Sukses

Pertama Kalinya, Air Cair Ditemukan di Atmosfer Eksoplanet Zona Huni

Air cair terdeteksi di dalam atmosfer zona huni eksoplanet untuk pertama kalinya.

Liputan6.com, Jakarta - Di atmosfer sebuah eksoplanet yang hanya berjarak 111 tahun cahaya dari Bumi, para astronom baru saja membuat penemuan baru: keberadaan air cair.

Sebanyak 50 persen kandungan atmosfer di K2-18b (planet di luar tata surya yang dimaksud) bisa berupa uap air. Namun tidak seperti eksoplanet raksasa lainnya yang airnya terdeteksi, K2-18b adalah Bumi versi besar, yang permukaannya berbatu seperti Bumi, Mars dan Venus.

Penemuan ini tak hanya membantu para ilmuwan dalam memahami atmosfer eksoplanet yang masuk ke zona layak huni, tetapi juga mengetahui fakta di balik eksoplanet yang ada di orbit dekat bintang katai merah.

"Menemukan air cair di dunia lain yang berpotensi dihuni oleh manusia, sangat menarik," kata astronom Angelos Tsiaras dari University College London, seperti dikutip dari Science Alert, Kamis (11/9/2019).

"K2-18b bukan 'Bumi 2.0', karena secara signifikan lebih berat dan memiliki komposisi atmosfer yang berbeda," imbuhnya.

K2-18b ditemukan pada tahun 2015 dan ini merupakan planet angkasa luar yang sulit untuk dijabarkan. Planet itu mengorbit cukup dekat dengan bintang katai merah bernama K2-18 setiap 33 hari.

Selain itu, tingkat iradiasi (penyinaran) bintang di planet ini mirip dengan di Bumi (kecuali untuk aktivitas pancaran tinggi yang khas ala katai merah).

Hal itu dikarenakan orbit tersebut tepat di tengah zona layak huni bintang -- tidak terlalu panas, sehingga air cair akan menguap dari permukaan; dan tidak terlalu dingin, sehingga air cair akan benar-benar membeku.

Ilmuwan juga tahu bahwa K2-18b berukuran sekitar dua kalinya Bumi dan berkisar delapan kali massa Bumi. Para astronom bahkan mempersempit K2-18b menjadi dua jenis.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Planet yang Lembab

Pada tahun 2017, sebuah tim menentukan bahwa K2-18b bisa berupa planet berbatu dengan atmosfer seperti Bumi --tetapi lebih jumbo-- atau sebuah planet dengan sebagian besar perairan, ditutupi oleh lapisan es yang tebal, seperti Enceladus atau Europa.

Penelitian baru kali ini menunjukkan bahwa K2-18b memiliki atmosfer. Planet tersebut terdeteksi oleh pesawat ruang angkasa Kepler (yang kini sudah mati), yang mendeteksi planet-planet di luar tata surya melalui metode transit.

Transit ini dapat membantu para peneliti mempelajari atmosfer planet. Ketika cahaya bintang melewati planet, beberapa panjang gelombang dapat diserap oleh gas tertentu, menghasilkan garis pada spektrum.

Mendeteksi eksoplanet pada awalnya memerlukan instrumen yang sangat sensitif yang mampu memetakan kemiringan cahaya bintang.

Tsiaras dan timnya melakukannya dengan menerapkan instrumen WFC3 pada Hubble Space Telescope. Mereka mencitrakan delapan transit planet di depan bintang dan menggabungkannya untuk menghasilkan berat rata-rata, menciptakan profil spektral (hasil interaksi antara energi elektromagnetik (EM) dengan suatu objek) untuk planet ini.

Selanjutnya, mereka menggunakan pemodelan. Awalnya, mereka menjalankan model atmosfer K2-18b dengan berbagai molekul atmosfer yang dapat menghasilkan garis penyerapan, termasuk air (H2O), karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan amonia (NH3).

Dalam spektrum K2-18b, hanya air cair yang dapat dideteksi, sehingga tim merevisi analisis mereka: hanya memakai air cair sebagai jejak.

Langkah berikutnya, tim memodelkan atmosfer menggunakan tiga pendekatan berbeda: tanpa awan, dengan uap air di atmosfer hidrogen-helium; tanpa awan, dengan uap air, hidrogen-helium, dan nitrogen molekul; serta berawan, dengan uap air dan hidrogen-helium.

Ketiga simulasi menghasilkan kondisi yang signifikan secara statistik, dengan nilai-nilai yang sangat mirip.

Model menunjukkan bahwa antara 20 dan 50 persen atmosfer K2-18b bisa berupa uap air. Sebagai referensi, atmosfer Bumi mengandung uap air antara 0 dan 5 persen (atau rata-rata keseluruhan 0,25 persen). Jadi, K2-18b bisa dikatakan sebagai planet yang cukup lembab.

Penelitian ini telah dipublikasikan di Nature Astronomy.

Â