Sukses

Setelah Indonesia, 629 Perempuan Pakistan Jadi Korban Pengantin Pesanan di China

Kasus jualan pengantin kembali terjadi.

Liputan6.com, Islamabad - Pada pertengahan 2019, kasus pengantin pesanan terkuak di Indonesia. Sebanyak 29 perempuan Indonesia menjadi korban untuk dijual ke China. Jelang akhir tahun, kasus pengantin pesanan kembali terkuak dan pelakunya berasal dari negara yang sama.

Dilaporkan AP News, Rabu (4/12/2019), sebanyak 629 perempuan dari berbagai wilayah Pakistan dijual sebagai pengantin di China. Praktik ini ditemukan oleh investigator Pakistan yang berusaha memberantas jaringan perdagangan manusia. Target jual-beli pengantin ini menimpa kalangan miskin dan rentan di Pakistan.

629 korban tersebut berasal dari skema perdagangan manusia sejak 2018. Tragisnya, kasus ini justru digelapkan oleh oknum pemerintah karena takut kasus ini mengganggu hubungan antara Pakistan dan China yang menguntungkan.

Pada Oktober, penghadilan di Faisalabad membebaskan 31 warga China yang terkait perdagangan pengantin. Beberapa perempuan yang sudah diwawancara polisi juga menolak bersaksi. Menurut sumber pengadilan dan investigator, para perempuan itu diancam atau disogok supaya tutup mulut.

Aktivis kristiani Saleem Iqbal berkata ada tekanan pada Badan Investigasi Federal Pakistan, bahkan beberapa pejabatnya dipindahkan. Tekanan tak lain berasal dari pemerintah.

"Ketika kami berbicara pada penguasa Pakistan, mereka tidak mau memberi perhatian," ujar Iqbal yang ikut membantu menyelematkan para korban.

Seorang pejabat senior yang ikut terlibat di kasus jualan pengantin ini berkata para investigator merasa frustasi atas kondisi ini. Media nasional juga didorong untuk menyembunyikan kasus perdagangan pengantin. Sang pejabat sendiri tak mau identitasnya terkuak karena takut ada pembalasan.

"Kegiatan ini berlanjut dan bertumbuh. Mengapa? Karena pelakunya tahu mereka bisa lolos dari ksus ini. Pihak berwajib tidak mau mengambil tindak lanjut, semua orang ditekan agar tidak menginvestigasi. Perdagangan orang bertambah sekarang," ujar pejabat itu.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Bungkam karena Proyek?

Ketika dikonfirmasi AP, pemerintah China berkata siap memberantas jual-beli pengantin bersama pemerintah Pakistan. Namun, mereka tidak menyebut tentang ratusan gadis yang ketahuan menjadi korban.

"Dua pemerintahan, China dan Pakistan, mendukung pembentukan keluarga bahagia antara warga kedua negara atas dasar sukarela dalam mematuhi hukum dan regulasi, pada saat yang sama (kami) tidak punya toleransi dan secara tegas melawan siapapun yang terlibat dalam perilaku pernikahan ilegal lintas batas," ujar pernyataan Kementerian Luar Negeri.

Aktivitas dan pegiat HAM berkata Pakistan mencoba membungkam kasus penjualan pengantin agar tidak melukai hubungan ekonomi dengan China. Saat ini kedua negara terhubung berkat Belt and Road Initiative alias Jalur Sutera Baru China.

Pakistan tercatat mendapat berbagai paket kegiatan dari China berkat proyek Koridor Ekonomi China-Pakistan senilai USD 75 miliar atau sekitar Rp 1.000 triliun (USD 1 = Rp 14.102). Kegiatan yang didukung mulai dari infrastruktur hingga pertanian.

Pakistan juga dibantu China untuk mengembangkan militer, termasuk pengembangan nuklir. Hubungan ini berguna bagi Pakistan yang cenderung punya hubungan tidak akrab dengan India. Kekuatan ekonomi dan militer India juga signifikan di wilayah subkontinental India.

3 dari 3 halaman

Kebijakan Satu Anak

AP melaporkan banyak pengantin yang terisolasi, dianiaya, atau dipaksa menjadi PSK di China. Mereka pun banyak yang menyesal dan meminta dipulangkan.

Perilaku ini menyangkut pihak China, Pakistan, serta oknum pendeta kristiani dari gereja evangelikal kecil. Para pendeta itu disebut mendapat sogokan agar mendorong jemaah untuk menjual anak perempuan mereka.

Para orang tua kristen dari keluarga tak mampu itu pun ditarget agar didorong untuk menjual anak perempuan mereka, termasuk yang masih remaja mereka.

Laporan Human Rights Watch menyebut perdagangan pengantin tak hanya terjadi di Pakistan atau Indonesia, melainkan negara-negara berkembang di Asia Tenggara, Timur, dan Utara, seperti Myanmar, Kambodja, Laos, Vietnam, Korea Utara, dan Nepal.

Kebutuhan pengantin asing di China meningkat akibat kebijakan satu-anak yang diterapkan di China selama 35 tahun. Alhasil, jumlah laki-laki mencapai 34 juta orang lebih banyak dari perempuan di China. Kebijakan ini baru berakhir pada 2015.