Liputan6.com, Jakarta Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, bertemu dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, pada 3 Oktober 2019 di Sochi, Rusia, mengutip VOA Indonesia, Sabtu (6/10/2019).
Perjumpaan keduanya mengisyaratkan minat Moskow untuk memainkan peran besar nan persuasif dalam sengketa kedaulatan di Laut China Selatan --yang kini didominasi oleh China dan Amerika Serikat, kata para pakar di kawasan tersebut.
Duterte mengunjungi Rusia pada 1 hingga 5 Oktober, untuk berbicara dengan Putin mengenai peningkatan kerja sama keamanan dan pertahanan.
Advertisement
Baca Juga
Dalam keterangan lain yang dimuat situs internet kantor presiden Filipina, disebutkan bahwa Duterte mengunjungi bandara di pangkalan militer Vnukovo di Moskow, pada Rabu kemarin.
Rusia mungkin menawarkan untuk menjual senjata ke Filipina, setelah berhasil melepaskannya ke negara-negara Asia Tenggara lain yang mengklaim wilayah laut seluas 3,5 juta kilometer persegi itu, menurut para pakar.
Penjualan senjata Rusia ke Filipina akan mengurangi pengaruh militer AS di laut tersebut, tetapi belum ditangani dalam cara-cara yang menghindari pelemahan Beijing, teman Moskow selama puluhan tahun.
Â
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Persaingan Antara Negara-Negara Pengklaim Laut China Selatan
Aaron Rabena, peneliti di Asia-Pacific Pathways to Progress Foundation yang berbasis di Manila mengatakan, Rusia menganggap pengaruh AS di Filipina sangat luas.
Menjual senjata ke Filipina dianggap efektif memajukan pengaruh politik Rusia, jelasnya. China mungkin akan mengkhawatirkan jenis senjata yang didapat dari Rusia serta di mana senjata itu akan digunakan.
"Kalau digunakan di Laut China Selatan, maka China akan mempertanyakannya," lanjut Rabena.
Brunei, China, Malaysia, Taiwan, Vietnam dan Filipina mengklaim seluruh atau sebagian wilayah Laut China Selatan.
China, yang mengakui 90 persen wilayah itu, telah mengambil posisi sebagai pemimpin dalam bidang militer dan teknologi selama dekade terakhir, mendorong pihak yang lebih lemah meminta bantuan asing, sering kali dari Amerika Serikat.Â
Advertisement