Liputan6.com, Damaskus - Keterlibatan warga Kurdi dalam konflik di Suriah memang rumit karena sejarah kelompok yang membentang di sebagian perbatasan. Berikut tinjauan krisis Kurdi dan bagaimana prediksi ke depan, seperti dilansir VOA Indonesia, Minggu (20/10/2019).
Siapakah Warga Kurdi?
Suku Kurdi adalah salah satu penduduk asli dataran Mesopotamia dan kawasan dataran tinggi yang kini terdapat di bagian tenggara Turki, timur laut Suriah, utara Irak, barat laut Iran dan barat daya Armenia.
Advertisement
Baca Juga
Suku Kurdi adalah kelompok etnis keempat terbesar di Timur Tengah dengan jumlah sekitar 25 hingga 35 juta orang. Mereka membentuk komunitas yang berbeda, yang disatukan oleh ras, budaya dan bahasa.
Meskipun sebagian besar mereka menganut Islam-Sunni, tetapi ada pula yang menganut agama berbeda, termasuk Kristen, Yahudi, Yazidi dan Zoroastrian.
Suku Kurdi dianggap sebagai kelompok etnis terbesar di dunia yang tidak memiliki kewarganegaraan.
Â
Lanjut di halaman berikutnya...
Simak video pilihan berikut:
Mengapa Kurdi Tak Berkewarganegaraan?
Setelah Perang Dunia Pertama dan kekalahan Kekaisaran Ottoman, sekutu Barat yang menang membuat ketentuan dalam Perjanjian Sevres tahun 1920 tentang pembentukan negara Kurdi, yang dikenal sebagai "Kurdistan".
Namun harapan mereka musnah tiga tahun kemudian ketika Perjanjian Lausanne, yang menetapkan batas-batas Turki modern, tidak membuat ketentuan apapapun tentang negara Kurdi dan meninggalkan Kurdi sebagai kelompok dengan status minoritas di empat negara, yaitu Turki, Suriah, Irak dan Iran. Selama lebih dari 80 tahun langkah apapun yang dilakukan suku Kurdi untuk mendirikan negara merdeka mendapat perlawanan keras.
Setelah Perang Teluk I 1991 yang diikuti dengan pemberontakan Kurdi di bagian utara Irak dan pembentukan zona larangan terbang, suku Kurdi berhasil membentuk kawasan semi-otonom.
Perang Teluk II 2003, yang menggulingkan Saddam Hussein, membuat suku Kurdi dapat mengkonsolidasikan kemajuan-kemajuan yang diperoleh itu di kawasan otonomi yang cukup besar di bagian utara Irak.
Dalam beberapa tahun ini, pertempuran melawan kelompok teror ISIS telah memberi peluang bagi suku Kurdi untuk tampil lebih jauh di panggung internasional.
Advertisement
Kurdi Berperang Melawan ISIS
Suku Kurdi di Irak dan Suriah terlibat dalam perang melawan ISIS. Ribuan warga Kurdi tewas di medan tempur. Keterlibatan aktif Kurdi untuk mengakhiri kekhalifahan ISIS membuat mereka meraih reputasi global sebagai salah satu pasukan darat paling efektif melawan kelompok teror itu.
Pada September 2014, ISIS melancarkan serangan terhadap salah satu benteng perlawanan di sekitar kota Kobani di bagian utara Suriah, memaksa puluhan ribu orang melarikan diri melintasi perbatasan Turki. Pada Januari 2015, setelah pertempuran yang menewaskan sedikitnya 1.600 orang, pasukan Kurdi berhasil merebut kembali Kobani.
Suku Kurdi, yang dalam pertempuran itu menggunakan nama Pasukan Demokratik Suriah SDF, bertempur bersama sejumlah milisi lokal Arab dan membantu pasukan koalisi udara pimpinan Amerika. Mereka berhasil mengusir ISIS dari wilayah yang cukup luas di Suriah dan membangun kendali atas wilayah di sepanjang perbatasan dengan Turki.
Kurdi, Amerika Serikat, dan Aliansi yang Bergeser
Presiden Donald Trump pada 6 Oktober lalu menindaklanjuti keinginannya untuk menarik mundur pasukan Amerika dari timur laut Suriah. Ini merupakan perintah kedua setelah perintah penarikan pertama pada Desember 2018.
Penarikan mundur pasukan Amerika itu memungkinkan pasukan Turki dan proksi mereka melancarkan serangan militer terhadap milisi pimpinan Kurdi pada 9 Oktober.
Keputusan Trump memicu kekhawatiran luas bahwa serangan Turki akan menghancurkan kelompok Kurdi dan membuat sekitar 11 ribu militan ISIS yang dipenjara di daerah itu melarikan diri.
Seminggu setelah pengumuman Trump itu, Turki merebut lebih dari 194 kilometer per segi wilayah yang sebelumnya dikuasai Kurdi.
Amnesti Internasional menuduh tentara Turki dan proksinya telah melakukan kejahatan perang selama operasi militer itu. Turki membantah tudingan tersebut.
Ketidakstabilan di kawasan itu dinilai dapat menguntungkan ISIS karena meskipun kelompok Kurdi melawan serangan Turki --terutama di kota-kota di perbatasan-- mereka tidak lagi mampu menghadapi sel-sel militan ISIS itu.
Namun demikian otorita Kurdi, untuk pertama kalinya dalam lebih dari lima tahun, mengijinkan pasukan Suriah kembali ke bagian utara Suriah. Belum jelas apakan tentara Suriah akan mempertahankan daerah itu atau membuat Kurdi memiliki otorita sipil.
Penarikan mundur pasukan Amerika juga membuat Rusia dan Iran meningkatkan pengaruh mereka di kawasan itu. Rusia telah menjadi mediator utama dalam perundingan-perundingan antara Kurdi, Presiden Suriah Bashar Al Assad dan pemerintah Turki.
Suku Kurdi mengelola lebih dari sepuluh kamp yang menampung puluhan ribu pengungsi. Ofensif Turki diperkirakan menggusur puluhan ribu orang yang kini melarikan diri ke selatan.
Menurut kelompok anti-kemiskinan global "World Vision" hingga saat ini ada sekitar 6,7 juta pengungsi Suriah dan sekitar 6,2 juta warga Suriah lain di dalam negara itu yang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena perang.
Advertisement