Sukses

Qatar Akan Hapus Sistem Kafala dan Mereformasi Ketenagakerjaan

Qatar telah berjanji untuk menghapuskan sistem kafala, sebuah sistem ketenagakerjaan yang mengikat pekerja migran dengan majikan mereka.

Liputan6.com, Doha - Qatar telah berjanji untuk menghapuskan sistem kafala, sebuah sistem ketenagakerjaan yang mengikat pekerja migran dengan majikan dan mengharuskan mereka untuk memiliki izin perusahaan atau majikan jika ingin berpindah pekerjaan.

Langkah yang dilakukan negara teluk itu merupakan bagian dari reformasi besar-besaran di pasar tenaga kerjanya.

Perdana Menteri Qatar Abdullah bin Nasir bin Khalifa Al Thani mengonfirmasi via Twitter pada Rabu 16 Oktober 2019 bahwa Doha akan "mereformasi kebijakan dan undang-undang untuk meningkatkan standar kesejahteraan pekerja" serta menambahkan "komitmen pada hak-hak dasar yang berkaitan dengan tenaga kerja," demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Jumat (18/10/2019).

Dalam sebuah pernyataan, kementerian tenaga kerja Qatar juga mengumumkan adopsi undang-undang baru terkait rancangan tentang upah minimum di negara tersebut.

Di bawah sistem "kafala" di Qatar (kata Arab untuk sponsor), pekerja migran harus mendapatkan izin dari majikan mereka --atau sertifikat yang menyatakan ketidakberatan majikan (NOC)-- sebelum berganti pekerjaan.

Sistem kafala Qatar, menurut para aktivitis, memaksa mengikat para buruh migran dengan majikannya, serta bertendensi mengarah pada pelecehan dan eksploitasi.

2 dari 2 halaman

Sistem Ketenagakerjaan Qatar Jadi Sorotan, Namun Doha Ingin Berbenah

Qatar dan undang-undang ketenagakerjaan telah menjadi sorotan sejak negara itu dinobatkan sebagai tuan rumah Piala Dunia FIFA 2022. Pemerintahnya telah berjanji untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan menjelang turnamen.

Pada Agustus 2019, ada seruan dari para aktivis dan pengunjuk rasa agar Qatar sepenuhnya "menghilangkan ketidakseimbangan kekuatan antara karyawan dan majikan" setelah setidaknya 5.000 pekerja turun ke jalan untuk memprotes penundaan gaji dan kondisi kerja.

Para pekerja yang berunjuk rasa, sebagian besar dari Bangladesh , mengatakan kepada Al Jazeera bahwa selain kondisi kehidupan yang buruk, mereka belum dibayar selama empat bulan, perusahaan-perusahaan itu telah gagal memperbarui izin kerja mereka - menjadikan status mereka di Qatar ilegal - dan tidak diberikan surat persyaratan yang akan memungkinkan mereka untuk beralih majikan.

Amnesty International merilis sebuah laporan pada bulan September yang menyoroti bagaimana "ratusan pekerja migran" dipaksa untuk menyerah pada "keadilan" dan pulang ke rumah "tanpa uang sepeser pun" sejak Maret 2018.

Dalam sebuah pernyataan kepada Al Jazeera setelah laporan itu, Kantor Komunikasi Pemerintah Qatar mengatakan: "Qatar telah membuat kemajuan besar dalam reformasi tenaga kerja dan terus bekerja dengan LSM, termasuk Organisasi Buruh Internasional (ILO), untuk memastikan bahwa reformasi ini menjangkau jauh dan efektif."

"Setiap masalah atau keterlambatan dengan sistem kami akan ditangani secara komprehensif. Kami telah mengatakan, sejak awal, bahwa ini akan memakan waktu, sumber daya dan komitmen," kata pernyataan itu.

Pada hari Rabu, ILO menyambut baik langkah Qatar, yang masih membutuhkan persetujuan dari Dewan Penasihat serta penguasa negara itu, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani.

ILO mengumumkan: "Dewan Menteri Negara Qatar dengan suara bulat mengesahkan undang-undang baru yang memungkinkan pekerja untuk berganti majikan secara bebas."

Ia menambahkan bahwa keputusan menteri juga ditandatangani yang akan menghapus "persyaratan izin keluar untuk semua pekerja, kecuali personel militer".

Tahun lalu, Qatar mengumumkan penghapusan kebutuhan izin keluar bagi pekerja migran non-domestik.

Hal ini juga menghilangkan kebutuhan akan sertifikat yang menyatakan ketidakberatan majikan (NOC) jika pekerja migran menyelesaikan durasi kontrak atau menyelesaikan lima tahun jika terjadi periode waktu yang tidak ditentukan dalam kontrak.