Sukses

Pemakaman Robert Mugabe Jadi Seteru Keluarga dan Pemerintah Zimbabwe

Pejabat dan anggota keluarga berdebat tentang pengaturan pemakaman Robert Mugabe, mantan presiden Zimbabwe yang meninggal di Singapura pada Jumat 6 September 2019 dalam usia 95 tahun.

Liputan6.com, Harare - Pejabat dan anggota keluarga berdebat tentang pengaturan pemakaman Robert Mugabe, mantan presiden Zimbabwe yang meninggal di Singapura pada Jumat 6 September 2019 dalam usia 95 tahun.

Anggota berpangkat tinggi dari partai Zanu-PF yang berkuasa dipahami telah mengatakan kepada keluarga dekat Mugabe bahwa jenazahnya harus dimakamkan di sebuah monumen puncak bukit di luar ibu kota Harare, menyusul upacara persemayaman di stadion nasional terdekat yang akan dihadiri oleh para pemimpin negara-negara Afrika.

Namun teman-teman dan sekutu istri kedua Mugabe, Grace, mengatakan bahwa almarhum diktator itu menjelaskan bahwa dia akan lebih suka dimakamkan di kota asalnya Zvimba, sekitar 60 mil dari Harare, dengan hanya kerabat dekat yang hadir.

Mereka mengatakan bahwa Robert Mugabe, yang digulingkan dalam kudeta militer pada November 2017, tidak ingin kematiannya dieksploitasi untuk kepentingan politik oleh para penerusnya, demikian seperti dikutip dari the Guardian, Minggu (8/9/2019).

Jasad Mugabe, per Minggu 8 September, belum dipulangkan dari Singapura, di mana ia meninggal di sebuah rumah sakit swasta. Banyak anggota keluarga dekatnya masih di sana, termasuk jandanya, bersama dengan tim pejabat senior.

Hingga kini, negosiasi tentang bagaimana prosesi persemayaman serta pemakaman Mugabe masih terus berlangsung antara 'fraksi-fraksi' keluarga besar sang eks-pemimpin Zimbabwe dengan pemerintahan Presiden Emmerson Mnangagwa --the Guardian melaporkan.

Jumat malam lalu, Mnangagwa, menyatakan Mugabe sebagai "pahlawan nasional" dan memerintahkan berhari-hari berkabung sebelum penguburan.

Mnangagwa tidak memberikan rincian pengaturan pemakaman, tetapi pilihan kata-katanya menyarankan dia ingin melihat Mugabe dimakamkan di National Heroes Acre, sebuah monumen untuk para pahlawan perang yang menjungkirbalikkan rezim supremasi kulit putih di bekas jajahan Inggris.

Dirancang oleh arsitek Zimbabwe dan Korea Utara, National Hero Acre menampilkan patung perunggu besar tiga pejuang gerilya dan nyala api abadi di menara 40 meter.

Meskipun sebagian besar 37 tahun kekuasaan Robert Mugabe ditandai oleh kekerasan, salah urus ekonomi, dan korupsi, mantan pejuang gerilya itu masih dihormati sebagai pemimpin pembebasan. Banyak orang di Zimbabwe melihatnya sebagai pahlawan nasional, mengingat perannya dalam perang melawan pemerintahan kulit putih.

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Meski Diktator, Kepergian Mugabe Tetap Mendapat Penghormatan

Bendera berkibar setengah tiang kemarin di Ibu Kota Harare dan sejumlah wilayah, tetapi tidak ada kegiatan publik untuk menandai kematian seorang lelaki yang warisannya meliputi ekonomi yang hancur, status paria di panggung internasional, dan sistem politik represif yang didominasi oleh partai yang berkuasa.

Kendati demikian, surat kabar Herald yang dikelola pemerintah, yang kerap menjelek-jelekkan Mugabe ketika dia dipaksa mengundurkan diri dan kemudian dia menyuarakan dukungan untuk oposisi, menerbitkan tajuk editorial yang penuh dengan penghormatan.

Dalam "edisi peringatan" surat kabar itu, yang sering bertindak sebagai corong pemerintah, Herald memuji Mugabe karena "sikapnya yang tak kenal kompromi ketika menyangkut hak-hak orang Afrika."

Sebuah upacara besar dan pemakaman di National Heroes Acre akan memungkinkan para penguasa baru Zimbabwe menunjukkan rasa hormat mereka pada pria yang mereka usir setelah hampir 40 tahun berkuasa.

"Akan sangat canggung bagi Mnangagwa dan yang lainnya jika ia (Mugabe) dikebumikan di Zvimba serta ekslusif sebagai seremoni keluarga ... Pemerintahan (Mnangagwa) selalu membenarkan tindakan mereka dengan mengkritik orang-orang di sekitar (Mugabe), namun bukan dia, dan kini ingin menyampaikan maksud tersebut dengan memperlakukannya dengan baik. Ini adalah bentuk penghormatan terakhir dan mereka harus memperbaikinya," kata Blessing-Miles Tendi, seorang profesor politik Afrika di Universitas Oxford dan penulis.