Liputan6.com, London - Lusinan negara menggemakan seruan perundingan perjanjian untuk mempertahankan "kontrol manusia atas robot", termasuk dari 30 negara yang ingin melarang penggunaan senjata otonom sepenuhnya --juga dikenal sebagai robot pembunuh.
Direktur advokasi Human Rights Watch (HRW) Mary Wareham percaya penggunaan senjata otonom muncul sebagai "salah satu ancaman paling mendesak bagi kemanusiaan" di dunia saat ini.
Advertisement
Baca Juga
Ia menegaskan negara-negara terkemuka karena gagal mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah tersebut.
Sementara itu, para pakar pun telah mengeluarkan peringatan bahwa robot pembunuh berpotensi "menyingkirkan populasi manusia dengan serangan yang tidak bertanggung jawab."
Menjabarkan risiko kecerdasan buatan (AI) di medan perang, direktur advokasi divisi senjata HRW menulis dalam surat terbuka yang diterbitkan oleh HRW, dikutip dari Sputnik, Selasa (26/11/2019):
(Negara dengan) kekuatan militer besar berlomba untuk menciptakan senjata yang bisa memilih dan menembak sasaran tanpa kontrol manusia terlebih dahulu. Ini meningkatkan momok tentang sistem senjata, tidak bertanggung jawab, tidak terkendali, yaitu robot pembunuh. Ini juga mendorong kekhawatiran proliferasi yang meluas dan ketidakstabilan global dan regional.
Saksikan video pilihan di bawah ini:Â
Membunyikan Alarm Peringatan
Banyak ahli menekankan bahwa sejumlah negara mulai 'membunyikan alarm peringatan' pada sistem senjata seperti ini.
Misalnya pada pertemuan tahunan Convention on Conventional Weapons (CCW) pertengahan November 2019, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan perjanjian internasional baru untuk melarang penggunaan robot pembunuh untuk tujuan apapun.
"Mesin yang memiliki kekuatan dan keleluasaan untuk membunuh tanpa campur tangan manusia, secara politis, tidak dapat diterima dan tercela secara moral," tegasnya.
Kelompok kampanye Campaign to Stop Killer Robots juga menyerukan perjanjian global yang mengajak seluruh negara untuk melarang penggunaan robot pembunuh.
Direktur advokasi Human Rights Watch (HRW) Mary Wareham menyesalkan fakta bahwa tidak ada kemajuan yang dicapai dalam meluncurkan perundingan mengenai perjanjian untuk melarang atau membatasi robot pembunuh dalam pertemuan CCW di PBB di Jenewa.
Sebagai gantinya, negara-negara sepakat untuk menghabiskan dua tahun berikutnya untuk mengembangkan "kerangka kerja normatif dan operasional" untuk mengatasi masalah dari penggunaan sistem senjata semacam itu.
"Tujuan samar-samar ini jauh dari apa yang dibutuhkan. Satu-satunya tanggapan yang tepat adalah meluncurkan negosiasi untuk melarang robot pembunuh," desaknya.
Â
Advertisement
Respons Masyarakat Eropa
Tiga dari empat orang yang menanggapi jajak pendapat di 10 negara Eropa ingin pemerintah mereka merespons perjanjian internasional yang melarang penggunaan robot pembunuh, Human Rights Watch mengatakan sebelumnya pada November ini.
73 persen responden menginginkan negara-negara Eropa untuk mengambil tindakan tegas guna mendukung larangan sistem senjata yang dapat memilih dan menyerang sasaran tanpa kontrol manusia.
Misalnya, di Belanda, 80 persen responden mendukung pemerintah yang mendukung larangan semacam itu. Survei ini dilakukan pada Oktober 2019, termasuk di Belgia, Finlandia, Jerman, Hongaria, Italia, Irlandia, Norwegia, Belanda, Spanyol dan Swiss.