Liputan6.com, Teheran - Agen keamanan Iran menangkap delapan orang yang ditiduh terkait dengan Badan Intelijen Amerika Serikat atau CIA. Mereka dituding sebagai dalang kerusuhan mematikan pekan lalu yang dipicu pencabutan subsidi dan kenaikan harga bensin.
Orang-orang itu, lapor kantor berita semi-resmi IRNA, "telah menerima pelatihan yang didanai CIA di berbagai negara di bawah kedok menjadi jurnalis warga," katanya mengutip kementerian intelijen Iran, dilansir Al Jazeera, Kamis (28/11/2019).
"Enam ditangkap saat menghadiri kerusuhan dan melaksanakan perintah (CIA)," tuduh badan intelijen itu, dan "dua ketika mencoba ... mengirim informasi ke luar negeri."
Advertisement
Baca Juga
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei --dalam sambutannya yang terkuat sejak kerusuhan memuncak-- menggambarkan kekerasan selama dua pekan terakhir sebagai "konspirasi yang sangat berbahaya."
"Orang-orang menggagalkan konspirasi yang dalam, luas dan sangat berbahaya yang menghabiskan banyak uang untuk penghancuran, kejahatan dan pembunuhan orang," kata Khamenei.
Khamenei berbicara pada pertemuan Basij, sebuah kelompok milisi yang setia pada revolusi Islam Iran dan, selama dua pekan terakhir, turut membantu pemerintah secara signifikan untuk menghentikan demonstrasi. Semua anggota Basij adalah sukarelawan dari Korps Garda Revolusi Iran (IRGC).
Sementara itu, dalam sebuah Twit, Khamenei menunjuk AS dan Israel --yang merupakan seteru utama Negeri Persia-- sebagai biang keladi rangkaian demo nasional.
Khamenei menilai, AS melihat kebijakan kenaikan harga bensin di Iran sebagai "kesempatan" untuk membawa "pasukan" mereka ke lapangan, tetapi "langkah itu dihancurkan oleh rakyat (Iran)."
Menteri Dalam Negeri Iran, Abdolreza Rahmani Fazli memperkirakan sebanyak 200.000 orang ambil bagian dalam demonstrasi, lebih tinggi dari klaim sebelumnya. Dia mengatakan demonstran merusak lebih dari 50 kantor polisi, serta 34 ambulan, 731 bank dan 70 pompa bensin di negara itu.
"Kami memiliki orang-orang yang terbunuh oleh pisau, senapan, dan api," kata Fazli, tanpa menawarkan angka korban, dalam pernyataan yang diterbitkan oleh IRNA.
Simak video pilihan berikut:
Jumlah Korban Tewas Tidak Diketahui
Pemerintah Iran masih belum menawarkan statistik tentang korban tewas dan luka selama rangkaian protes serta penanggulangan yang dilakukan petugas keamanan. Demo dipicu oleh kenaikan harga bensin yang ditetapkan pemerintah naik 50 persen per 15 November 2019.
Amnesty International meyakino kekerasan itu menewaskan sedikitnya 143 orang, sesuatu yang diperselisihkan Iran tanpa menawarkan bukti apa pun untuk mendukung klaimnya.
Human Rights Watch (HRW) yang bermarkas di New York pada Rabu 27 November menuduh pemerintah Iran "sengaja menutupi" skala tindakan keras tersebut.
HRW meminta pihak berwenang untuk "segera mengumumkan jumlah kematian, penangkapan, dan penahanan ... dan mengizinkan penyelidikan independen terhadap dugaan pelanggaran."
Advertisement
Di Tengah Sanksi AS terhadap Iran
Rangkaian demonstrasi nasional di Iran terjadi ketika ekonomi mereka dilanda pengetatan blokade AS, memicu berhentinya ekspor minyak Iran tahun ini.
Demonstrasi massa juga meletus di Irak dan Lebanon terhadap pemerintah yang dibangun di sekitar faksi-faksi pro-Iran yang terkemuka.
Konsumsi bensin harian telah turun sekitar 20 juta liter (5,2 juta galon) sehari sejak harga dinaikkan, kata Menteri Perminyakan Bijan Zanganeh, menurut kantor berita semi-resmi ISNA. Konsumsi harian di Iran berkisar 98 juta liter (25,8 juta galon) sebelum kenaikan harga.
Kebijakan Washington untuk memaksakan "tekanan maksimum" telah menghantam ekonomi Iran yang bergantung pada minyak, yang telah berjuang untuk mengatasi kenaikan inflasi, meningkatnya pengangguran, nilai mata uang negara yang merosot, dan korupsi.
Kenaikan harga bensin terjadi ketika 80 juta orang Iran telah melihat tabungan mereka berkurang dan pekerjaan langka di bawah penghancuran sanksi AS.
Presiden Donald Trump memberlakukan blokade itu setelah secara sepihak menarik AS dari kesepakatan nuklir Teheran dengan kekuatan dunia atau Joint Comprehensive Plan of Action 2015 (JCPOA).