Liputan6.com, Xinjiang - Sebuah laporan dari International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) menguak dokumen-dokumen rahasia dari China terkait kemah detensi etnis Uighur. Dalam salah satu dokumen, pemerintah China menggunakan aplikasi untuk memata-matai Muslim Uighur di Xinjiang.
Menurut ICIJ, aplikasi yang digunakan China adalah aplikasi Zapya (Kuai Ya) yang kerap digunakan komunitas Muslim untuk berbagi konten religi. Pengembang aplikasi itu adalah DewMobile asal Beijing.
Advertisement
Baca Juga
Lewat aplikasi tersebut, pengguna bisa berbagi video, foto, dan files lain tanpa menggunakan koneksi internet. Pengguna Zapya di Uighur juga ternyata mencapai jutaan dan China berhasil memantau siapa penggunanya.
Salah satu pengungsi Uighur, Zumrat Dawut, berkata polisi sering memeriksa aplikasi Zapya. Jika ada yang men-download konten religi, maka polisi akan menahan orang tersebut.
Informasi yang China dapatkan lewat Zapya juga sangat detail. Mereka tahu berapa saja imam yang tak berizin di wilayah Xinjiang, orang-orang yang berhubungan dengan mereka, bahkan tagar apa saja yang dipakai.
Menurut dokumen rahasia bertanggal 29 Juni 2017 itu, China berhasil tahu ada 1,8 juta orang pengguna Zapya di kalangan Uighur, 3.925 imam tak berizin, dan 5.576 orang yang berhubungan dengan para imam tersebut.
Ada pula 124 provokator atau yang disebut "hijrat" oleh pemerintah China, serta 72 orang yang punya hubungan dengan para "hijrat". Pemerintah juga tahu lokasi mereka yang memakai tagar-tagar yang dianggap berbahaya.
Meski demikian, belum jelas bagaimana pemerintah China mendapatkan data dari Zapya. Pihak pengembang Zapya juga tidak mau memberi komentar soal dokumen rahasia yang bocor itu.
"Dokumennya tidak menjelaskan abagaimana pemerintah mendapatkan data pengguna dari Zapya," jelas ICIJ. "Dokumen-dokumen itu tidak memberikan tanda bahwa perusahaan terkait bekerja sama dengan otoritas China."
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Database Informasi
Pengawasan massal yang terjadi ini menggarisbawahi kemampuan pemerintah China untuk mengawasi tindakan orang banyak. Pakar pun khawatir China berniat mengekspor kemampuan pengawasan mereka ke luar negeri.
"Dengan sistem informasi digital ini, (Pemerintah China) percaya mereka bisa benar-benar mengetahui apa yang seseorang lakukan, apa yang orang itu percaya, apa yang mereka lakukan tiap hari? Bagaimana kelakuan mereka? Apa yang mereka ucapkan ketika tak ada yang mendengarkan?" ujar Adrian Zenz, pakar kebijakan Xinjiang dan China.
Tak hanya aplikasi, dokumen Human Rights Watch juga menguak program Integrated Joint Operations Platform (IJOP) milik pemerintahan China. Program itu mengandung data-data pribadi masyarakat Uighur.
"Sumber-sumbernya termasuk dokumen identifikasi nasional, checkpoint Xinjiang yang tak terhitung, kamera sirkuit tertutup yang punya pengenal wajah, spyware "Wi'Fi sniffers" yang yang dipaksa polisi agar diinstal etnis Uighur agar bisa mengumpulkan informasi di smartphone dan komputer, dan paket pengiriman," jelas ICIJ.
Advertisement
Bantahan Pemerintah China
Selain teknologi mata-mata, dokumen ICIJ juga mengungkap betapa ketatnya "tempat pelatihan vokasi" di Xinjiang. Para peserta pelatihan pun hanya boleh menelepon keluarga selama satu kali seminggu, bahkan peserta dilarang berganti tempat duduk.
Apa yang China sebut lokasi pelatihan itulah yang dipandang kelompok HAM sebagai kamp detensi Muslim Uighur.
Pihak China membantah dan menyebut "tempat pelatihan" itu memiliki niat baik, yakni melatih peserta di kehidupan sehari-hari. Pemerintah pun memberi bantuan jika peserta pelatihan punya anak.
Namun, pihak China menolak mengatakan dokumen-dokumen rahasia soal kemah detensi itu adalah berita palsu. Media asing pun diminta bertanya langsung ke sumber resmi pemerintah.
"Apa yang disebut dokumen-dokumen bocor ini adalah murni karangan dan berita palsu. Ada banyak dokumen berwenang di China untuk menjadi referensi masyarakat China dan media asing yang ingin tahu tentang pendidikan vokasi dan pusat-pusat pelatihan," ujar Kedutaan Besar China di Inggris.