Liputan6.com, Beijing - Keterpaparan terhadap polusi udara meningkatkan risiko keguguran yang "terlewat" (missed miscarriage), di mana janin meninggal tanpa sang ibu hamil merasakan gejala nyata, kata para peneliti di China pada Senin 14 Oktober 2019.
Studi sebelumnya telah menunjukkan korelasi antara polusi udara dan komplikasi kehamilan, tetapi penelitian baru, yang diterbitkan dalam jurnal Nature Sustainability oleh tim peneliti dari universitas-universitas China, menyoroti dampak polusi yang hanya sedikit dipelajari.
Baca Juga
Studi ini menemukan bahwa paparan konsentrasi partikel partikulat udara yang lebih tinggi, serta sulfur dioksida, ozon, dan karbon monoksida, dikaitkan dengan risiko keguguran yang lebih tinggi pada trimester pertama kehamilan.
Advertisement
Selain itu, "peningkatan risiko tidak linier tetapi menjadi lebih parah ketika konsentrasi polutan menjadi semakin tinggi", kata studi tersebut --AFP melaporkan, dikutip dari Asia One, Sabtu (19/10/2019).
Keguguran yang "terlewat" terjadi ketika janin meninggal atau berhenti tumbuh pada awal kehamilan sementara masih berada dalam rahim, dan baru terdeteksi ketika tes ultrasonografi rutin beberapa minggu kemudian.
Para peneliti dari empat universitas serta Akademi Ilmu Pengetahuan China (Chinese Academy of Science) melacak kehamilan lebih dari 250.000 wanita di Beijing dari 2009 hingga 2017. Tercatat, 17.497 di antaranya mengalami keguguran yang "terlewat."
Para peneliti menggunakan pengukuran dari stasiun pemantauan udara di dekat rumah dan tempat kerja wanita untuk mengukur keterpaparan subjek terhadap polusi.
"China adalah masyarakat yang menua dan penelitian kami memberikan motivasi tambahan bagi negara itu untuk mengurangi polusi udara, demi meningkatkan angka kelahiran," kata penulis surat jurnal.
Sementara penelitian menunjukkan hubungan kuantitatif antara polusi dengan missed miscarriage, mengonfirmasikan hubungan sebab-akibat atau kausalitas akan memerlukan eksperimen laboratorium pada embrio manusia (yang penuh dengan persoala etika), kata Shaun Brennecke, seorang profesor di Departemen Obstetri dan Ginekologi Melbourne University, yang tidak terlibat dalam penelitian itu.
Singkatnya, para penulis makalah "memiliki keuntungan mendasarkan studi di Beijing, yang selama studi memiliki berbagai tingkat polusi, dan di mana tingkat menurun dari waktu ke waktu," kata Brennecke kepada AFP.
Para penulis penelitian tidak menanggapi permintaan komentar AFP.
Tingkat polusi udara di ibukota China telah menurun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, bahkan ketika pembacaan polusi berbeda secara dramatis dari hari ke hari dan di seluruh bagian kota.
Tetapi tingkat PM2.5 (particulate matter) Beijing saat ini --partikel kecil yang dapat menembus jauh ke dalam paru-paru-- masih empat kali lebih tinggi daripada yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia.
Pembacaan PM2.5 rata-rata setiap jam di kota itu adalah 42,6 mikrogram per meter kubik udara dalam delapan bulan pertama 2019, menurut perusahaan riset pemurnian udara IQAir's AirVisual.
Temuan penelitian ini "konsisten dengan penelitian lain tentang polusi udara dan kehilangan kehamilan, dan juga dengan penelitian lain yang mendokumentasikan hubungan signifikan antara polusi udara dan kelahiran prematur," Frederica Perera, seorang profesor kesehatan masyarakat di Columbia University yang tidak terlibat dalam penelitian, kepada AFP.
Simak video pilihan berikut:
Jakarta Kota dengan Udara Terburuk ke-7 Dunia
Ibu Kota Jakarta mengalami penurunan peringkat dengan menempati posisi ketujuh untuk kualitas udara terburuk sedunia setelah dalam beberapa pekan terakhir berada di lima besar.
Berdasarkan laman AirVisual.com pukul 06.00 WIB pada Kamis 17 Oktober 2019, Jakarta berada di peringkat ketujuh di bawah Kuwait yang memiliki AQI (Indeks Kualitas Udara) sebesar 160, demikian seperti dikutip dari Antara, Kamis (17/10/2019).
Secara rinci, Jakarta memiliki kualitas udara sesuai AQI sebesar 153 atau setara dengan PM 2.5 59.2 µg/m³.
Peringkat tersebut turun sebanyak 17 poin dari peringkat AQI minggu lalu sebesar 170.
Meski menurun, kualitas udara di Jakarta masih berstatus tidak sehat sehingga masyarakat disarankan untuk menggunakan masker saat beraktivitas dan mengurangi penggunaan kendaraan berpolutan.
Secara berurutan pada posisi pertama kualitas udara terburuk di dunia ditempati oleh kota Lahore di Pakistan nilai AQI 266 dengan status udara berbahaya. Selanjutnya Delhi di India dengan AQI 182 atau kualitas udara tidak sehat.
Shenyang di China menempati posisi ketiga dengan AQI 181. Disusul Hanoi di Vietnam dengan AQI 169.
Secara berturut-turut Dhaka di Bangladesh dan Kuwait City di Kuwait menempati posisi kelima dan keenam dengan perolehan AQI masing- masing sebesar 161 dan 160.
Advertisement