Sukses

Kena Sanksi AS, Iran Harapkan Dapat Pinjam Duit ke Rusia

Iran harus putar otak akibat ada sanksi ekonomi dari AS.

Liputan6.com, Tehran - Iran harus putar otak akibat sanksi Amerika Serikat (AS). Setelah sempat porak-poranda akibat demonstrasi kenaikan harga BBM, kini pemerintah Iran mengajukan anggaran yang fokus terhadap sanksi AS. Iran pun berharap pada paket pinjaman dari Rusia sebesar USD 5 miliar atau Rp 70,1 triliun (USD 1 = Rp 14.025). 

Dilaporkan VOA Indonesia, Senin (9/12/2019), rancangan anggaran –yang dalam tahun Persia dimulai pada Maret 2020– disampaikan di tengah meningkatnya tekanan akibat sanksi-sanksi Amerika.

Sementara, Iran masih belum pulih benar pasca kerusuhan dan penangkapan demonstran bulan lalu yang menelan korban jiwa akibat penjatahan bahan bakar dan pengurangan subsidi.

“Tahun depan, senada dengan tahun ini, anggaran kita merupakan anggaran perlawanan dan ketekunan menghadapi sanksi-sanksi,” ujarnya kepada anggota parlemen dalam pidato yang disiarkan melalui stasiun radio, demikian menurut  AFP.

“Anggaran ini mengumumkan kepada dunia bahwa meskipun ada sanksi, kita akan tetap mampu mengelola negara, terutama dalam hal minyak.”

Awalnya tidak jelas bagaimana Rouhani membayar elemen-elemen dalam rancangan anggarannya, seperti janji untuk menaikkan gaji pekerja di sektor publik hingga 15 persen. Namun ia merujuk pinjaman bernilai USD 5 miliar dari Rusia, yang dilaporkan sedang berada dalam tahan negosiasi.

Nilai mata uang dan perekonomian Iran telah terpukul akibat sanksi-sanksi Amerika dan tindakan hukuman lain yang diberlakukan sejak Presiden Donald Trump menarik Amerika dari perjanjian nuklir tahun 2015 yang disepakati bersama lima negara lain, meskipun ada upaya keras menyelamatkan perjanjian tersebut.

Anggaran yang diusulkan Rouhani dilaporkan berjumlah sekitar USD 40 miliar, atau naik sekitar 20 persen dari anggaran tahun ini.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Ekonomi Iran Menyusut

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi Iran akan menyusut hampir 10 persen tahun ini. Ekonomi negara tersebut dibebani oleh hubungan yang tidak jelas dengan kelompok agama dan militer, dan sangat bergantung pada perdagangannya dengan Tiongkok, Uni Emirat Arab dan Uni Eropa.

Inflasi di Iran dikatakan mencapai sekitar 40 persen. 

Rusia bulan lalu mengatakan Iran telah meminta tambahan pinjaman bernilai dua miliar dolar untuk proyek-proyek energi dan infrastruktur. Ini berarti peningkatan dari “lima miliar dolar yang dijanjikan pada tahun 2015.”

Rusia telah berulangkali menyalahkan apa yang dinilainya sebagai strategi Amerika yang tidak adil, karena Amerika mengabaikan perjanjian nuklir untuk memulihkan masalah ekonomi Iran. 

3 dari 3 halaman

Kerusuhan Iran: Ratusan Bangunan Habis Dibakar Massa

Kerusuhan besar di Iran mengakibatkan ratusan bangunan terbakar. Menteri Dalam Negeri Abdolreza Rahmani Fazli mengungkap, 731 bank dan 140 bangunan pemerintah dibakar akibat unjuk rasa yang terjadi.

Melansir Euronews, Rahmani Fazli berkata sekitar 200 ribu orang terlibat dalam unjuk rasa secara nasional tersebut. Unjuk rasa dimulai sejak 15 November lalu akibat naiknya harga BBM.

Mendagri Iran yang berbicara lewat kantor berita nasional IRNA menyebut lebih dari 50 markas petugas kemanan diserang massa dan sekitar 70 pom bensin dibakar. Tidak disebutkan di mana peristiwa itu terjadi.

Menurut laporan Amnesty, setidaknya ada 143 pengunjung rasa selama protes yang terjadi. Protes anti-pemerintah yang terjadi di Iran dinilai sebagai yang terburuk semenjak Revolusi Hijau di tahun 2009.

Pihak Amnesty International menuding pemerintah Iran memakai senjata api, water cannon, gas air mata, dan tongkat baton dalam memukul balik pengunjuk rasa. Foto-foto selongsong peluru yang ditemukan juga menunjukan penggunaan peluru tajam.

Meski ada sejumlah pengunjuk rasa yang bertindak agresif dengan melakukan pembakaran dan lempar batu, pemerintah Iran diminta agar tetap menahan diri agar tidak turut melukai pengunjuk rasa lain.

"Pihak berwajib harus mengakhiri crackdown (serangan) yang brutal dan mematikan ini dan menunjukan respek pada kehidupan manusia," ujar Philip Luther, Direktur Penelitian dan Advokasi Amnesty Internasional di Timur Tengah dan Afrika.