Liputan6.com, Jakarta - Federasi Rusia menyampaikan dukungan bahwa Republik Indonesia memiliki hak untuk melarang ekspor bijih nikel (ore). Pandangan Rusia berbeda dari Uni Eropa yang menyeret Indonesia ke meja hijau World Trade Organization (WTO) akibat kebijakan ini.
Pihak Rusia berkata sulit berkomentar karena ini merupakan masalah bilateral, namun Rusia siap mendukung kedaulatan Indonesia untuk melarang ekspor tersebut karena bisa menguntungkan ekonomi domestik.
Advertisement
Baca Juga
"Sebagaimana yang kami pahami, pemerintah Indonesia memiliki hak penuh untuk menegakan kebijakan ekspor bijih nikel untuk menunjang investasi dan menciptakan industri smelter untuk bijih nike, dan ini tentunya akan menguntungkan Indonesia," ujar Oleg Kopylov, Deputy Chief of Mission Kedutaan Besar Rusia pada Senin (18/12/2019) di Jakarta.
Meski demikian, Oleg yakin kedua belah pihak pasti ingin menyelesaikan sengketa ini demi menjaga relasi dagang. Tahun lalu, volume dagang Indonesia dan Uni Eropa tercatat sebesar 26,3 miliar euro.
Rusia bukanlah bagian dari Uni Eropa, namun kedua pihak pernah berhadapan di WTO. Rusia protes karena kebijakan Uni Eropa dianggap diskriminatif pada monopoli perusahaan gas Gazprom.
Selain masalah bijih nikel, Indonesia juga akan berhadapan dengan WTO terkait minyak sawit. Indonesia mengeluhkan kebijakan ramah lingkungan Uni Eropa tidak menguntungkan industri sawit Indonesia. Salah satu yang protes keras soal kebijakan itu adalah Menko Kemaritiman dan Investasi. Luhut Pandjaitan.
Rusia pun berjanji tidak akan melakukan kebijakan Uni Eropa. Volume dagang antara Rusia dan Indonesia tahun ini tercatat sekitar USD 3 miliar.
"Minyak sawit Indonesia memiliki beberapa masalah di Uni Eropa, dan Uni Eropa berencana mengurangi impor dari minyak sawit Indonesia, tetapi kami tidak memiliki rencana demikian," ujar Oleg.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Indonesia Gugat Uni Eropa ke WTO
emerintah Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia(PTRI) di Jenewa, Swiss resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa (UE) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Gugatan diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE
Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.
"Indonesia resmi mengirimkan Request for Consultation pada 9 Desember 2019 kepada UE sebagai tahap inisiasi awal dalam gugatan. Keputusan ini dilakukan setelah melakukan pertemuan di dalam negeri dengan asosiasi/pelaku usaha produk kelapa sawit dan setelah melalui kajian ilmiah, serta konsultasi ke semua pemangku kepentingan sektor kelapa sawit dan turunannya," ungkap Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dalam keterangannya, Minggu kemarin.
Menurut Mendag, gugatan ini dilakukan sebagai keseriusan Pemerintah Indonesia dalam melawan diskriminasi yang dilakukan UE melalui kebijakan RED II dan Delegated Regulation.
Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasi produk kelapa sawit karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit. Diskriminasi dimaksud berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar UE.
"Dengan gugatan ini, Indonesia berharap UE dapat segera mengubah kebijakan RED II dan Delegated Regulation serta menghilangkan status high risk ILUC pada minyak kelapa sawit,"pungkas Mendag Agus.Â
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana menjelaskan, melalui kebijakan RED II, UE mewajibkan mulai tahun 2020 hingga tahun 2030 penggunaan bahan bakar di UE berasal dari energi yang dapat diperbarui.
Selanjutnya, Delegated Regulation yang merupakanaturan pelaksana RED II mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yangmemiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.
Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia.
"Pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak kelapasawit oleh UE. Selain akan berdampak negatif pada ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke UE, juga akan memberikan citra yang buruk untuk produk kelapa sawit di perdagangan global," ujar Wisnu.
Advertisement