Liputan6.com, Hong Kong - Pengadilan Hong Kong menolak pengajuan keberatan terhadap undang-undang darurat yang mengkriminalkan demonstran mengenakan masker saat demonstrasi. Putusan itu diketok pengadilan saat para aktivis kembali turun ke jalan menentang larangan tersebut pada Minggu (6/10/2019).
Ribuan demonstran melakukan unjuk rasa di seluruh kota yang dilanda kerusuhan dengan merusak beberapa stasiun kereta bawah tanah dan pertokoan, setelah pemimpin Hong Kong melarang penutupan wajah saat protes. Larangan itu merupakan kekuatan darurat era kolonial yang sudah tidak digunakan selama setengah abad.
Anggota parlemen pro-demokrasi mendatangi Pengadilan Tinggi Hong Kong untuk membatalkan larangan tersebut, dengan alasan kekuatan darurat melewati legislatif dan melanggar mini-konstitusi kota. Tetapi seorang hakim senior menolak permintaan mereka.
Advertisement
Ketika putusan itu disampaikan, dua unjuk rasa dimulai di kedua sisi Victoria Harbour, dengan ribuan demonstran bertopeng berkumpul dalam hujan lebat.
Setelah empat bulan protes besar dan semakin keras, pemimpin Hong Kong pro-Beijing yang tidak terpilih di kota itu, Carrie Lam, mengajukan undang-undang era kolonial pada Jumat 4 Oktober yang memungkinkannya membuat "peraturan apa pun" selama masa bahaya publik.
Dia menggunakannya untuk melarang topeng --yang digunakan para pengunjuk rasa untuk menyembunyikan identitas mereka atau melindungi dari gas air mata-- dan memperingatkan akan menggunakan kekuatan untuk membuat peraturan baru jika kerusuhan tidak mereda.
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Didukung Beijing
Langkah itu disambut para pendukung pemerintah dan Beijing. Tetapi para penentang dan pengunjuk rasa melihatnya sebagai awal dari lereng yang licin yang mengarahkan Hong Kong ke dalam otoritarianisme.
"Saya akan mengatakan ini adalah salah satu kasus konstitusional paling penting dalam sejarah Hong Kong," kata anggota parlemen Dennis Kwok sebelum keputusan itu.
"Jika undang-undang darurat ini disetujui, maka Hong Kong akan dianggap sebagai lubang yang sangat hitam," tambahnya, yang sebelumnya menyamakan Lam dengan raja Inggris Henry VIII yang otokratis.
Hong Kong dilanda kemarahan publik yang meluas atas pemerintahan Tiongkok dan aksi kejam polisi terhadap protes. Unjuk rasa itu dipicu rancangan undang-undang --yang sekarang sudah dibatalkan-- untuk memungkinkan warga Hong Kong diekstradisi ke China daratan.
Rancangan undang-undang itu menimbulkan kekhawatiran dapat mengikis kebebasan yang dijanjikan di bawah model "satu negara, dua sistem" yang 50 tahun lalu disetujui Tiongkok sebelum penyerahan Hong Kong oleh Inggris pada 1997.
Setelah Beijing dan para pemimpin lokal mengambil garis keras, demonstrasi berubah menjadi gerakan yang lebih luas yang menyerukan kebebasan yang lebih demokratis dan akuntabilitas polisi.
Advertisement
Jurnalis Indonesia Tertembak
Jurnalis Indonesia yang matanya tertembak peluru karet saat meliput demonstrasi Hong Kong, dilaporkan mengalami buta permanen.
Veby Mega Indah dari surat kabar berbahasa Indonesia, Suara Hong Kong sedang meliput protes di wilayah China pada Minggu 29 September 2019 ketika peluru itu mengenai kacamata pelindung yang dikenakannya, kata pengacaranya, seperti dikutip dari BBC.
Video insiden hari Minggu menunjukkan peluru karet ditembakkan ke sekelompok pengunjuk rasa dan jurnalis di atas jembatan penyeberangan di daerah Wan Chai kota.
Sebuah peluru mengenai kaca mata Veby dari jarak 12 meter, melukai kedua matanya, kata pengacara Michael Vidler.
Dia dibawa ke rumah sakit di mana, pada Rabu 2 Oktober, dokter mengonfirmasi bahwa dia akan secara permanen buta di satu mata.
Saat kejadian, Veby mengenakan rompi visibilitas tinggi dan helm bertanda "pers".
Veby sempat terdengar mengatakan, "jangan tembak, kami wartawan" sebelum dia ditembak, kata wartawan lain pada saat kejadian.
Mengonfirmasi bahwa jurnalis itu terluka, Konsulat Jenderal Indonesia di Hong Kong mendesak warganya untuk menghindari Wan Chai dan daerah-daerah lain yang mungkin akan dilanda kerusuhan.
Di sisi lain, Anis Hidayah, direktur organisasi non-pemerintah Migran Care, mengatakan pemerintah Hong Kong harus bertanggung jawab atas insiden tersebut.
"Pemerintah Indonesia melalui Konsulat Jenderal di Hong Kong harus mengambil tindakan cepat untuk menyelidiki ini," katanya kepada The Jakarta Post.
Pada hari Rabu, demonstran di Hong Kong mengadakan demonstrasi kembali untuk memprotes apa yang mereka katakan adalah penggunaan kekuatan polisi yang berlebihan.