Sukses

Mirip di Bulan, Peneliti Temukan Air yang Diregenerasi pada Asteroid

Ilmuwan mengklaim menemukan air yang diregenerasi pada asteroid, mirip di Bulan.

Liputan6.com, California - Para ilmuwan mengklaim telah menemukan bagaimana molekul air dapat diregenerasi pada asteroid yang bergerak di angkasa luar. Ini merupakan terobosan menarik yang dapat meluas ke objek lain, seperti Bulan.

Diterbitkan pada 8 Oktober 2019 di jurnal Nature Astronomy, penelitian baru itu menunjukkan air dapat muncul lagi di permukaan asteroid jika angin matahari dan asteroid (yang terkena dampak angin matahari) bersatu pada suhu yang sangat rendah.

Penulis utama makalah itu, Dr. Katarina Miljkovic dari Pusat Sains dan Teknologi Antariksa di Curtin University (Australia), mengatakan penelitiannya membuktikan dua komponen pelapukan di angkasa luar --elektron dan guncangan termal-- diperlukan untuk mempertahankan pasokan molekul air pada asteroid, bukan hanya satu seperti yang diperkirakan sebelumnya.

"Proses kompleks ini, selain untuk meregenerasi molekul air di permukaan asteroid, juga bisa menjadi mekanisme serupa pada objek-objek tak berudara lain, seperti Bulan," kata Dr. Miljkovic, dikutip dari situs phys.org, Rabu (9/10/2019).

"Temuan studi kami berpotensi memberikan implikasi signifikan, karena kami tahu ketersediaan air di tata surya adalah elemen yang sangat penting untuk kelayakhunian makhluk hidup di ruang angkasa."

Proyek yang didanai NASA tersebut menerapkan pengambilan sepotong meteorit yang jatuh di Murchison, Victoria, Australia, pada 1969. Tim lalu mensimulasikan kondisi cuaca di dalam mesin yang dibangun khusus agar mirip sabuk asteroid, yang meniru kondisi permukaan asteroid.

Mereka kemudian menggunakan elektron berenergi untuk mensimulasikan angin matahari dan laser agar bisa meniru meteoroid kecil yang terbanting ke asteroid, sambil memantau tingkat molekul air di permukaan asteroid.

Dampak meteoroid memulai reaksi, kemudian angin matahari meledakkan permukaan asteroid, meninggalkan atom oksigen dan hidrogen yang tidak terikat untuk kemudian berikatan. Dari proses inilah, air terbentuk.

Dr. Miljkovic, sebagai ahli benturan semacam itu, lantas memvalidasi penggunaan ablasi (pengikisan) laser sebagai pengganti pemboman mikrometeoroid.

Sementara itu, makalah tersebut ditulis bersama oleh para peneliti dari University of Hawai'i di Manoa dan California State University San Marcos.

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

2 dari 3 halaman

Temuan Air Bergerak di Bulan, Ini Penjelasan NASA

Pada Maret tahun ini, ilmuwan NASA menemukan bukti kandungan air yang bergerak di permukaan Bulan. Penemuan menakjubkan ini merupakan temuan misi proyek NASA dengan teknologi Lyman Alpha Mapping Project (LAMP).

Namun, menurut badan antariksa pemerintah Amerika Serikat itu, meski ada air di permukaan Bulan, tetapi bentuknya hanya ada dua: membeku sebagai hamparan es yang berada di sisi gelap dekat kutub dan sebagai molekul air yang tersebar di permukaan Bulan (terikat dengan butiran di regolith atau lapisan endapan superfisial longgar yang menutupi batuan padat, termasuk debu, tanah, batu pecah, dan bahan terkait lainnya dan hadir di Bumi, Bulan, Mars, beberapa asteroid, dan planet terestrial lain).

Ketika permukaan Bulan memanas, molekul-molekul air melepaskan dan menemukan tempat lain yang lebih dingin, sampai suhu di tempat semula kembali dingin. NASA menemukan fakta ini menggunakan data dari pengorbit Lunar Reconnaissance (LRO) yang telah mengelilingi satelit alami Bumi tersebut sejak 2009.

Di atas LRO adalah spektograf ultraviolet (UV), yang merupakan sebuah instrumen untuk mengukur sinar UV (dari matahari) yang terpantul dari permukaan Bulan. Demikian seperti dikutip dari Live Science, Kamis, 14 Maret 2019.

Dengan memecah cahaya UV yang dipantulkan ke dalam panjang gelombang yang berbeda, alat tersebut menciptakan spektrum cahaya yang berbeda, berdasarkan pada jenis bahan yang terkena sinar terlebih dahulu. Ketika air hadir, LRO mendeteksi spektrum cahaya yang berbeda.

Pada siang hari, permukaan Bulan memanas, dengan suhu puncak sekitar tengah hari di Bulan. Akibatnya, molekul air melepaskan diri dari regolith (tanah Bulan), menjadi gas dan bermigrasi ke daerah yang lebih dingin, di mana mereka lebih stabil -- di daerah dingin di permukaan Bulan atau naik ke atmosfer tipis.

Kemudian di hari itu, ketika suhu turun lagi, molekul-molekul air kembali ke tempat semula dan menyatu lagi ke permukaan regolith. Tim peneliti NASA menemukan bahwa sebagian besar aktivitas seperti ini berlangsung di daerah berbukit yang disebut dataran tinggi Bulan.

Terlebih lagi, data dari LRO menyodorkan sebuah teori tentang bagaimana molekul air muncul di Bulan. Satu gagasan menyatakan, ion hidrogen dari badai matahari menghujani Bulan, lalu masuk dan berinteraksi dengan oksigen dari oksida besi di regolith, kemudian membentuk molekul air atau H2O.

 

3 dari 3 halaman

Jumlah Air Berkurang Karena Angin Matahari

Namun, ketika Bulan terlindung dari badai matahari, ketika Bulan berotasi sedemikian rupa sehingga Bumi secara langsung memblokir pergerakan angin-- jumlah air itu berkurang.

NASA menemukan bahwa ketika Bulan terlindungi, jumlah molekul air tidak berubah. Ini menunjukkan, air di Bulan menumpuk dari waktu ke waktu dan tidak secara langsung datang dari badai matahari.

Selain itu, tim riset tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa apa yang mereka deteksi dengan spektograf memang air dan bukan panjang gelombang yang sama dari molekul yang disebut hidrogen oksida.

Temuan ini telah dilaporkan dalam studi baru yang diterbitkan pada 8 Maret di jurnal Geophysical Research Letters.

"Hasil ini membantu kami dalam memahami siklus air di Bulan dan pada akhirnya akan membantu kita belajar tentang aksesibilitas air yang dapat digunakan oleh manusia dalam misi masa depan ke Bulan," ujar penulis utama Amanda Hendrix, seorang ilmuwan senior di Planetary Science Institute.