Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dewasa ini bak pedang bermata dua, di satu sisi membawa manfaat, namun memicu tantangan baru pada sisi lainnya.
Kegagalan beradaptasi pada perkembangan pesat TIK beserta efek 'pedang bermata dua'-nya, bisa menimbulkan konsekuensi serius. Oleh karenanya, persoalan ini turut menjadi perhatian kebijakan luar negeri pemerintah Indonesia: bagaimana mampu memanfaatkan TIK, selagi mengatasi tantangan yang dimunculkannya.
Advertisement
Baca Juga
Diplomat, selaku ujung tombak dari kebijakan luar negeri, tidak boleh 'alergi' pada persoalan ini, kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.
Jika tidak, diplomat, bahkan kerja diplomasi-nya untuk Indonesia, akan menjadi tak relevan.
"Itu mengapa, kata diplomasi harus berkelindan dengan kata digital dewasa ini," tegas Retno saat membuka secara resmi Regional Conference on Digital Diplomacy (RCDD) bertajuk 'Digital Diplomacy: Challenges and Opportunities' di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Perhelatan itu dihadiri oleh perwakilan selevel menteri dan diplomat top dari 10 negara ASEAN dan 6 negara lain, seperti Australia, China, Selandia Baru, India, Korea Selatan, dan Jepang.
"Diplomasi sebagai alat kebijakan luar negeri sedang diubah oleh pengembangan TIK ... menghadirkan banyak peluang yang bisa dimanfaatkan pada satu sisi, tapi juga banyak tantangan di yang lain."
Pesan Perdamaian dan Melawan Terorisme
Menlu Retno Marsudi membeberkan 4 tantangan sekaligus manfaat pemanfaatan TIK bagi diplomasi digital, yakni menyebar pesan perdamaian demi melawan ekstremisme hingga terorisme.
Seruan itu datang ketika teknologi sosial media acap kali dimanfaatkan sebagai medium untuk menyebar kebencian, pola pikir ekstremis, hingga menyulut terorisme --sebuah contoh dari efek 'pedang bermata dua' perkembangan pesat TIK.
"Diplomasi digital harus digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan perdamaian ... demi melawan kekerasan berbasis kebencian, ekstremisme, hingga terorisme," ujar mantan duta besar RI untuk Belanda itu.
"Di sinilah diplomasi diperlukan, untuk memastikan bahwa media sosial dan platform online dapat berkontribusi pada perang melawan ekstremisme dan kekerasan terorisme."
Advertisement
Diplomasi Digital untuk Kerja Sama Ekonomi
Tidak ada negara yang kebal terhadap megatren ekonomi global seperti meningkatnya ketidaksetaraan, dampak dari Revolusi Industri Keempat, belum lagi ketegangan perdagangan baru-baru ini --seperti perang dagang Amerika Serikat dan China.
Oleh karenanya, Retno menekankan bahwa "diplomasi dan kerja sama menjadi satu-satunya cara untuk menghadapi tantangan itu."
"Kita harus dapat memastikan bahwa teknologi digital digunakan untuk berubah ekonomi kita, untuk memberdayakan orang-orang kita."
"Diplomasi digital harus dapat menjembatani kolaborasi ekonomi. Dan mendukung lebih banyak keterbukaan dalam perekonomian kita."
Alat untuk Perlindungan WNI dan Perkembangan Bangsa
Ketiga, Menlu Retno juga menggarisbawahi bahwa diplomasi digital bisa dimanfaatkan sebagai "alat kuat untuk melindungi warga negara dan kepentingan RI di luar negeri."
Saat ini, Kemlu RI telah memiliki Portal Peduli WNI (peduliwni.kemenlu.go.id) dan Safe Travel sebagai pengejawantahan diplomasi digital.
Keempat dan terakhir, Menlu juga menekankan bahwa diplomasi digital bisa menjadi alat untuk perkembangan bangsa dan meminimalisir "kesenjangan digital dan literasi informasi" di berbagai kalangan.
"Tugas kita sekarang adalah mengurangi atau jika mungkin untuk menghilangkan kesenjangan digital, yangmemisahkan 'yang kaya' dari 'yang miskin' - untuk memastikan tidak ada yang tertinggal."
"Menyediakan akses internet ke semua warga negara melalui infrastruktur, dukungan keuangan, aspek sosial budaya dan kelembagaan telah menjadi dasardari prinsip ini."
"Oleh karenanya, kita harus menemukan kembali diplomasi digital kita untuk meningkatkan kesadaran dan pengembangan," tutup Menlu Retno.
Advertisement