Sukses

China Berang Usai DPR AS Loloskan RUU Soal Muslim Uighur

Parlemen AS meloloskan undang-undang yang dapat memberi sanksi kepada pejabat China atas tindakan keras terhadap Muslim Uighur.

Liputan6.com, Jakarta - Parlemen Amerika Serikat meloloskan undang-undang yang dapat memberi sanksi kepada pejabat China atas tindakan keras terhadap warga Uighur, yang sebagian besar Muslim di Xinjiang. China pun berang dan memperingatkan AS bahwa ada "harga yang harus dibayar" atas putusan parlemen itu.

Undang-undang dengan tajuk The Uighur Act of 2019 ini menambah ketegangan antara kedua negara adikuasa saat mereka terkunci dalam negosiasi untuk menyelesaikan kesepakatan "tahap satu" untuk menyelesaikan perang dagang yang berlarut-larut, seperti dilansir AFP, Kamis (5/12/2019).

Presiden AS Donald Trump telah membuat marah Beijing setelah ia menandatangani undang-undang yang mendukung pemrotes pro-demokrasi di Hong Kong, mendorong China awal pekan ini untuk menjatuhkan sanksi pada LSM yang berbasis di AS dan menunda kunjungan di masa depan oleh kapal perang AS ke wilayah semi-otonom.

Beberapa jam setelah The Uighur Act of 2019 diloloskan DPR pada Selasa 3 Desember malam, kementerian luar negeri China mengatakan RUU itu seharusnya tidak menjadi produk hukum. China juga mengeluarkan peringatan yang tidak menyenangkan: "Untuk semua tindakan dan kata-kata yang salah ... harga yang pantas harus dibayar."

Wakil menteri luar negeri China juga kemudian memanggil William Klein, yang bertindak sebagai kuasa hukum AS di China, untuk mengajukan protes.

Menanggapi pertemuan Klein dengan wakil menteri Qin Gang, juru bicara kedutaan AS mengatakan AS akan terus menyerukan China untuk, "mengakhiri kebijakan kejamnya yang selama lebih dari dua tahun telah meneror warganya sendiri di Xinjiang."

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

2 dari 3 halaman

Isi RUU

RUU itu berisikan kecaman AS terhadap "pelanggaran berat hak asasi manusia" China di wilayah barat Provinsi Xinjiang. Di wilayah itu, China diduga menahan sedikitnya 1 juta etnis Uighur dan minoritas Muslim lainnya secara sewenang-wenang.

RUU itu lolos dengan dukungan 407 suara berbanding 1 suara. Draf hukum itu merupakan versi yang lebih kuat dari RUU yang juga diajukan Senat pada September lalu.

Kedua RUU itu harus disesuaikan menjadi satu draf hukum yang nantinya akan diserahkan ke Presiden Donald Trump untuk diteken dan disahkan menjadi hukum.

Jika disahkan, RUU ini akan mendesak Trump untuk menjatuhkan sanksi terhadap pejabat China yang terlibat dengan kebijakan persekusi dan diskriminasi terhadap Uighur, termasuk Pemimpin Partai Komunis China di Xinjiang, Chen Quanguo.

RUU itu juga akan mendorong Kementerian Luar Negeri AS untuk membuat laporan resmi terkait dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang selama satu tahun terakhir.

Selain Kemlu AS, Kementerian Perdagangan AS pun nantinya harus melarang ekspor AS kepada seluruh entitas yang ada di Xinjiang, termasuk para subjek yang dikenai sanksi tersebut.

"Hari ini martabat manusia dan hak asasi manusia dari komunitas Uighur berada di bawah ancaman dari tindakan biadab Beijing, yang merupakan kemarahan terhadap hati nurani kolektif dunia," kata Ketua DPR Nancy Pelosi sebelum RUU itu diloloskan parlemen AS.

Kongres "mengambil langkah kritis untuk melawan pelanggaran HAM Beijing yang mengerikan terhadap warga Uighur," katanya.

Pelosi mengecam pihak berwenang Tiongkok karena mengatur tindakan keras yang mencakup pengawasan negara massa yang luas, kurungan isolasi, pemukulan, sterilisasi paksa "dan bentuk-bentuk penyiksaan lainnya".

 

3 dari 3 halaman

Asosiasi Islam Xinjiang Menentang

Asosiasi Islam Xinjiang pada Kamis (5/12/2019) menyampaikan penentangan kerasnya terhadap disetujuinya RUU terkait Xinjiang oleh DPR AS, seperti dilansir Xinhua.

Sebagai asosiasi yang mewakili lebih dari 10 juta umat Muslim, termasuk kelompok etnis Uighur di Daerah Otonom Uighur Xinjiang, China barat laut, Asosiasi Islam Xinjiang menyampaikan penentangan tegasnya dan mengecam keras hal yang disebut sebagai "Undang-Undang Kebijakan Hak Asasi Manusia Uighur tahun 2019" tersebut, yang mendistorsi dan mendiskreditkan hak asasi umat Muslim di Xinjiang.

Asosiasi itu juga memperingatkan pihak-pihak yang menyebarkan fitnah dengan berkedok hak asasi manusia dan agama. "Kami sebagai umat Muslim Xinjiang-lah yang paling berhak menentukan hak asasi manusia kami sendiri."