Mugabe sebagai seorang pemimpin yang kritis, tetapi gaya pemerintahannya memecah belah.
"Dia melakukan sesuatu yang baik untuk mencoba dan melindungi sumber daya alam Zimbabwe. Untuk itu, dia adalah orang yang hebat, tetapi ada banyak manipulasi otokratis yang kita saksikan," demikian anggapan Maenzanise.
"Administrasi internalnya salah, ia menggunakan etnisisme, ia menggunakan Mugabeisme, sebuah filosofi yang dapat diartikan sebagai sistem yang memilih rakyatnya sendiri. Bagi siapa saja yang sejalan dengan pemikirannya, itulah yang akan dipakai untuk membentuk pemerintahannya," lanjut Maenzanisme.
Keputusan untuk membayar veteran perang dan menyita pertanian komersial milik kulit putih, memicu era krisis ekonomi dan ketegangan politik.
Pada 2000-an, Zimbabwe dilanda hiperinflasi. Mata uang lokal dengan cepat kehilangan nilainya dan perekonomian negara menderita dengan adanya pengangguran massal ketika banyak industri ditutup.
Perlawanan sengit datang dari oposisi politik yang tangguh pada tahun 1999, Movement for Democratic Change (MDC), yang menantang perebutan lahan pertanian komersial yang disetujui negara.