Sukses

Menanti Keputusan Pemerintah untuk Pemulangan WNI Eks-ISIS dari Suriah

Pejabat BNPT mengatakan, instansinya telah memiliki alat untuk melakukan program deradikalisasi yang khusus ditujukan kepada orang Indonesia eks-ISIS di Suriah.

Liputan6.com, Jakarta - Pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme RI mengatakan bahwa instansinya telah memiliki alat untuk melakukan program deradikalisasi yang khusus ditujukan kepada orang Indonesia eks-ISIS atau eks-foreign terrorist fighter di Suriah, seandainya mereka dikembalikan ke Tanah Air.

Namun yang menjadi persoalan, kata Deputi Bidang Kerjasama Internasional BNPT Andhika Chrisnayudhanto, pihaknya masih menunggu keputusan politik dari pemerintah perihal apakah Indonesia akan mengupayakan atau bahkan, menerima kepulangan mereka.

"Belum ada keputusan nasional untuk mengembalikan (orang-orang tersebut)," kata Andhika selepas mengisi seminar 'Countering and Preventing Violent Extremism and Radicalization – A Danish Perspective' di Jakarta, Rabu 20 November 2019.

"Berbagai persiapan apapun yang bisa dilakukan tidak akan berarti jika belum ada (keputusan pemerintah). Sehingga sekarang, belum dapat dilaksanakan, karena memang belum ada keputusan bersama," lanjutnya.

Andhika menegaskan bahwa BNPT baru bisa bergerak setelah keputusan nasional itu dirampungkan --di mana saat ini, isu tersebut tengah digodok oleh Kemenko Polhukam selaku ujung tombak, berkoordinasi dengan kementerian/lembaga lain.

Kendati demikian, Andhika menambahkan bahwa "BNPT sudah punya alat" deradikalisasi, re-integrasi, dan rehabilitasi orang-orang tersebut, jika seandainya pemerintah secara bulat memutuskan untuk menerima mereka kembali.

Data dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menyebut ada "sekitar 295 WNI ... termasuk di antaranya kelompok rentan (anak-anak dan perempuan)" eks-simpatisan dan militan ISIS yang tertahan di kamp-kamp penahanan yang dikendalikan oleh Pasukan Demokratik Kurdi Suriah.

"Sementara itu, lebih dari 100 di antara mereka sudah lari dari kamp-kamp tersebut," tambah Direktur IPAC Sydney Jones, kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu 20 November 2019.

Sejumlah media internasional, seperti The New York Times dan Al Jazeera melaporkan bahwa ada fenomena larinya sejumlah penghuni kamp-kamp tahanan eks-simpatisan ISIS di Suriah menyusul operasi militer Turki ke Suriah utara yang dikuasai Kurdi. Beberapa yang melarikan diri merupakan orang-orang yang berstatus sebagai eks-militan atau eks-kombatan ISIS, di samping simpatisan non-kombatan.

"Pemerintah RI harus menindak mereka ... dan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mencegah orang-orang tersebut kembali melakukan aksi kekerasan atau membentuk organisasi teroris baru di lokasi lain," kata Sydney Jones.

Namun ia memahami bahwa situasi sarat konflik di Suriah utara "membahayakan agen pemerintah RI, jika pada akhirnya mereka memutuskan untuk menarik keluar orang-orang (eks-ISIS) tersebut dari sana."

Senada, diplomat Indonesia, Arrmanatha Nasir mengatakan saat masih menjabat sebagai juru bicara Kementerian Luar Negeri RI awal tahun ini bahwa butuh ada verifikasi berjenjang hingga keputusan bulat pemerintah RI terkait penanganan hukum hingga program deradikalisasi yang akan diberikan kepada mereka, jelasnya.

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Bukan Perkara Mudah

Kementerian Luar Negeri RI, selaku ujung tombak diplomasi perlindungan WNI di luar negeri, mengaku kesulitan melakukan pendataan aktual terhadap jumlah orang-orang tersebut. Penyebabnya, mayoritas lokasi kamp-kamp berada di zona pertempuran di Suriah utara, bagian dari Perang Saudara Suriah yang masih berlangsung hingga saat ini.

Pemeriksaan dokumen demi verifikasi kewarganegaaran mereka pun sulit dilakukan, ungkap Kemlu beberapa waktu lalu, mengingat, sebagian besar orang-orang tersebut melakukan migrasi ilegal.

Pada akhir Oktober 2019, pelaksana tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah mengatakan, pemerintah belum mendapat informasi jelas tentang jumlah orang Indonesia simpatisan ISIS yang berada di Suriah karena proses verifikasi masih terus dilakukan.

Komentar itu datang ketika pemerintah Turki, yang berhasil menduduki Suriah utara pasca-operasi militer mereka Oktober lalu, menyerukan agar negara-negara asing menerima kembali eks-simpatisan ISIS yang ditahan diwilayah tersebut.

"Selama ini, Indonesia terus bekerja sama dengan pihak ketiga yang memiliki akses ke dalam. Maka dari itu masih sulit sekali untuk mengonfirmasi kebenarannya," kata Faizasyah.

Ia menambahkan, nantinya Indonesia memerlukan upaya khusus di bawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk bisa memastikan status para WNI di Suriah. Hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama karena warga negara yang meninggalkan Indonesia tanpa melapor ke perwakilan manapun, tidak terdeteksi.

Soal kabar bahwa Turki akan turut membantu memulangkan para WNI, Faizasyah menjelaskan, "Saya belum dengar soal itu. Yang saya tahu, pada waktu lalu ada yang dibantu pulang oleh pemerintah dengan kerja sama dengan negara setempat seperti Irak dan lainnya," ujar Faizasyah.

Indonesia terus melakukan komunikasi dengan pemerintah Irak, Turki, dan Suriah. Namun, akan tetap sulit bagi pemerintah untuk bisa masuk ke wilayah konflik, walaupun sudah sedikit mereda.

Kemlu RI menyatakan akan terus melakukan komunikasi dengan pemerintah berdaulat, melakukan proses lainnya bersama pihak ketiga seperti Palang Merah Internasional (ICRC) atau badan netral lain yang bisa membantu.

Selain itu, pemerintah juga belum dapat memastikan tentang Foreign Terrorist Fighters (FTF) asal Indonesia, kata Faizasyah "lantaran proses verifikasi nasional masih sangat sulit dilakukan karena kondisi dan wilayah yang tidak memungkinkan."

Sementara itu, muncul laporan bahwa beberapa orang Indonesia tewas akibat kekerasan yang terjadi di dalam kamp-kamp penahanan simpatisan ISIS di Suriah. Sedangkan laporan lain mengkhawatirkan bahwa pengabaian terhadap orang-orang di kamp tersebut bisa memicu bertumbuhnya gelombang teroris lone wolf, sleeper cells, hingga kelompok baru.