Liputan6.com, London - Identitas korban aksi penusukan di Jembatan London terungkap sebagai Jack Merritt (25). Pria itu merupakan lulusan S2 dari Universitas Cambridge pada 2017 lalu. Merritt itu adalah satu dari dua korban tewas.
Dilaporkan Business Insider, Merritt belajar kriminologi di Cambridge pada tahun 2016-2017. Ia melanjutkan studinya di universitas ternama itu usai mendapat gelar S1 Hukum di Universitas Manchester.
Selain belajar di Cambridge, ia ternyata juga staff universitas. Info dari situs resmi universitas menyatakan Jack Merritt adalah koordinator program Learning Together. Program itu mengajak mahasiswa kriminologi untuk secara langsung mempelajari kehidupan narapidana.
Advertisement
Baca Juga
BBC melaporkan ketika insiden penusukan terjadi pada Jumat siang, 29 November 2019 waktu setempat, korban sedang mengadakan konferensi Learning Together di gedung Fishmonger Hall, dekat Jembatan London. Pelaku juga hadir di acara.
Pelaku bernama Usman Khan diketahui aktif dalam program Learning Together sebagai bagian studi kasus. Ia juga pernah memberikan apresiasi dalam bentuk puisi di brosur Learning Together.
Bapak dari korban penusukan di Jembatan London menuliskan di Twitter bahwa mendiang putranya merupakan sosok pembela yang lemah. Ia menegaskan putranya pasti tidak mau kematiannya justru dipakai sebagai justifikasi adanya hukum pidana bersifat drakonian atau kejam.
"Putra saya, Jack, yang terbunuh dalam serangan ini, tidak akan mau kematiannya dipakai sebagai alasan adanya lebih banyak hukuman drakonian atau untuk menahan lebih banyak orang tanpa sebab jelas," tulis Davit Merritt pada twit yang ia hapus.
"R.I.P. Jack, kamu adalah semangat yang rupawan yang selalu berpihak kepada kaum yang tertindas," ucapnya menambahkan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Hukuman Lebih Keras
Perdana Menteri Boris Johnson justru menegaskan perlu ada hukuman yang lebih keras. Pelaku sebetulnya sempat dipenjara pada tahun 2012 karena merencanakan serangan teroris ke gedung Bursa London, tetapi ia dilepaskan bersyarat pada Desember tahun lalu.
Pelepasan itu kini menuai kontroversi dari para politisi Partai Konservatif dan Buruh. Aksi saling menyalahkan sempat terjadi di dunia maya.
Politikus Buruh, Yvette Copper, mengaku heran mengapa Usman Khan bisa keluar dari penjara meski baru menjalani setengah masa hukuman. Khan bebas bersyarat karena setuju menggunakan electronic tag untuk memantau pergerakannya.
Komplain Copper pun disindir oleh politikus Konservatif, Priti Patel, yang menyebut produk hukum itu diloloskan kubu Buruh.
"Akibat legislasi yang dibawa pemerintahmu di tahun 2008 maka para teroris berbahaya bisa secara otomatis dilepaskan setelah menempuh setengah masa hubungan. Kubu konservatif mengubah hukum itu di tahun 2012 untuk mengakhiri kebijakan pembebasan otomatis tetapi Khan sudah didakwa sebelum itu," ucapnya via Twitter.
Advertisement
Akibat Salah Kebijakan?
PM Boris menyebut sejak dulu tak percaya bahwa pembebasan lebih awal bisa membawa pengaruh positif.
Hal itu memungkinkan berkas hukum Imprisonment for Public Protection (IPP). Hukum itu sudah tidak berlaku lagi sejak Partai Konservatif berkuasa di tahun 2012.
"Saya sejak lama mengatakan bahwa saya pikir praktik pembebasan otomatis, lebih awal, yakni berupa memotong masa penjara menjadi setengah dan membiarkan terpidana berbahaya keluar lebih awal tidaklah berfungsi," kata Boris.
Ia pun menyebut kasus penusukan ini adalah akibat dari kebijakan tersebut. "Dan saya pikir kamu mendapatkan bukti yang sangat bagus bahwa kebijakan tersebut tidaklah berfungsi," ujar dia.