Sukses

859 Tahanan dan Simpatisan ISIS Kabur dari Kamp di Suriah, Ekses Perang Turki Vs Kurdi

Ratusan orang yang dicurigai sebagai tahanan dan simpatisan ISIS telah melarikan diri dari sebuah kamp di Suriah utara dan timur laut.

Liputan6.com, Damaskus - Ratusan orang yang dicurigai sebagai tahanan dan simpatisan ISIS telah melarikan diri dari sebuah kamp di Suriah utara dan timur laut, kata pemerintah setempat pada akhir pekan kemarin.

Pemerintah lokal di Suriah utara yang dikuasai Kurdi mengatakan, sekitar 859 orang tahanan dan simpatisan ISIS melarikan diri dari fasilitas penahanan di Ain Issa pada Minggu 13 Oktober 2019, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin (14/10/2019).

Tahanan dan simpatisan itu menyerang penjaga serta menyerbu gerbang kamp yang dikhususkan untuk menampung warga negara asing.

Jalel Ayaf, seorang pejabat senior di kamp itu, menambahkan bahwa beberapa telah ditangkap kembali, tetapi juga memperingatkan bahwa "sel-sel tidur" telah muncul dari dalam bagian lain dari fasilitas dan melakukan serangan. Dia menggambarkan situasi sebagai "sangat fluktuatif".

Angka orang-orang yang melarikan diri belum bisa diverifikasi secara independen, lapor Al Jazeera.

Di sisi lain, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menolak klaim pelarian para tahanan dan simpatisan ISIS dari kamp tahanan di Suriah utara, menyebutnya sebagai "disinformasi" yang bertujuan memprovokasi Amerika Serikat dan negara-negara barat lainnya untuk mengintervensi di wilayah tersebut, menurut kantor berita Turki Anadolu yang dikelola pemerintah.

Kabar itu datang ketika Turki melancarkan operasi militer ke kota-kota perbatasan Suriah utara dan timur laut sejak 9 Oktober 2019, dalam upaya mereka untuk mengusir kelompok Kurdi dari wilayah itu.

Negeri Ottoman berencana membentuk buffer zone (zona netral) di kawasan itu, yang kemudian akan menjadi permukiman bagi sekitar 3,5 juta pengungsi dari Suriah yang saat ini mengungsi di Turki.

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

SDF Kewalahan Mengelola Kamp Tahanan ISIS

Jauh sebelum operasi militer Turki di Suriah utara dimulai, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) --sebuah milisi yang dipimpin Kurdi-- mengaku kewalahan untuk mengelolan sejumlah kamp penahanan untuk tahanan ISIS, menyebut alasan kekurangan sumber daya manusia dan barang-barang kebutuhan mendasar lainnya.

Kini, fokus mereka terpecah karena harus menghadapi serbuan militer Turki ke kota-kota di perbatasannya dengan Suriah.

Serangan darat dan udara Turki dimulai pada Rabu 9 Oktober 2019, atau terpaut tiga hari sejak Presiden Donald Trump mengumumkan menarik pasukan Amerika Serikat dari Suriah utara.

Pasukan AS telah bersekutu dengan SDF; dan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG); dalam upaya bersama untuk menumpas ISIS dari wilayah itu, sejak kelompok teroris tersebut merajalela pada 2013 silam hingga kekalahan teritorial mereka tahun ini.

Pada periode tersebut, SDF telah memperluas kontrolnya di Suriah utara dan timur laut, memicu semakin terbelahnya negara beribukota Damaskus akibat perang saudara yang turut melibatkan Tentara Nasional Suriah pimpinan Presiden Bashar al-Assad yang didukung Rusia dan Iran.

Keputusan Trump segera menuai kritik domestik dan internasional, menyebut langkah itu membahayakan stabilitas regional; meninggalkan sekutu AS, SDF, di tengah konflik terbuka dengan Turki (yang juga merupakan sekutu AS di NATO); dan mempertaruhkan kebangkitan ISIS.

Turki dan kelompok Kurdi telah lama berkonflik sejak 1978, dan mencapai episodik tensi terbaru pada 2015, yang dipicu oleh Perang Saudara Suriah; situasi konflik yang multidimensional (kehadiran ISIS, proksi, identitas, dll); hingga ekses dari kegagalan negosiasi damai antara kedua belah pihak sejak pada 2012.