Sukses

Analis: Negara Mitra Harus Pahami Risiko Proyek Infrastruktur Belt and Road China

Negara mitra China diimbau untuk memahami risiko proyek infrastruktur di bawah payung inisiatif sabuk dan jalan.

Liputan6.com, Jakarta - Negara mitra China diimbau untuk senantiasa memahami risiko proyek infrastruktur di bawah payung inisiatif sabuk dan jalan (Belt and Road Initiatives/BRI), kata seorang analis kebijakan luar negeri sekaligus pemerhati isu Tiongkok.

Proyek infrastruktur di bawah payung inisiatif sabuk dan jalan (BRI) China telah merambah, tak hanya di Asia Pasifik, tapi di seluruh dunia --termasuk sejumlah proyek rel kereta api dan pelabuhan di Afrika timur.

Lembaga think-tank dan analisis RAND Corporation mencatat bahwa sekitar 222 proyek infrastruktur di bawah inisiatif BRI berlokasi di Asia.

Tapi ada kekhawatiran terdapat risiko-risiko yang membayangi di balik proyek ambisius Presiden Xi Jinping --yang ingin menjadikan China sebagai sentral konektivitas bagi antar-benua.

"Banyak yang mempertanyakan bagaimana proyek se-ambisius itu mampu membawa manfaat dan merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat sipil lokal sebagaimana yang dijanjikan," kata Peneliti Senior RAND Corporation Jennifer Huang Bouey pada sela-sela kegiatan Jakarta Geopolitical Forum III/2019, Kamis (26/9/2019).

Bouey menggarisbawahi bahwa proyek konstruksi infrastruktur memang selalu memberikan manfaat, mulai dari peningkatan konektivitas hingga merangsang pertumbuhan perdagangan dan ekonomi.

"Tapi, risiko tetap ada, mulai dari seberapa berpotensi itu bagi celah-celah korupsi, dampat negatif bagi lingkungan, hingga efek terhadap masyarakat sipil," jelas penyandang Ph.D dari Georgetown University Amerika Serikat itu.

Ia juga memahami adanya sentimen negatif proyek infrastruktur China bagi masyarakat lokal, yang justru memandangnya sebagai upaya mempersempit lapangan pekerjaan bagi mereka.

Bouey turut menggarisbawahi bahwa pemerintah negara mitra China tidak boleh mengabaikan narasi 'jebakan utang' perihal proyek infrastruktur di bawah payung BRI.

"Pemerintah negara (mitra China) harus mampu melihat berbagai potensi risiko itu, dan seberapa besar itu dapat mempengaruhi masyarakat," lanjutnya, menambahkan bahwa pemerintah harus mampu membuat kebijakan yang sama-sama menguntungkan bagi pihak-pihak yang beririsan dengan proyek tersebut, terutama, masyarakat lokal.

Bouey menambahkan, salah satu cara untuk mengatasi potensi risiko itu adalah memanfaatkan mekanisme yang terstandarisasi.

"RAND bekerjasama dengan UN Development Programme (UNDP) telah menaruh upaya besar untuk melakukan standarisasi penilaian proyek, sehingga proyek BRI bisa melalu mekanisme ini dan meminimalisir potensi risiko," kata perempuan itu.

Namun, lanjut sang analis RAND, "Semua kembali pada negosiasi yang dilakukan antara China dengan negara mitra. Mereka wajib menganalisis potensi risiko yang ada dan mempertimbangkan dengan matang."

"Jangan terlalu terburu-buru meneken sebuah proyek, dan mengkaji kembali situasi perekonomian mereka, agar tidak terjebak dalam proyek yang justru menambah beban moneter dan finansial dalam negeri," tutup Bouey.

2 dari 3 halaman

Sekilas Belt and Road Initiatives

Pada 2013, Presiden Tiongkok Xi Jinping mengumumkan rencana inisiatif infrastruktur lintas benua. China akan bekerja dengan negara-negara mitra di bawah dua program yang disebut Jalur Ekonomi Jalur Sutra dan Jalur Sutra Maritim Abad 21.

Bersama-sama, ini kemudian dikenal sebagai Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI). Dirancang untuk mencakup 4,4 miliar orang dengan PDB kumulatif sekitar US$ 21 triliun, BRI sedang diterapkan di lebih dari 70 negara berkembang, seperti yang dicontohkan oleh proyek-proyek yang sudah selesai dan sedang berlangsung, seperti Pipa Gas China-Myanmar, Kereta Api Jakarta-Bandung, Taman Industri China-Thailand, dan Pelabuhan Gwadar di Pakistan.

Lima pilar Sabuk dan Jalan - koordinasi kebijakan, konektivitas fasilitas, perdagangan tanpa hambatan, integrasi keuangan, dan pertukaran orang-ke-orang — memandu upaya Cina untuk terhubung ke tetangga-tetangganya dan untuk mempromosikan perdagangan dan pengaruh internasional China.

Dalam beberapa tahun terakhir, konsep pembangunan telah melebar dari fokus pada pembangunan ekonomi ke konsep pembangunan inklusif yang lebih luas. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memimpin pencarian konsep umum pembangunan yang lebih luas, yang pertama kali ditangkap dalam Tujuan Pembangunan Milenium dan yang terbaru dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yang disetujui oleh 193 negara. China telah berkomitmen bahwa BRI akan diselaraskan dengan SDG melalui kemitraannya dengan Program Pembangunan PBB.

3 dari 3 halaman

Persoalan Dugaan Jebakan Utang

Namun, ketika negara-negara Asia Tengah memperkuat hubungan dengan Beijing saat mereka bersaing untuk menerima bagian dari Inisiatif Belt and Road yang membentang dari China ke Eropa, pinjaman dari Beijing menggelembung di semua negara kecuali Kazakhstan, yang menerima investasi langsung dari berbagai negara, dan Uzbekistan --Nikkei Asian Review melaporkan.

Tajikistan dilaporkan menyerahkan tambang emas ke China pada April 2018 sebagai imbalan US$ 300 juta dalam pendanaan untuk membangun pembangkit listrik.

Sementara Kirgiztan dilaporkan memiliki kontrak dengan bank China yang dikelola pemerintah untuk pembangkit listrik di ibukota Bishkek yang mencakup klausul yang memberi Beijing kendali atas aset berjangkauan luas jika negara itu gagal membayar. China juga diperkirakan menuntut konsesi dalam negosiasi untuk pendanaan pembangunan kereta api.

Risiko tersembunyi dalam proyek-proyek Belt and Road terungkap setelah Sri Lanka pada tahun 2017 memberi China hak pengoperasian ke pelabuhan Hambantota selama 99 tahun ketika negara pulau itu berjuang untuk membayar hutang.

China bertujuan untuk menjadi kekuatan dominan di Asia Tengah untuk menurunkan harga perolehan sumber daya, kata Andrei Grozin, yang mengepalai departemen Asia Tengah di CIS Institute seperti dikutip dari Nikkei Asian Review.

Beijing juga berencana untuk berinvestasi dalam proyek-proyek infrastruktur dan pertanian di negara-negara bekas Soviet seperti Ukraina yang mencari integrasi dengan Uni Eropa, meningkatkan pengaruhnya di Eropa Timur ketika pertentangan antara Moskow dan Washington tumbuh.

Ukraina dan China menyetujui US$ 7 miliar dalam proyek bersama di komisi antar pemerintah pada akhir 2017. Pembangunan jalan raya dan basis ekspor biji-bijian mengalami kemajuan.

"Sebuah faksi pro-China diam-diam muncul di wilayah itu," kata seorang pejabat tinggi Ukraina seperti dikutip dari Nikkei Asian Review.