Liputan6.com, Washington DC - Pernahkan membayangkan hidup pada masa Perang Dunia II, di mana bom dan rudal selalu jatuh dari langit? Suara senapan mesin terdengar setiap hari, ditambah ledakan yang menyala di langit malam hampir setiap saat.
Perang Dunia II adalah waktu di mana manusia berada dalam zona pertempuran, setiap orang dan bangsa dari seluruh dunia terlibat. Namun, tahukah bahwa ada sejumlah wanita yang dengan gagah berani mengalami hal mengerikan itu di medan perang Eropa?
Advertisement
Baca Juga
Mereka adalah pelopor yang terlibat aktif dalam pasukan Abad ke-20. Para perempuan ini adalah pahlawan untuk hak mereka sendiri. Mereka bahkan mampu menggunakan senjata dan pergi ke medan perang.
Beberapa di antaranya guugur saat bertugas. Para perempuan era Perang Dunia II ini tangguh, tak gentar dan perintis yang memperkuat warisan sejarah kaum mereka.
Berikut adalah 3 wanita yang sanggup merubah 'permainan' di tengah Perang Dunia II, seperti dikutip dari Wonderslist, Rabu (30/10/2019).
Saksikan video pilihan di bawah ini:
1. Roza Shanina
Seorang wanita muda berusia 19 tahun, Roza Shanina, ditunjuk pemerintah Uni Soviet kala itu untuk menjadi penembak jitu (sniper). Ia dilahirkan pada 3 April 1924 di negara yang sekarang dikenal sebagai Rusia, dari pasangan Anna (ibu) dan Yegor (ayah). Ayahnya pernah bertugas dalam Perang Dunia I.
Shanina memiliki tiga saudara kandung laki-laki yang juga bertugas dalam Perang Dunia II, tetapi sayangnya, semua tewas dalam aksi.
Cerita soal Shanina berawal pada 22 Juni 1941, ketika pasukan Nazi menyerbu perbatasan barat Uni Soviet. Pada akhir 1941, Nazi mulai membom Arkhangelsk, tempat Shanina belajar. Di sinilah, ia mulai bergabung dengan tentara Soviet sebagai sukarelawan untuk meluncurkan serangan udara.
Namun, ketika saudara lelakinya meninggal di Pengepungan Leningrad (sekarang St. Petersburg) pada Desember 1941, Shanina bertekad untuk menjadi garda terdepan.
Sebenarnya, seorang perempuan tidak diizinkan untuk bergabung dan melayani negara sebagai pasukan utama. Akan tetapi, lantaran menderita kerugian tinggi, tentara Soviet akhirnya memebrikan akses tersebut.
Shanina ditempatkan bersama unit penembak jitu wanita. Dengan sigap, ia belajar cepat dan menjadi sniper yang terampil.
Pada 1944, setelah lulus sekolah, Shanina ditawari pekerjaan menjadi instruktur penembak jitu. Namun, ia menolaknya dan masih ingin pergi ke medan perang menjadi garda terdepan.
Ini adalah kisah awal dari kemasyhuran dan kelegendarisan Shanina, di mana dia berhasil membunuh banyak pasukan lawan.
Pada usia 20 tahun, Shanina muda menjadi penembak jitu elit. Meskipun demikian, ia tak luput dari sasaran musuh. Dia bahkan pernah tertembak di bahu kanannya.
Keberanian dan ketangguhannya membuatnya menjadi wanita pertama yang dianugerahi Order of Glory, karena membunuh 13 tentara musuh ketika dihujani artileri dan senapan mesin.
Dia juga disebut sebagai "Teror yang Tak Terlihat di Prusia Timur" oleh sebuah surat kabar Kanada. Koran di soviet juga banyak menampilkan kisah heroik tentangnya.
Pada 27 Januari 1945, selama Serangan Prusia Timur, peletonnya diserang Jerman. Dia terluka parah saat melindungi seorang komandan artileri, pecahan peluru menghantam dadanya.
Advertisement
2. Hazel Ying Lee
Pilot militer berdarah China-Amerika pertama, Hazel Ying Lee, lahir pada 1912 di Portland, Oregon. Ia adalah imigran Tiongkok pada saat diskriminasi terhadap orang China merajalela.
Setelah lulus SMA, Ying Lee mendapat pekerjaan sebagai operator lift, karena itu adalah satu-satunya pekerjaan yang tersedia untuk orang keturunan China-Amerika.
Pada usia 19, dia bergabung dengan Chinese Flying Club of Portland dan kemudian mendapatkan lisensi pilotnya. Ini memotivasi dia untuk terbang secara profesional, meski kesempatan menjadi pilot profesional di Amerika sangat kecil.
Atas alasan itulah, dia memutuskan untuk pindah ke China, berharap bisa bergabung dengan Angkatan Udara China dan membantu memerangi Jepang. Akan tetapi, dia ditolak karena dia seorang wanita. Sebaliknya, dia diberi pekerjaan kantoran di Canton.
Ketika Jepang bergerak melalui China untuk mengambil alih wilayah, Canton terkepung dan Ying Lee melarikan diri ke Hong Kong.
Dia pindah kembali ke AS pada 1943 ketika program Women Air Force Service Pilot (WASP) diperkenalkan. Di sinilah, wanita Ying Lee mulai membuat jejak mereka.
Ying Lee bertugas untuk mengirimkan pesawat militer ke kapal dan dermaga di mana mereka akan digunakan di zona perang Eropa. Meskipun dia melakukan penerbangan ini di malam hari dan selama musim dingin dengan kokpit terbuka, dia tidak berhenti terbang.
Dia adalah pilot yang sangat terampil, sehingga pada 1944 dia menjadi salah satu dari 130 wanita yang dipilih untuk menerbangkan pesawat pengejaran yang lebih cepat dan maju.
WASP akan mengirimkan pesawat-pesawat tempur ini ke titik-titik yang ditugaskan di AS. Pada satu misi seperti itu, Ying Lee menghadapi kematiannya.
Kala itu, dia sedang ditugaskan untuk mengantarkan sebuah pesawat perang, tetapi cuaca buruk menghambatnya.
Ketika cuaca cerah, pengendali penerbangan menyuruhnya pergi, tetapi pesawat tempur lainnya datang untuk mendarat. Kondisi ini menyebabkan pesawat Ying Lee bertabrakan dengan pesawat lain.
Ying Lee mengalami cedera parah dan tiga hari kemudian dia meninggal.
3. Yevdokiya Zavaliy
Cara yang dilakukan Yevdokiya Zavaliy untuk bergabung dengan pasukan Ukraina selama Perang Dunia II tergolong unik. Dia adalah seorang gadis berusia 16 tahun yang berbohong tentang umurnya agar bisa bergabung dengan militer.
Lahir pada 28 Mei 1926 di Nikolayev, pengenalan pertamanya tentang realitas perang muncul ketika desanya dibom oleh pesawat-pesawat tempur Jerman dan melihat tentara-tentara terluka, terbaring bersimbah darah. Zavaliy tidak hanya berdiri diam, tetapi segera membantu tentara-tentara tersebut, membalut luka mereka dengan seprai.
Di sinilah dia bertemu dengan komandan unit dan membujuk sang komandan untuk membawanya. Zavaliy terpaksa berdusta dan mengaku bahwa usianya sudah 18 tahun. Komandan ini akhirnya menyetujuinya.
Peran pertama Zavaliy adalah menjadi perawat, karena wanita tidak diizinkan melayani dalam pertempuran. Selama menjadi suster, dia berhasil belajar otodidak tentang penggunaan senjata.
Keinginannya untuk menjadi seorang prajurit aktif begitu kuat, sehingga ia mencukur rambutnya dan mengenakan seragam militer pria. Penyamaran ini sudah cukup bagi kebanyakan prajurit untuk mengira dia seorang laki-laki.
Berkat siasatnya itu, Zavaliy dikirim ke garis depan, berpangkat sersan senior dan bersama Brigade Lintas Udara ke-6. Ia dikirim ke pertempuran di dekat Goryachy Kluch.
Dalam satu pertempuran semacam itu, akhir 1942, pasukannya kelaparan karena kekurangan makanan dan persediaan amunisi yang terbatas. Di sinilah Zavaliy menunjukkan kepahlawanan dan kepemimpinannya, saat dia melakukan serangan malam di seberang sungai ke kamp Jerman. Dia mencuri amunisi dan perlengkapan sebelum berlayar.
Sayangnya, kebohongan Zavaliy akhirnya terungkap ketika dalam pertempuran di Kuban, dia terluka serius. Selama dirawat intensif, dokter yang menanganinya-lah yang mengetahui pertama kali bahwa dia adalah perempuan.
Namun, karena banyak keberhasilan yang dilakukannya, dia tidak diadili di pengadilan atau diperintahkan untuk menjadi perawat. Dia bahkan diminta untuk tetap melanjutkan dinas militernya dan juga dipromosikan menjadi komandan.
Saat menginjak umur 17 pada 1943, Zavaliy menjadi komandan peleton penembak senapan mesin ringan. Di bawah komandonya, peleton ini berhasil dalam Pertempuran Krimea dan mereka selalu berada di garis depan. Orang Jerman sangat takut padanya sehingga mereka menjulukinya "Frau Black Death."
Akhirnya, pada usia 21 tahun ketika 1947, Zavaliy pensiun dari dinas aktif. Dia menetap di Kiev dengan 40 medali penghargaan. Dia meninggal pada 5 Mei 2010.
Advertisement