Sukses

RI Pakai Hak Jawab di Majelis Umum PBB Usai Vanuatu Angkat Isu Papua

Indonesia menggunakan hak jawab (rights of reply) di Majelis Umum PBB ke-74/2019 usai delegasi Vanuatu mengangkat isu Papua pada pidato di sidang majelis.

Liputan6.com, New York - Indonesia menggunakan hak jawab (rights of reply) di Majelis Umum PBB ke-74/2019 usai delegasi Vanuatu mengangkat isu Papua pada pidato di sidang majelis.

Pada 28 September 2019, Perdana Menteri Vanuatu Charlot Salwai Tabismasmas berpidato di hadapan majelis bahwa "para pemimpin dunia harus membantu orang-orang Papua Barat."

"Kami (juga) mengecam pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat Papua Barat," lanjut Tabismasmas seperti dikutip dari SBS Australia, Sabtu (29/9/2019).

Menteri Luar Negeri Vanuatu, Ralph Regenvanu menambahkan pada kesempatan terpisah di sela rangkaian agenda Majelis Umum, "Kami sangat khawatir karena saat ini sedang ada krisis yang terjadi."

Vanuatu juga mendesak agar negara Pasifik besar, khususnya Australia, "bertindak secara substansial terhadap isu Papua Barat."

Hak Jawab Delegasi Indonesia

Menggunakan hak jawab (rights of reply) atas pernyataan PM Vanuatu di Sidang Majelis Umum PBB, delegasi Indonesia menyebut komentar negara Pasifik itu sebagai langkah tak bertanggungjawab berselubung "motif".

"Kami mempertanyakan motif dan langkah Vanuatu yang tidak bertanggungjawab," kata Rayyanul Sangaji, delegasi Perwakilan Tetap RI untuk Markas PBB New York, kepada Majelis Umum PBB pada 28 September 2019, seperti dikutip dari webtv.un.org, Sabtu (29/9/2019).

"Mereka menyoroti isu hak asasi manusia di Papua, tapi motif mereka sebenarnya adalah mendukung kelompok separatisme Papua," lanjut Rayyanul.

Sebagai informasi, Vanuatu merupakan tempat berdiri dan rumah bagi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pimpinan Benny Wenda sejak 7 Desember 2014.

"Vanuatu menjual janji palsu ... dan langkah provokasinya yang berlanjut telah memicu konflik."

"Provokasi Vanuatu (yang menyulut konflik) telah menyebabkan kerusakan infrastruktur di Papua, ratusan rumah terbakar, fasilitas publik rusak, dan nyawa warga sipil yang tak bersalah hilang," --mereferensi demo berujung rusuh di Wamena pada awal pekan ini.

Delegasi Indonesia juga menekankan kepada Majelis bahwa "Kami telah berkomitmen mempromosikan dan melindungi hak seluruh rakyat Indonesia, termasuk orang Papua."

Rayyanul juga mendesak Vanuatu "untuk kembali membaca dan memahami fakta-fakta legal dan sejarah" agar tidak mengulangi "kesalahan yang sama, lagi dan lagi" --mereferensi pada langkah Vanuatu yang telah menggunakan Sidang Majelis Umum PBB untuk mengangkat isu Papua selama beberapa tahun terakhir.

"Papua, sejak deklarasi kemerdekaan Indonesia, adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diperkuat dengan Resolusi Majelis Umum PBB 2504," kata Rayyanul.

Delegasi Indonesia juga meminta agar semua negara untuk menghormati "kedaulatan dan integritas teritorial" serta mendesak untuk tidak mencampuri persoalan domestik negara lain.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Telah Diperkirakan

Langkah Vanuatu yang kembali menggunakan platform Majelis Umum PBB tahun ini untuk 'mengusik' Indonesia soal isu Papua, adalah aksi yang telah diperkirakan.

Pelaksana tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah, pada 25 September 2019, memprediksi bahwa mungkin ada satu-dua negara yang mengangkat isu Papua dan Papua Barat di sidang majelis umum.

"Selama rangkaian sidang Majelis Umum PBB (2019), tidak sama sekali ada agenda atau pembahasan (khusus) soal Papua," kata Faizasyah pada sela-sela agenda di Jakarta, Rabu (25/9/2019).

"(Namun) hanya satu negara Pasifik itu sebenarnya yang selama ini usil dengan mengangkat isu Papua (di Majelis Umum PBB). Kalau (ada) diangkat (isu Papua), Indonesia punya hak untuk menjawab (right of reply), memberikan tanggapan dan meluruskan apabila ada hal-hal yang (dibahas di majelis umum) mengaitkan dengan kepentingan politik domestik negara itu."

Tahun lalu, ketika Vanuatu membahas isu Papua di Sidang Majelis Umum PBB ke-73, delegasi Indonesia menggunakan right of reply sebanyak dua kali untuk mengecam langkah negara Pasifik tersebut, sekaligus "memberikan penjelasan tentang keadaan yang sebenarnya" di Bumi Cendrawasih.

"Meskipun disamarkan dengan keprihatinan hak asasi manusia yang berbunga-bunga, niat dan tindakan tunggal Vanuatu secara langsung menantang prinsip-prinsip hubungan persahabatan yang disepakati secara internasional antara negara, kedaulatan dan integritas teritorial," kata delegasi Indonesia di PBB, Aloysius Selwas Taborat dalam penyampaian right of reply kedua kepada Vanuatu pada Oktober 2018 --seperti dikutip dari the Guardian.

Aloysius mengatakan, Vanuatu berulang kali mendukung gerakan separatis dan dia mempertanyakan perilakunya sebagai "negara yang taat hukum internasional".

"Dukungan yang tidak dapat dimaafkan ini bagi individu separatis jelas ditunjukkan dengan dimasukkannya sejumlah orang dengan catatan kriminal serius dan agenda separatis dalam delegasi mereka ke PBB."

Taborat mengatakan bahwa rakyat Papua telah "sekali dan untuk semua menegaskan kembali Papua adalah bagian yang tidak dapat dibatalkan dari Indonesia" dan bahwa itu "final, tidak dapat dibalikkan dan permanen", merujuk pada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera atau Act of Free Choice) 1969 yang diadopsi menjadi Resolusi Majelis Umum PBB 2504.