Liputan6.com, Jakarta - Penggunaan antibiotik yang meluas sebagian besar merupakan penyebab munculnya bakteri resisten antibiotik, yang saat ini merupakan salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global. Demikian menurut riset yang dilakukan oleh Katarzyna Mickiewicz, Newcastle University Research Fellow di Newcastle University, Inggris.
Tidak hanya kebal obat, keberadaan bakteri semacam ini disebut Mickiewicz sudah menyebabkan sekitar 700.000 kematian per tahun. Selain itu, mereka pun membuat banyak infeksi, termasuk pneumonia, tuberkulosis, dan gonore (kencing nanah), lebih sulit untuk diobati.
Bila para ilmuwan dan dokter tidak mengetahui cara menghentikan bakteri-bakteri ini dari mengembangkan dirinya, diperkirakan penyakit yang dapat dicegah dapat menyebabkan 10 juta kematian per tahun pada 2050.
Advertisement
Baca Juga
Beberapa cara bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik adalah melalui perubahan genom bakteri. Misalnya, bakteri dapat memompa antibiotik keluar, atau mereka dapat memecah antibiotik.
Mereka juga dapat berhenti tumbuh dan mulai membelah diri, yang membuat mereka sulit dikenali untuk sistem kekebalan tubuh. Namun, penelitian Mickiewicz berfokus pada metode lain yang diterapkan bakteri untuk menjadi resisten antibiotik.
"Kami bisa menunjukkan bahwa bakteri dapat mengubah bentuk dirinya saat berada di dalam tubuh manusia untuk menghindari efek antibiotik. Proses ini tidak memerlukan perubahan genetik bakteri untuk terus tumbuh," ujar Mickiewicz seperti dikutip dari Science Alert, Jumat, 4 Oktober 2019.
Hampir semua bakteri dikelilingi oleh struktur yang disebut dinding sel. Dinding ini seperti jaket tebal yang melindungi mereka dari lingkungan sekitar dan mencegah sel mereka hancur.
Jaket tersebut juga memberi bakteri bentuk biasa (misalnya, batang atau bola) dan membantu mereka membelah diri secara efisien.
"Sel manusia tidak memiliki dinding sel atau jaket itu. Oleh karenanya, imun manusia mudah mengenali bakteri sebagai musuh sebab dinding selnya sangat berbeda," Mickiewicz menjelaskan.
"Dan, karena dinding sel ada di dalam bakteri tetapi tidak pada manusia, itu menjadi target yang sangat bagus untuk beberapa antibiotik terbaik dan paling umum digunakan, seperti penisilin."
Dengan kata lain, antibiotik yang menargetkan dinding sel bakteri dapat membunuh bakteri itu tanpa membahayakan kita.
Berubah Seperti Huruf
Bagaimanapun, bakteri kadang-kadang dapat bertahan hidup tanpa dinding sel. Jika kondisi di sekitarnya mampu melindungi bakteri dari penghancuran, mereka dapat berubah menjadi apa yang disebut "bentuk-L", yaitu bakteri yang tidak memiliki dinding sel.
Bakteri ini ditemukan pada 1935 oleh Emmy Klieneberger-Nobel. Nama bakteri diambil dari Lister Institute, di mana Emmy bekerja pada saat itu.
"Di laboratorium, kita sering menggunakan gula untuk menciptakan lingkungan yang sesuai dengan pelindung tubuh bakteri. Dalam tubuh manusia, perubahan bentuk mereka biasanya dipicu oleh antibiotik yang menargetkan dinding sel bakteri, atau molekul kekebalan tertentu, seperti lisozim yang ada di dalam air mata kita. Ini membantu melindungi kita dari infeksi bakteri," papar Mickiewicz lagi.
Bakteri tanpa dinding sel umumnya menjadi rapuh dan kehilangan bentuk regulernya. Namun, mereka juga bisa tidak terlihat oleh sistem kekebalan tubuh manusia dan benar-benar resisten terhadap semua jenis antibiotik yang secara khusus menargetkan dinding sel.
Para ilmuwan lama menduga bahwa peralihan "bentuk-L" dapat berkontribusi pada munculnya infeksi berulang, dengan membantu bakteri bersembunyi dari imun tubuh dan melawan antibiotik.
Akan tetapi, sulit untuk menemukan bukti terhadap teori ini karena "bentuk-L" sukar dipahami dan kurangnya metode yang tepat untuk mendeteksi mereka.
Advertisement
Melihat Bakteri Mengubah Bentuk
Studi yang dipublikasikan di Nature Communications itu mengamati secara spesifik spesies bakteri yang terkait dengan infeksi saluran kemih berulang (ISK).
Ditemukan bahwa banyak spesies bakteri yang berbeda, termasuk E. coli dan Enterococcus, memang dapat bertahan hidup sebagai "bentuk-L" dalam tubuh manusia.
"Ini adalah sesuatu yang belum pernah dibuktikan secara langsung sebelumnya. Kami dapat mendeteksi bakteri licik ini menggunakan probe fluoresen yang mengenali DNA bakteri," sebut Mickiewicz.
"Kami menguji sampel urin dari pasien lansia yang terserang ISK berulang, dengan menempatkannya ke dalam cawan petri tinggi gula. Lingkungan ini tidak hanya membantu melindungi bakteri dari penghancuran, tetapi juga mengisolasi bakteri 'bentuk-L' yang ada di dalam sampel ini."
Menurut Mickiewicz, hal penting dari penelitian dia adalah antibiotik perlu diuji dalam kondisi yang lebih mencerminkan tubuh manusia. Sedangkan yang saat ini digunakan di laboratorium medis tidak memberikan perlindungan cukup untuk bertahan hidup bagi bakteri "bentuk-L".
Mickiewicz menambahkan: "Sebelum kita dapat sepenuhnya memahami betapa pentingnya peralihan 'bentuk-L' dibandingkan dengan bentuk lain dari resistensi antibiotik, diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan lebih banyak pasien."
Penting juga untuk menyelidiki peran yang mungkin dimainkan oleh "bentuk-L" pada infeksi berulang lainnya, seperti sepsis atau infeksi paru.
Â