Sukses

Perdana, Angela Merkel Kunjungi Kamp Nazi di Auschwitz

Kanselir Jerman Angela Merkel untuk pertama kalinya mengunjungi kamp Auschwitz.

Liputan6.com, Oświęcim - Angela Merkel untuk pertama kalinya mengunjungi kamp kematian Nazi Auschwitz selama menjadi kanselir Jerman.

Auschwitz yang berlokasi di Polandia, menjadi saksi bisu penyiksaan yang dialami orang Yahudi akibat penindasan Partai Sosialis Nasional Jerman atau Nazi.

Dilaporkan AFP, Jumat (6/12/2019), kunjungan Merkel ke Auschwitz dianggap mengandung pesan politik. Ia datang ditemani Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawiecki dan penyintas Auschwitz berusia 87 tahun, Bogdan Stanislaw Bartnikowski.

Merkel memulai kunjungannya dengan melewati slogan Nazi Arbeit macht frei (Bekerja akan memberimu kemerdekaan) yang masih menggantung di gerbang Auschwitz.

Angela Merkel menyebut pemerintahannya akan senantiasa melawan tindakan kebencian terhadap penganut Yahudi.

"(Prioritas pemerintah) berjuang melawan anti-semitisme dan segala bentuk kebencian," ujar Merkel.

Kanselir Merkel juga mengheningkan cipta selama satu menit di hadapan Tembok Kematian yang menjadi tempat eksekusi tembak, dan Merkel juga masuk ke lokasi ruang gas Auschwitz  serta ruang kremasi.

Para korban ruang gas umumnya tak tahu nasib yang menanti mereka. Prajurit Nazi hanya menyuruh mereka mandi, kemudian disuruh masuk ke ruang gas dan dibunuh dengan gas Zyklon B. Setelah itu, prajurit Nazi membakar korban. Rambut dan perhiasan milik korban juga diambil oleh prajurit Nazi, demikian laporan Auschwitz.org.

Para dokter Jerman juga melakukan beragam eksperimen terhadap para tahanan. Ada yang untuk tujuan medis, demi perusahaan obat, atau terkait kepentingan pribadi si dokter. Total ada 1,1 juta orang yang dikirim ke Auschwitz.

Pada kunjungan ini pula Angela Merkel mengumumkan sumbangan sebesar 60 juta euro atau Rp 934 miliar (1 euro = Rp 15.567) kepada Yayasan Auschwitz-Birkenau.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Darurat Nazi dan Ekstremis Sayap Kanan Menghantui Kota Dresden di Jerman

Sebuah kota di Jerman timur telah mendeklarasikan "darurat" Nazi, mengatakan kota itu memiliki masalah serius dengan organisasi sayap kanan, kelompok fasis, dan anti-Islam.

Dresden, ibu kota Saxony, telah lama dipandang sebagai benteng sayap kanan dan merupakan tempat kelahiran Pegida (Gerakan Eropa Patriotik melawan Islamisasi Barat) yang anti-Islam, demikian seperti dikutip dari BBC, Senin, 4 November 2019.

Anggota Kota Dresden --yang dinominasikan sebagai Ibu Kota Kebudayaan Eropa 2025-- kini telah menyetujui resolusi yang mengatakan masih banyak yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut.

"Kata 'Nazinotstand' berarti (mirip dengan keadaan darurat iklim) bahwa kita memiliki masalah serius. Masyarakat demokratis terancam," kata anggota dewan lokal Max Aschenbach, yang memperlihatkan isi mosi darurat Nazi itu kepada BBC.

Aschenbach, dari partai politik satir berhaluan kiri, Die Partei, mengatakan dia yakin perlunya mengambil tindakan karena politikus tidak melakukan langkah yang cukup untuk "memposisikan diri mereka dengan jelas" terhadap sayap kanan.

"Permintaan itu merupakan upaya untuk mengubahnya. Saya juga ingin tahu orang seperti apa yang saya duduk di dewan kota Dresden," katanya.

Resolusi itu mengakui bahwa "sikap dan tindakan ekstremis sayap kanan ... semakin sering terjadi" dan menyerukan kota itu untuk membantu para korban kekerasan sayap kanan, melindungi kaum minoritas dan memperkuat demokrasi.

Aschenbach mengatakan mengadopsi mosi tersebut menunjukkan komitmen dewan kota untuk membina "masyarakat bebas, liberal, demokratis yang melindungi minoritas dan dengan tegas menentang." Nazi.

3 dari 3 halaman

Apa yang Dimaksud dengan Darurat Nazi?

"Resolusi Aschenbach" --mengutip nama pengusulnya, Max Aschenbach-- diajukan ke pemungutan suara oleh dewan kota Dresden pada Rabu 30 November 2019 malam dan disetujui dengan 39 suara melawan 29 yang menentang, menurut laporan media setempat.

Partai Demokrat Kristen (CDU) yang memerintah Jerman adalah di antara mereka yang menolak resolusi tersebut.

"Dari sudut pandang kami, ini merupakan provokasi," Jan Donhauser, ketua Kelompok Dewan Kota CDU, mengatakan kepada BBC.

"'Keadaan darurat' berarti keruntuhan atau ancaman serius terhadap ketertiban umum. Itu tidak berlaku sementara. Lebih jauh, fokus pada 'ekstremisme sayap kanan' tidak adil terhadap apa yang kita butuhkan. Kita adalah penyeimbang bagi sayap (kiri) liberal," lanjutnya.

"Tatanan dasar demokratis yang bersih dari kekerasan adalah yang terpenting, tidak peduli dari mana pihak ekstremis itu datang," katanya.

Donhauser menambahkan bahwa "mayoritas luas" warga Dresden adalah "bukan ekstremis sayap kanan atau anti-demokrasi".

Anggota Dewan Kota Max Aschenbach mengatakan, kota itu tidak diwajibkan untuk mengambil tindakan apa pun setelah adopsi resolusinya, tetapi bahwa "secara teoritis, tindakan yang ada harus diberikan prioritas yang lebih tinggi dan keputusan di masa depan harus mengikuti ini."

Sementara menentang resolusi tersebut, Partai CDU mengatakan pihaknya berharap untuk "memperkuat institusi yang paling cocok untuk memerangi kekerasan yang bermotif politik."

Kai Arzheimer, seorang profesor politik Jerman yang telah banyak menulis tentang ekstremisme sayap kanan, mengatakan dampak utama resolusi itu adalah simbolis, tetapi itu bisa berarti bahwa lebih banyak uang akan dialokasikan untuk program memerangi ekstremisme di masa depan.

"Saya tidak berpikir bahwa kota Jerman lainnya telah menyatakan 'darurat Nazi'. Resolusi terhadap ekstremisme sayap kanan tidak begitu biasa," katanya.Â