Liputan6.com, Riyadh - Mulai dari bebas bepergian tanpa izin wali laki-laki hingga mengemudi sendiri untuk pertama kalinya, Arab Saudi akhirnya memberikan kelonggaran atas sejumlah norma dan hukum yang dulu sempat diterapkan untuk "membatasi" kaum perempuan di sana.
Ini adalah bentuk emansipasi yang--meski dinilai terlambat bagi akademisi feminis--akhirnya dirasakan para perempuan di Saudi setelah bertahun-tahun lamanya "terbelenggu" sejumlah pembatasan.
Banyak perubahan telah didorong pemimpin de facto Saudi saat ini, Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (33).
Advertisement
Sejak dipromosikan sebagai pewaris takhta pada Juni 2017, ia telah mengambil langkah drastis untuk mereformasi dan memodernisasi Arab Saudi dalam upaya menggeser perekonomian negara itu dari ketergantungan minyak dan mempersiapkan negara untuk masa depan.
Sementara ia dipandang sebagai sosok yang melonggarkan beberapa kebebasan bagi perempuan di kerajaan, ia tetap figur yang tak lepas dari kritik, khusus dalam isu hak asasi manusia.
Penyelidik PBB menuduh Pangeran MBS sebagai dalang utama dari kasus pembunuhan jurnalis kritikus Saudi, Jamal Khashoggi, pada Oktober 2018. Ia juga dituding memberikan lampu hijau atas gelombang penangkapan sejumlah aktivis perempuan Saudi pada 2018.
Kendati demikian, banyak arahan kepemimpinannya telah membawa perubahan dan memberi manfaat bagi perempuan Arab Saudi. Dan, meskipun terlihat kecil, terbukti penting dalam perjalanan mereka menuju kesetaraan.
Berikut 12 bentuk emansipasi terbaru bagi perempuan di Arab Saudi yang tak pernah dirasakan sebelumnya, seperti dikutip dari Business Insider, Senin (7/10/2019):
Â
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Simak video pilihan berikut:
1. Bisa Bepergian Tanpa Izin Wali Pria
Perempuan sekarang dapat mengajukan paspor tanpa persetujuan dari wali laki-laki. Mereka juga tidak perlu izin untuk menyeberangi perbatasan Saudi lagi.
Dalam amandemen peraturan Arab Saudi, perempuan berusia 21 tahun dan yang lebih tua diberikan hak yang sama dengan pria dalam hal bepergian. Sebelumnya, perempuan hanya memiliki satu halaman di paspor wali laki-laki mereka.
Regulasi dulu mengatakan bahwa tempat tinggal istri adalah milik suaminya. Tetapi sekarang, peraturan itu hanya berlaku untuk perempuan di bawah umur yang tinggal bersama ayah atau wali mereka.
Namun, hal itu menunjukkan bahwa tak semua perempuan memiliki bentuk emansipasi penuh. Kaum Hawa dalam kelompok usia 21 tahun ke bawah masih tunduk pada sistem perwalian Saudi.
Bill Bostock dari Business Insider menunjukkan bahwa banyak dari 1.000 perempuan Saudi yang melarikan diri--karena klaim mereka yang telah menjadi korban kekerasan di dalam rumah-- adalah mereka yang berusia di bawah 21.
Berarti bahwa meskipun ada perubahan, mereka masih memerlukan izin wali pria untuk meninggalkan negara itu.
Perubahan ini terjadi setelah sistem perjalanan Arab Saudi mendapat kecaman, sebagian karena pelaporan oleh Business Insider, yang menyoroti bagaimana sistem tersebut membatasi perempuan yang mencoba melarikan diri dari negara itu.
Perubahan hukum juga memungkinkan perempuan mendaftarkan kelahiran, perkawinan, perceraian, atau kematian--yang dulu hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.
Advertisement
2. Dibolehkan untuk Mengemudi
Perempuan Saudi telah berkampanye untuk hak mengemudi selama bertahun-tahun, dan akhirnya diizinkan untuk berada di belakang kemudi pada 2018.
Banyak perempuan menghabiskan waktu berbulan-bulan mempersiapkan larangan tersebut untuk dicabut dengan mengikuti kursus mengemudi yang dirancang khusus untuk perempuan.
Sebelumnya, Arab Saudi adalah satu-satunya negara di dunia di mana seorang perempuan bisa masuk penjara karena mengemudi.
Sementara banyak yang memuji pergeseran itu, beberapa aktivis yang terlibat dalam kampanye Hak untuk Berkendara tiba-tiba ditangkap dan ditahan tanpa dakwaan pada Mei 2018. Banyak yang kemudian dibebaskan, tetapi sebagian orang masih merasa terancam --Business Insider melaporkan.
3. Hak Memilih dalam Pemilu Dewan Kota
Hak untuk memilih adalah momen simbolik bagi perempuan Arab Saudi --meski dewan kota tidak memegang banyak kekuasaan di negara monarki absolut ini.
Itu adalah pertama kalinya dalam sejarah mereka bisa pergi ke tempat pemungutan suara. Meskipun, itu hanya ketiga kalinya negara itu menggelar pemilu, sejak Arab Saudi menjadi negara pada tahun 1932.
Tempat pemungutan suara masih terpisah, tetapi perempuan mengatakan merasa senang bisa memilih. Tujuh belas perempuan terpilih dalam sebuah pemilihan dewan kota di sana, CNN melaporkan.
Advertisement
4. Hak Atas Akses Pendidikan dan Kesehatan Tanpa Izin dari Wali Laki-Laki
Dekrit kerajaan yang dibuat Raja Salman pada Mei 2017 memungkinkan perempuan untuk mengakses layanan pemerintah dan kesehatan tanpa memerlukan persetujuan dari wali laki-laki mereka, yang dulu memiliki wewenang tertinggi atas apa yang dapat dilakukan perempuan di negara itu.
Raja mengusulkan pelonggaran hukum perwalian pria yang ketat dalam waktu tiga bulan sejak dekritnya rilis, tetapi undang-undang perwalian yang lebih umum masih berlaku sampai sekarang --persetujuan laki-laki diperlukan bagi perempuan untuk menikah atau meninggalkan penjara.
Perempuan masih secara teratur menghadapi kesulitan melakukan transaksi, seperti menyewa apartemen dan mengajukan tuntutan hukum, tanpa persetujuan atau kehadiran kerabat laki-laki.
5. Membuka Bisnis Sendiri Tanpa Izin Wali Laki-Laki
Pada bulan Februari 2018 , Kementerian Perdagangan dan Investasi Arab Saudi mengatakan bahwa perempuan akan dapat "memulai bisnis mereka sendiri secara bebas," dan tidak lagi menghadapi lebih banyak hambatan daripada laki-laki untuk menjadi wirausahawan.
Dima Al-Shareef, seorang konsultan hukum Saudi, mengatakan kepada Arab News bahwa negara itu "menyaksikan era baru dalam pemberdayaan perempuan Saudi, khususnya di bidang komersial."
Advertisement
6. Perempuan Boleh Menonton di Stadion
Stadion Raja Abdullah Sports City di Jeddah membuat sejarah ketika memungkinkan perempuan untuk duduk di tribun untuk menyaksikan pertandingan sepak bola nasional pada Januari 2018.
Meskipun bisa masuk, perempuan dipisahkan dari pria dan harus menggunakan pintu masuk khusus yang ditujukan untuk perempuan dan keluarga.
Pemerintah Saudi mengumumkan pada Oktober 2017 bahwa mereka akan membuka stadion di Riyadh, Jeddah, dan Dammam untuk wanita dan keluarga. Pemerintah menambahkan bahwa rencana untuk membuka lebih banyak fasilitas ramah perempuan di stadion di seluruh negeri akan siap dalam tahun ini.
7. Perempuan dan Ranah Pekerjaan
Pada bulan Maret 2017, Kementerian Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial mengatakan bahwa perempuan mewakili 30% dari tenaga kerja sektor swasta. Laporan itu mengatakan bahwa pemerintah berharap untuk melihat angka itu melonjak 28% tambahan pada tahun 2020.
Secara keseluruhan, jumlah perempuan yang bekerja di sektor swasta negara itu melonjak 130 % sejak 2013. Sementara itu, semakin banyak perempuan Arab Saudi yang menduduki jabatan publik strategis.
Sarah Al-Suhaimi menjadi wanita pertama yang memimpin bursa efek Arab Saudi.
Reema Bandar Al-Saud menjadi Duta Besar Saudi untuk Amerika Serikat.
Tamadur binti Youssef al-Ramah, adalah perempuan pertama yang ditunjuk sebagai wakil menteri tenaga kerja.
Namun, sistem perwalian yang masih berlaku umum dan pemisahan perempuan dan laki-laki di ranah publik, tetap menjadi kendala utama bagi banyak perempuan untuk berkarier secara mandiri.
Advertisement
8. Tergabung dalam Komisi PBB Tentang Status Perempuan
Arab Saudi tergabung dalam Komisi PBB tentang Status Perempuan yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Arab Saudi terpilih untuk masa jabatan empat tahun pada April 2017 hingga 2021, membuat marah banyak orang yang menganggap penunjukan itu "tidak masuk akal" mengingat ketidaksetaraan gender yang luas di Arab Saudi.
Namun, PBB mempertahankan keputusannya.
"Minat Arab Saudi untuk menduduki salah satu kursi Komisi yang dialokasikan untuk kawasan Asia-Pasifik adalah indikasi bahwa negara itu ingin memainkan peran aktif dalam pekerjaan badan penting ini," katanya.
9. Bisa Olahraga di Jalanan
Arab Saudi memperkenalkan pendidikan jasmani untuk anak perempuan pada tahun 2017 dan mulai memberikan lisensi untuk pusat kebugaran perempuan, yang memungkinkan perempuan untuk berolahraga di depan umum.
Lebih dari 1.500 perempuan berpartisipasi dalam acara lari khusus perempuan pertama yang diselenggarakan tak lama sebelum Hari Perempuan Internasional pada 2018.
Perempuan sebelumnya dilarang ikut lomba maraton resmi negara itu, tetapi pejabat Saudi mengatakan bahwa perempuan akan diizinkan untuk bersaing di maraton internasional 2019 Riyadh.
Advertisement
10. Bisa Mendaftar ke Militer
Militer Arab Saudi membuka lowongan perempuan untuk pertama kalinya pada Maret 2018. Tetapi kriteria untuk pelamar harus sesuai dengan standar tinggi, berat, dan persyaratan pendidikan yang ditentukan.
Khususnya, perempuan masih perlu meminta izin wali laki-laki mereka untuk melamar dan perlu tinggal bersama wali mereka di provinsi yang sama dengan lokasi pekerjaan di masa depan.
11. Perempuan yang Bercerai Bisa Mempertahankan Hak Asuh
Pada Maret 2018 , para ibu di Arab Saudi diberikan hak untuk mempertahankan hak asuh anak-anak mereka setelah bercerai, tanpa melalui proses hukum.
Sebelumnya, pengadilan Saudi menuntut perempuan untuk mengajukan petisi, dalam persidangan hak asuh yang sering berlangsung bertahun-tahun.
Di banyak negara Timur Tengah lainnya, ayah dianggap sebagai wali alami seorang anak, dan memperoleh hak asuh penuh pada usia tertentu.
Advertisement
12. Tinggalkan Abaya
Sejumlah perempuan Arab Saudi saat ini mulai memilih mengenakan pakaian yang, jika mereka kenakan beberapa tahun lalu, bisa membuat mereka bermasalah dengan polisi moral lokal.
Banyak kaum Hawa yang meninggalkan abaya hitam polos tradisional mereka --sebuah gamis longgar yang menutupi seluruh tubuh yang wajib dipakai semua perempuan Arab Saudi di depan umum demi mematuhi norma kesusilaan lokal.
Sebagai gantinya, mereka memilih alternatif lain bernada 'konservatif-kreatif-kekinian': seperti baju parasut sporty, jubah dengan potongan modern-bernuansa-bisnis, dan bahkan kimono --Donna Abdulaziz melaporkan untuk the Wall Street Journal.
Perubahan gaya berbusana di kalangan perempuan muda Saudi telah menarik gerutu dari beberapa kelompok konservatif, termasuk perempuan yang sebagian besar dari mereka masih memakai abaya hitam tradisional.
Di luar kota yang relatif kosmopolitan seperti Jeddah atau Riyadh, perempuan masih bisa menghadapi persekusi karena melanggar aturan berpakaian yang berakar dalam tradisi Saudi.
Tetapi beberapa perempuan Saudi mengatakan mereka merasakan norma budaya berubah, sejak Putra Mahkota dan pemimpin de facto Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman bergerak untuk membuka masyarakat konservatif ini ke dunia luar dan secara umum menjadikannya 'sedikit' lebih liberal ketimbang Saudi beberapa dekade silam.
Soal berpakaian abaya, memang tidak ada hukum yang mengatur dalam undang-undang Saudi. Akan tetapi, pada praktiknya, persekusi berlaku umum.
Namun, dalam sebuah wawancara dengan CBS News pada 2018 silam, Pangeran Salman mengatakan bahwa "baik laki-laki maupun perempuan harus berpakaian sopan ... tetapi Islam tidak secara partikular mewajibkan (perempuan) harus mengenakan abaya atau mengenakan penutup kepala," ujarnya seperti dikutip dari the Telegraph.
"Keputusan sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan untuk memutuskan jenis pakaian sopan dan terhormat apa yang ia pilih untuk dipakai," lanjut sang putra mahkota Arab Saudi.
Tapi...
Namun terlepas dari semua kemajuan ini, wanita di Arab Saudi jauh dari mencapai kesetaraan --Business Insider melaporkan.
Dalam Laporan Kesenjangan Gender Global 2018, Arab Saudi berada di peringkat 141 dari 144 negara yang diukur.
Perempuan masih memerlukan izin pria untuk banyak kegiatan utama, seperti mengajukan laporan polisi.
Negara ini masih memberlakukan norma berpakaian tertutup di sejumlah tempat. Kebanyakan perempuan mengenakan jubah panjang yang dikenal sebagai "abaya" dan banyak toko bahkan tidak mengizinkan perempuan untuk mencoba pakaian di mal.
Namun beberapa kota telah melonggarkan norma berbusana tersebut.
Pria dan wanita masih dilarang bergaul di depan umum, dengan pantai, transportasi umum dan kolam renang dipisahkan berdasarkan gender.
Tetapi program pemerintah Saudi untuk meningkatkan kualitas hidup warga negara, yang diajukan pada Mei 2018, menyerukan "percampuran kedua jenis kelamin untuk meningkatkan kohesi sosial."
Lina Abirafeh, direktur di Institut Studi Wanita di Dunia Arab, mengatakan kepada Business Insider bahwa perubahan ini berdampak, tetapi negara masih perlu berbuat lebih banyak.
"Ada kebutuhan untuk maju secara bertahap, tetapi juga harus jelas bahwa tujuannya adalah kesetaraan penuh, tanpa pengecualian," kata Abirafeh.
Advertisement