Sukses

Donald Trump Absen KTT ASEAN, AS Tidak Anggap Penting Asia Tenggara?

Donald Trump tidak akan hadir dalam KTT ASEAN, ketika para pemimpin negara Asia Tenggara dan pemimpin negara mitra regional dijadwalkan mengikuti pertemuan multilateral rutin tahunan tersebut.

Liputan6.com, Bangkok - Presiden Amerika Serikat Donald Trump tidak akan hadir dalam KTT ASEAN, ketika para pemimpin negara Asia Tenggara dan pemimpin negara mitra regionalnya --termasuk China hingga Australia-- dijadwalkan mengikuti pertemuan multilateral rutin tahunan tersebut.

Ini merupakan tahun kedua berturut-turut Trump tidak hadir dalam KTT ASEAN, di mana perhalatan edisi kali ini akan digelar di Bangkok, Thailand pada 3 - 4 November 2019 mendatang.

Terakhir kali Trump menghadiri pertemuan ASEAN adalah pada pertemuan puncak KTT ASEAN-AS di Manila, yang berbarengan dengan KTT APEC di Vietnam pada 2017.

Sejak itu, ia mendelegasikan tugas kepada sejumlah pejabat di bawahnya, termasuk Wakil Presiden Mike Pence dalam KTT ASEAN di Singapura pada 2018.

Kendati demikian, pada tahun yang sama dan setahun berikutnya, Trump rela bepergian jauh ke Asia Tenggara untuk bertemu Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un di Singapura (Juni 2018) dan Vietnam (Februari 2019) dalam perundingan denuklirisasi Semenanjung Korea.

Tidak hadirnya Trump ke KTT ASEAN tahun ini menuai pertanyaan dari para analis perihal seberapa penting kawasan Asia Tenggara dalam cetak biru kebijakan luar negeri dan multilateralisme AS, terutama ketika organisasi itu tengah mengupayakan perjanjian ekonomi bebas dengan negara mitra (Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP) hingga penyelesaian sengketa Laut China Selatan yang menggoyah infrastruktur kawasan Indo-Pasifik --demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (31/10/2019).

Kedutaan Besar AS di Jakarta mengumumkan dalam pernyataan pers yang diterima Liputan6.com bahwa Penasihat Keamanan Nasional AS Robert O'Brien dan Menteri Perdagangan Wilbur Ross adalah utusan khusus Presiden Trump ke KTT ASEAN.

Mendag Ross juga akan mewakili Amerika Serikat pada Forum Bisnis Indo-Pasifik tahunan kedua di ibukota Thailand, dan akan memimpin misi dagang ke Indonesia dan Vietnam.

Pernyataan Gedung Putih tidak mengatakan mengapa Trump melewatkan pertemuan, juga tidak menjelaskan mengapa Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo --diplomat top dan salah satu pejabat tinggi dalam hierarki kepemimpinan AS-- turut tidak hadir ke Bangkok.

Absennya Trump bisa dianggap sebagai penghinaan bagi tuan rumah KTT sekaligus Ketua ASEAN saat ini, Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha, Al Jazeera menulis.

Sebaliknya, pendahulu Trump, Presiden Barack Obama menghadiri semua pertemuan ASEAN selama delapan tahun menjabat, kecuali pada 2013 ketika ia terpaksa membatalkan karena penutupan pemerintah AS atau government shutdown.

Simak video pilihan berikut:

2 dari 3 halaman

Konsep Indo-Pasifik hanya Sebatas Jargon bagi AS?

Meskipun mendeklarasikan Indo-Pasifik "satu-satunya wilayah paling konsekuensial bagi masa depan Amerika" dalam sebuah laporan strategi Pentagon tahun ini, administrasi Trump terus mengurangi kehadiran AS di pertemuan multilateral para pemimpin Asia.

Diplomat Asia mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa kurangnya perwakilan tingkat tinggi AS di Bangkok akan menjadi kekecewaan yang signifikan, jika bukan tidak terduga, di suatu wilayah yang semakin khawatir atas perkembangan pesat pengaruh China di kawasan.

Para diplomat dan analis mengatakan ketidakhadiran Trump di Bangkok akan menimbulkan pertanyaan tentang komitmen AS terhadap kawasan itu, terutama setelah ia menarik AS dari organisasi 11 negara perjanjian perdagangan Kemitraan Trans-Pasifik pada 2017, tak lama setelah ia menjabat.

"Jelas, tanpa kehadiran Trump, profil KTT (ASEAN) tidak akan setinggi yang diperkirakan," Kavi Chongkittavorn, seorang jurnalis veteran untuk urusan regional, menulis di Bangkok Post.

"Jika presiden AS terus melewatkan KTT terkait ASEAN - termasuk KTT ASEAN-AS - tahun demi tahun, tidak diragukan lagi akan mempengaruhi posisi Amerika di kawasan itu, yang akan mengurangi persepsi keandalan Washington sebagai mitra strategis."

Piti Srisangnam, direktur Pusat Studi ASEAn di University Chulalongkorn Thailand mengambil sikap yang lebih keras terhadap keputusan Trump untuk melewati KTT.

"Mengirim seseorang tanpa wewenang untuk membuat keputusan ke pertemuan puncak menunjukkan bahwa AS tidak melihat ASEAN sebagai hal yang penting," katanya seperti dikutip dari Bangkok Post, seraya menambahkan ini bukan pertanda baik bagi strategi AS mengenai 'free and open Indo-Pacific'.

"AS mungkin melihat pengaruhnya di kawasan ini menurun."

Matthew Goodman, penasihat senior bidang ekonomi Asia di Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington DC, menyebut rencana AS untuk ASEAN sebagai "masalah nyata".

"Jika Anda muncul, Anda diberi pujian, terlepas dari apa pun yang kamu katakan atau lakukan. Jika kamu tidak muncul, itu masalah nyata."

Amy Searight, seorang pejabat senior pertahanan di bawah Presiden Obama dan sekarang menjadi penasihat senior di CSIS Washington DC, mengatakan, KTT ASEAN telah menjadi forum dialog strategis utama untuk Asia Pasifik, yang juga mengundang para pemimpin dari China, India, Jepang, dan Korea Selatan, serta 10 negara ASEAN.

"Ini akan menjadi berita utama di kawasan itu bahwa tidak ada pemimpin senior Amerika yang datang ke pertemuan puncak dengan 17 pemimpin lainnya dari Indo-Pasifik," katanya.

Namun, pengamat lain menyatakan bahwa tidak hadirnya Trump justru merupakan hal baik bagi marwah diskusi di antara para pemimpin Asia Tenggara dan mitranya.

"Partisipasi Presiden Trump (dalam KTT) adalah hal rumit, dan berkali-kali di masa lalu berakhir dengan konfrontasi," kata analis politik dari Chulalongkorn University Thailand, Panitan Wattanayagorn, dikutip dari Bangkok Post.

"Mempertimbangkan situasi saat ini di dunia internasional, para kepala negara dapat memutuskan untuk memilih keluar dari setiap peristiwa, jika mereka melihat kemungkinan konfrontasi terbuka (dengan saingan mereka)," jelasnya.

Panitan juga mengatakan fakta bahwa Menteri Perdagangan AS akan menghadiri dan bertemu tokoh-tokoh terkemuka di sektor bisnis harus dilihat sebagai kesediaan AS untuk berbicara dan bernegosiasi untuk menyelesaikan masalah perdagangan dengan mitra ASEAN.

3 dari 3 halaman

AS, Tiongkok, ASEAN dan Isu Laut China Selatan

Di antara masalah yang diperkirakan akan mendominasi pertemuan di Bangkok adalah perselisihan yang sedang berlangsung atas klaim maritim di Laut China Selatan antara beberapa negara anggota ASEAN dan Tiongkok.

Selama 15 tahun, blok 10-anggota ASEAN telah berjuang untuk mencapai kesepakatan dengan China tentang masalah ini, yang mengarah ke beberapa pertempuran diplomatik atas pulau dan wilayah yang disengketakan di perairan yang kaya sumber daya.

China mengklaim hampir semua Laut China Selatan --salah satu rute pengiriman tersibuk di dunia dan kaya akan minyak-- dengan batas nine-dash-line yang kontroversial. Anggota ASEAN, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei, juga mengklaim bagian dari wilayah tersebut, seperti halnya Taiwan.

Sejauh ini, negara-negara anggota ASEAN dan China belum juga menyepakati kode etik yang akan berfungsi sebagai pedoman untuk klaim yang bersaing, dan China telah berusaha meminta anggota kelompok untuk menegosiasikan klaim tersebut secara bilateral.

Kantor berita Reuters melaporkan pada hari Selasa bahwa David Stilwell, asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik, akan berada di Bangkok, tetapi ia akan secara signifikan kalah tinggi dari para pemain regional yang akan berunding di sana.

Menurut Bangkok Post, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, Perdana Menteri China Li Keqiang dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in diperkirakan akan melakukan perjalanan ke Bangkok, meskipun masih belum jelas apakah Perdana Menteri India Narendra Modi akan hadir.