Sukses

20 Tahun Kuasai Jalanan, Nasib Bajaj di Mesir Segera Tamat

Pemerintah Mesir mulai serius memberantas bajaj (tuk-tuk).

Liputan6.com, Kairo - Pemerintahan Abdul Fattah As-Sisi sedang serius untuk menyingkirkan bajaj (tuk-tuk) sebagai sarana transportasi di Mesir. Hukuman pun disiapkan bagi para sopir yang tak mau menjual bajaj mereka.

Dilaporkan AP, Rabu (4/12/2019), pemerintah Mesir berencana menyingkirkan bajaj dalam rangka modernisasi sistem transportasi Mesir yang masih tertinggal. Para sopir bajaj pun diharuskan mengganti bajaj mereka dengan minivan.

Sedikit berbeda di Indonesia, bajaj di Mesir terkenal dengan mesin audio mereka yang memainkan musik-musik elektro-pop. Bajaj di Mesir juga sudah menguasai jalanan selama 20 tahun terakhir dan terkenal akan kemampuannya bermanuver.

Presiden Sisi sudah dalam lima tahu terakhir berusaha mengganti citra Mesir, dan bajaj menjadi salah satu sasarannya. Pihak pemerintah pun menegaskan bahwa segi keindahan menjadi aspek keindahan.

"Ini untuk kesehatan dan keselamatan seluruh masyarakat Mesir. Kami mencoba menciptakan citra yang lebih indah dari negara kita," Khaled el-Qassim, juru bicara Kementerian Pembangunan Lokal. Inisiatif ini juga dipimpin kementerian tersebut.

Sebelumnya, pemerintah Mesir memaklumi kehadiran mesir karena sudah akrab bagi masyarakat. Rencana baru ini akan mengharuskan para sopir bajaj untuk menjual kendaraan mereka serta mengambil pinjaman untuk membeli minivan.

Apabila kebijakan itu tak diikuti sopir bajaj, maka ada denda bahkan tuntutan hukum.

Tahun lalu, ada aturan lalu lintas yang membutuhkan semua pembeli baru untuk melisensi bajaj mereka. Perusahaan kendaraan seperti Ghabbour Group pun mengalami penurunan penjualan bajaj hingga 70 persen.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Penentangan

Salah satu sopir bajaj protes atas rencana pemerintah karena khawatir tak bisa menafkahi keluarganya lagi. Tiap harinya, sopir bernama Ehab Sobhy (47) menghasilkan USD 8 atau Rp 112 ribu (USD 1 = Rp 14.102) dari menarik bajaj.

"Saya lebih baik bekerja sebagai maling ketimbang membayar minivan ini," ujarnya yang mengaku tak mampu membeli minivan. "Jika mereka mengambil bajaj saya ... bagaimana keluarga saya makan," ia melanjutkan.

Zaydan (52) juga protes pelarangan tuk-tuk. Ia pun protes pada kebijakan meminjam uang demi membeli minivan.

"Mereka akan membawa uang ke bank dengan mengorbankan masyarakat. Jika mereka melarang bajaj, mereka menginjak rakyat miskin," ucap pria yang dulunya bekerja sebagai pelukis.

Akademisi pun turut mempertanyakan kebijakan pemerintah Mesir. Pakar politik dari American University di Kairo, Rabab el-Mahdi, menyebut pemerintah lebih peduli tampilan saja.

"Itu adalah cerminan bagaimana negara lebih terobsesi dengan penampilan ketimbang berinvestasi pada infrastruktur tempat masyarakat hidup," ujarnya.