Sukses

Dukung UN Women, Hannah Al Rashid: Banyak Anak Sekolah Tak Sadar Kena Pelecehan

Hannah Al Rashid berkata anak sekolah harus paham kekerasan terhadap perempuan dan hubungan toxic.

Liputan6.com, Jakarta - Aktris-aktivis Hannah Al Rashid mengajak kalangan publik untuk berani bicara soal maraknya kasus kekerasan seksual. Hannah menilai diskursus mengenai topik tersebut masih tabu di kalangan Indonesia sehingga menghalangi proses pencarian solusi.

Ajakan itu disampaikan Hannah dalam rangkaian kampanye internasional 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dari UN Women. Absennya diskusi soal kekerasan seksual membuat korban enggan berbicara dan terus terjebak di siklus kekerasan.

"Setiap 16 hari ini kita memang kita harus membuka ruang dialog tentang isu ini, karena memang penting sebab kita tak akan bisa cari solusi kalau kita tidak tahu dasarnya ada masalah," ujar Hannah kepada Liputan6.com di Institut Français Indonesia (IFI) di Jakarta pada Selasa (26/11/2019).

"Untuk mengetahui ada masalah itu ya kita harus komunikasi. Kita harus ngobrol. Kita harus memang ngobrol tentang hal-hal yang membuat kita tidak nyaman. Harus berangkat dari situ," lanjut Hannah.

Pandangan itu Hannah sampaikan usai diskusi soal film Posesif besutan sutradara Edwin dalam rangkaian kampanye UN Women. Film pemenang Piala Citra menunjukan hubungan toxic antar dua sejoli SMA yang diperankan Putri Marino dan Adipati Dolken.

Edwin mengaku melakukan observasi sosial dalam menggarap film tersebut, sehingga terwujud adegan atau dialog yang mengena. Hannah sendiri mengaku kerap mendengar cerita-cerita pelajar yang tak sadar sedang dalam hubungan toxic.

Hal tersebut Hannah dengar langsung dari pelajar yang mengirimkan Direct Message (DM) di media sosial. Ia lantas berpikir bahwa para murid sekolah perlu diajari terkait kekerasan dalam pacaran atau konsep consent di suatu hubungan agar tak terjebak hubungan toxic.

"Hal-hal kayak gitu sebenarnya kita harus makin sadar. Kalau gue menerima DM dari anak SMP-SMA itu banyak yang tak sadar apa yang menimpa mereka sebenarnya kekerasan atau pelecehan," tegas aktivis UN Women itu.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

11 Tahun di Indonesia

Hannah sudah tinggal di Indonesia selama 11 tahun. Ia pun melihat berkat perkembangan dunia digital, kesadaran masyarakat pada kekerasan untuk melawan kekerasan terhadap perempuan pun makin meningkat.

"Kasus terbesarnya mungkin soal Ibu Baiq Nuril kemarin. Dengan kasus dia dibicarakan terus di sosial media, sampai ada yang bikin petisi online segala macam, akhirnya bisa sampai ke atas. Bisa ada amnesti dari presiden," ucap Hannah.

Hannah sendiri merupakan tipe seleb yang memakai platform media sosial miliknya untuk menyuarakan isu-isu perempuan. Di Twitter, Hannah juga kerap membahas RUU-Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS). UN Women juga membawa tema #HearMeToo agar orang berani bersuara soal kekerasan terhadap perempuan.

Ketika ditanya soal perkembangan awareness di Indonesia semenjak ia pertama datang, Hannah berkata masih banyak PR yang belum selesai, terutama yang menyangkut produk hukum.

 "Dalam 10 tahun ini tidak banyak perkembangan dari level atas secara policy. RUU PKS masih tidak disah-sahkan. RKUHP juga masih banyak pasal yang problematik," ucapnya.

Sesuai topik diskursus yang ia dorong, Hannah berkomitmen akan terus meramaikan isu ini agar tidak terlupakan. Percakapan pun akan terus ia gemakan sampai korban kekerasan benar-benar dilindungi oleh hukum.

 

3 dari 3 halaman

Data PBB

Data UN Women mencatat kekerasan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu fisik, seksual, dan psikologis. 1 dari 3 perempuan juga disebut pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual, biasanya oleh orang-orang terdekat.

Jenis kekerasan seksual terhadap perempuan termasuk pemerkosaan, pelecehan, penganiayaan seksual pada anak, serta pernikahan di bawah umur.

Pemerkosaan yang terjadi dalam pernikahan (marital sex) juga dimasukin ke dalam kategori kekerasan seksual.Hal lain yang disorot adalah sunat perempuan.

Tindakan tersebut memberikan rasa sakit fisik dan psikologis yang luar biasa bagi perempuan, risikonya pun kematian. Ada setidaknya 200 juta perempuan di 30 negara yang mengalami ini.