Liputan6.com, Jakarta - Pada 27 November 1095, Paus Urban II membuat pidato yang paling berpengaruh pada Abad Pertengahan, yang memunculkan Perang Salib I dengan memanggil semua orang Kristen di Eropa untuk berperang melawan kaum Muslim untuk merebut kembali Tanah Suci Yerusalem.
"Deus vult!" seru sang paus, yang berarti; "Tuhan menghendaki!" perang tersebut, demikian seperti dikutip dari History, Rabu (27/11/2019).
Terlahir sebagai Odo of Lagery pada tahun 1042, Urban adalah anak didik dari Paus Gregorius yang reformis. Seperti Gregory, ia menjadikan reformasi internal sebagai fokus utamanya, menentang simony (penjualan kantor-kantor gereja) dan pelanggaran-pelanggaran gerejawi lainnya yang lazim terjadi pada Abad Pertengahan.
Advertisement
Urban menunjukkan dirinya sebagai pemimpin Katolik yang mahir dan kuat, dan ketika ia terpilih menjadi paus pada 1088, ia menerapkan kepemimpinan tegas menyusul melemahnya dukungan publik atas para pesaingnya, terutama Clement III.
Pada akhir abad ke-11, perebutan atas Tanah Suci Yerusalem telah menjadi titik konflik bagi orang Kristen Eropa.
Sejak Abad ke-6, orang-orang Kristen sering melakukan ziarah ke Yerusalem yang notabene merupakan tempat kelahiran agama mereka. Tetapi, ketika orang-orang Turki Seljuk mengambil kendali atas Yerusalem, orang-orang Kristen dilarang masuk ke Kota Suci.
Ketika Turki kemudian mengancam untuk menyerang Kekaisaran Bizantium dan merebut Konstantinopel, Kaisar Bizantium Alexius I mengajukan permohonan khusus kepada Paus Urban untuk meminta bantuan.
Meski bukan yang pertama, tawaran ini datang pada saat yang penting bagi Urban. Ingin memperkuat kekuatan kepausan, Urban mengambil kesempatan untuk menyatukan Eropa Kristen di bawah kendalinya ketika ia berjuang untuk merebut kembali Tanah Suci dari Turki.
Pada Konsili Clermont di Prancis, di mana beberapa ratus pastor dan bangsawan berkumpul, Urban menyampaikan pidato yang membangkitkan semangat orang kaya dan orang miskin untuk menghentikan pertengkaran mereka dan memulai perang untuk membantu sesama orang Kristen di Timur guna merebut kembali Yerusalem dari kekuasaan Muslim.
Urban merendahkan orang-orang Muslim, mempropagandakan cerita tentang tindakan anti-Kristen mereka, dan menjanjikan pengampunan dosa bagi semua orang yang mati dalam pelayanan Kristus selama Perang Salib.
Seruan perang Urban membakar publik, memobilisasi pemimpin agama lokal untuk menggalang dukungan di seluruh Eropa untuk Perang Salib melawan Muslim.
Perang Salib I, Katolik Mengalami Kekalahan
Antara 60.000 dan 100.000 orang menanggapi panggilan Urban untuk merebut Yerusalem dalam gelombang pertama Perang Salib.
Namun, tidak semua yang merespons melakukannya karena kesalehan: bangsawan Eropa tergoda oleh prospek peningkatan kepemilikan tanah dan kekayaan yang akan diperoleh dari penaklukan.
Para bangsawan ini bertanggung jawab atas kematian banyak orang tak berdosa baik dalam perjalanan ke dan di Tanah Suci, menyerap kekayaan dan harta dari orang-orang yang mereka anggap sebagai lawan untuk tujuan mereka.
Kurangnya pengalaman dan disiplin para pasukan Kristen yang berlatar belakang petani menyebabkan angka kematian di kubu mereka melonjak, terlebih, ketika mereka harus melawan tentara profesional terlatih Muslim.
Akibatnya, orang-orang Kristen pada Perang Salib I dipukul mundur, dan hanya dengan kekuatan jumlah yang banyak pada gelombang perang berikutnya, mereka akhirnya bisa menang.
Urban meninggal pada 1099, empat tahun setelah ia menyerukan Perang Salib I dan dua pekan setelah pasukan Katolik berhasil merebut Yerusalem dari Muslim.
Tetapi Urban tutup usia sebelum berita kemenangan Kristen berhasil sampai ke Eropa.
Meski telah meninggal, kebijakan Paus Urban menyulut fenomena Perang Salib yang berlarut. Apa yang ia gagas awalnya hanyalah yang pertama dari tujuh kampanye militer besar selama dua abad berikutnya.
Pada abad modern, peperangan yang disebut sebagai Perang Salib atau the Crusades dalam historiografi menunjukkan betapa berdarahnya konflik, dengan efek samping yang masih terasa sampai sekarang.
Advertisement