Liputan6.com, London - Pertengahan November lalu, sebuah museum tak biasa dibuka di London, Inggris. Adalah Museum Vagina , yang bertujuan untuk meningkatkan dialog tentang subyek-subyek tabu terkait tubuh perempuan.
Dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (8/12/2019), museum yang dibanjiri pengunjung setiap harinya ini, berawal dari survei tiga tahun lalu yang menunjukkan bahwa 65 persen perempuan berusia 16 hingga 25 tahun tidak memiliki pengetahuan anatomi dasar dan bahkan tidak mendapat informasi yang cukup tentang isu-isu kesehatan ginekologis.
Advertisement
Setelah kampanye dan kontribusi dari para aktivis di seluruh dunia, sebuah museum yang dimaksudkan untuk mendidik dan memberi informasi tentang anatomi ginekologis, serta menjadi wahana untuk bicara dan berdialog tentang subyek-subyek tabu terkait tubuh perempuan, dibuka di London.
'The Vagina Museum' ini dibangun di sebuah lokasi kecil yang terkenal di London, di Camden’s Stables Market. Dari luar museum ini kelihatan seperti toko atau kafe.
Di bagian dalam memang ada semacam toko souvenir dan pameran, lengkap dengan buku-buku, kartu, stiker dan lencana, hingga perhiasan bertema vagina.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Proyek Sejak Maret 2017
Proyek ini diluncurkan pada Maret 2017 setelah pendiri dan direktur museum ini, Florence Schechter, menyelenggarakan suatu pameran dan pertunjukkan di negara itu.
Dua setengah tahun kemudian, dan berkat sumbangan dari lebih seribu orang yang totalnya mencapai sekitar 50 ribu poundsterling atau hampir mencapai satu miliar rupiah, Florence berhasil mendapatkan lokasi untuk membangun museum itu.
"Dalam acara-acara yang kami langsungkan beberapa tahun sebelumnya tampak bahwa orang-orang sangat ingin terlibat dengan isu-isu ini. Mereka sebenarnya sangat peduli tetapi sulit untuk menemukan tempat yang inklusif dan aman untuk membahasnya lebih jauh," ujar Florence.
Advertisement
Banyak Wanita Tak Paham Mengenai Organ Reproduksinya
Survei yang dilakukan The Eve Appeal (satu-satunya badan riset dan pendanaan di Inggris yang berupaya meningkatkan kesadaran perempuan tentang kanker ginekologi) pada tahun 2016, menunjukkan bahwa 65 persen perempuan berusia 16-25 tahun merasa malu menggunakan kata 'vagina' atau 'vulva'.
Mereka juga tidak memiliki pengetahuan anatomi dasar. Kurang dari seperempat responden mengatakan mereka memiliki informasi yang memadai tentang isu-isu kesehatan ginekologis.
Jajak pendapat lain mendapati bahwa lebih dari separuh warga Inggris tidak dapat memberi label atau nama yang tepat pada alat kelamin perempuan yang ditunjukkan lewat diagram.
"Sangat penting bagi kita untuk dapat berdiskusi tentang anatomi, tanpa merasa ada stigma apapun, atau malu ketika membahasnya," ujar Sarah Creed, kurator museum itu, kepada wartawan.
"Harapan saya hal ini menandai awal perubahan pola pikir dan memulai pembicaraan tentang hal ini."
Misi Utamanya Adalah Edukasi
Sarah Creed menunjukkan pameran pertama museum itu yang diberi judul "Muff Busters : Vagina Myths and How to Fight Them" atau "Muff Busters : Mitos Vagina dan Cara Melawannya."
Pendidikan tampaknya merupakan misi utama pembukaan museum ini. Mereka yang datang tidak saja dapat melihat dan berdiskusi tentang seks, seksualitas, identitas gender, kesehatan seksual dan reproduksi; tetapi juga isu-isu yang lebih luas dari itu.
Nah, supaya lebih banyak pengunjung yang tertarik datang dan mendorong terobosan pemikiran tentang hal ini, diputuskan untuk tidak menyebut museum ini sebagai "museum ginekologis" tetapi "museum vagina".
Penggagas museum ini juga ingin menghapus stigma tentang kata itu sendiri, yang kerap dibuang demi eufemisme, atau hanya digunakan untuk merujuk pada alat kelamin perempuan yang samar-sama dan tidak informatif, serta tidak memasukkan makna lain seperti trans, non-binary, atau interseksual.
"Menyebut kata vagina, harusnya seperti mengucapkan kata hidung, mata, atau mulut," ujar Sarah Creed. "Ini hanya bagian lain dari tubuh."
Pameran pertama museum ini telah dibuka pertengahan November lalu dan tidak memungut biaya sama sekali. Museum akan buka setiap hari dan melangsungkan tur serta diskusi dan pertunjukan-pertunjukkan terkait isu perempuan.
Yang harus terus dipikirkan adalah bagaimana membuat pengunjung terus datang ke museum itu dengan maksud dan tujuan yang sama. Bukan sekedar karena ingin tahu dan foto-foto.
Sejauh ini sudah ada "museum vagina online" yang berbasis di Austria. Juga "Phallological Museum" di Islandia yang memamerkan lebih dari 215 penis dan bagian penis berbagai mamalia darat dan laut.
Advertisement