Sukses

Erdogan: Turki Tak Mampu Lagi Tampung Pengungsi Suriah

Erdogan berkata negaranya sudah tak bisa menanggung beban pengungsi.

Liputan6.com, Istanbul - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, negaranya sudah tak mampu menampung pengungsi yang datang dari Suriah. Puluhan ribu pengungsi dari provinsi Idlib hingga kini terus melarikan diri ke Turki.

Melansir BBC, Senin (23/12/2019), Erdogan mengingatkan, jika ada gelombang baru pengungsi, maka Eropa akan turut merasakan dampaknya, terutama Turki. Sejauh ini sudah ada 80 ribu pengungsi dari Idlib. Ia pun menyerukan agar kekerasan di Idlib berhenti.

"Jika kekerasan terhadap rakyat Idlib tidak berhenti, angka ini akan terus bertamabah. Bila begitu, Turki tidak akan membawa beban migran sendirian," ujar Erdogan di Istanbul.

Ia pun menegaskan, negara tetangga Turki seperti Yunani akan terkena dampaknya.

Saat ini Turki sudah menampung 3,7 juta pengungsi yang berasal dari negara tetangganya, Suriah. Sementara, provinsi Idlib yang sedang penuh konflik berbatasan langsung dengan Turki sehingga jumlah pengungsi berpotensi terus meningkat.

Ada tiga juta orang yang tinggal di provinsi Idlib. Wilayah itu menjadi medan perang antara pasukan pemberontak melawan Presiden Bashar Al-Assad.

Pada Agustus lalu, ada gencatan senjata antara Rusia-Turki dan pemerintahan Suriah. Namun, bentrokan dan pemboman masih sering terjadi tiap harinya.

Erdogan menginginkan agar para pengsungi kembali ke zona aman yang timur laut Suriah. Ia juga meminta negara-negara Eropa membantu situasi di Idlib ketimbang protes terhadap serangan Turki terhadap Kurdi.

"Kami meminta negara-negara Eropa untuk menggunakan energi mereka untuk menghentikan pembantaian di Idlib ketimbang memojokan Turki atas langkah sah yang diambil di Suriah," ujar Erdogan.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Indonesia Menyerukan Deeskalasi Konflik Suriah di DK PBB

 Isu Suriah kembali digaungkan Pemerintah Indonesia, kali ini di dalam Pertemuan Dewan Keamanan (DK) PBB mengenai Timur Tengah di New York, AS, Kamis 19 Desember 2019 waktu setempat. Pada kesempatan tersebut, RI menyerukan deeskalasi konflik untuk segera dilaksanakan di sejumlah wilayah di Suriah, selain itu juga mendesak semua pihak terkait untuk melakukan kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional.

Saat menyampaikan pernyataan dalam pertemuan tersebut, Wakil Tetap RI untuk PBB di New York Duta Besar Dian Triansyah Djani menyebut tentang semakin buruknya situasi kemanusiaan di wilayah barat laut, timur laut, dan barat daya Suriah yang telah mengakibatkan kematian warga sipil, kerusakan infrastruktur publik, dan perpindahan manusia.

“Kami mendesak semua pihak untuk menghentikan semua serangan terhadap warga sipil dan fasilitas sipil, termasuk penggunaan senjata, bom barel, dan serangan udara tanpa pandang bulu,” kata Dubes Triansyah dalam keterangan tertulis PTRI New York yang diterima di Jakarta, dikutip dari Antara News.

Pemerintah Indonesia menekankan pentingnya perlindungan terhadap warga sipil dari serangan dan dampak permusuhan, serta untuk memungkinkan mereka berpindah secara sukarela ke tempat-tempat yang aman.

Selain itu, Indonesia menegaskan pentingnya semua pihak untuk memungkinkan akses tanpa hambatan, aman, tepat waktu, dan berkelanjutan untuk pengiriman bantuan kemanusiaan, agar PBB dan mitranya dapat menjangkau semua orang yang membutuhkan bantuan di Suriah.

“Kami memuji kerja tak kenal lelah PBB untuk terus memberikan bantuan yang menyelamatkan jiwa bagi jutaan orang yang membutuhkan, di tengah berbagai tantangan,” kata Dubes Triansyah.

Kemudian, delegasi Indonesia pun menyerukan pembaruan mekanisme lintas batas yang sangat diperlukan bagi empat juta orang di Suriah.

"Delegasi saya sangat percaya bahwa kita tidak dapat membahayakan operasi lintas batas yang sedang berlangsung yang menyediakan bantuan makanan, obat-obatan, dan kebutuhan kemanusiaan mendesak lainnya," ujar dia.

Dengan tujuan utama menghentikan penderitaan rakyat Suriah, Indonesia pun meminta semua anggota DK PBB mengesampingkan berbagai perbedaan yang ada dan berfokus pada rancangan resolusi mengenai bantuan kemanusiaan lintas batas guna menyelamatkan empat juta orang yang membutuhkan operasi bantuan itu.

“Kehidupan warga sipil dipertaruhkan dan orang-orang ini telah menderita terlalu lama. Ini bukan tentang kita. Ini semua tentang menyelamatkan orang-orang Suriah. Saya memohon, sekali lagi kepada semua anggota Dewan untuk melakukan hal yang benar,” kata Dubes Triansyah.

3 dari 3 halaman

Berseberangan dengan China dan Rusia

Rusia dan China berseberangan dengan negara-negara anggota DK PBB lainnya, mengenai pengiriman bantuan kemanusiaan yang melintasi perbatasan dan garis konflik ke lebih dari satu juta warga Suriah, di wilayah-wilayah yang sebagian besar dikuasai pemberontak.

Sejak 2014, DK PBB telah mengirim bantuan melalui empat perbatasan yaitu Bab al-Salam dan Bab al-Hawa di Turki, al-Yarubiyah di Irak, serta al-Ramtha di Yordania.

Sponsor resolusi bantuan tahun ini yakni Jerman, Belgia, dan Kuwait, mengedarkan konsep yang telah dibahas selama beberapa pekan yang akan menambah titik penyeberangan baru di Turki dan memperluas operasi lintas batas selama satu tahun.

Rusia dan China, sekutu Presiden Suriah Bashar al-Assad, justru mengedarkan resolusi saingan untuk menutup titik perbatasan di Irak dan Yordania, sehingga menyisakan dua titik di Turki. Resolusi yang ditawarkan kedua negara tersebut akan memperbarui operasi lintas batas hanya selama enam bulan.

Utusan dari 10 anggota DK terpilih, yang bertugas selama dua tahun, berdiri di luar majelis pada Selasa untuk menyatakan dukungan untuk memperbarui mekanisme lintas-batas. Mereka memperingatkan "konsekuensi dari tidak diperpanjangnya mekanisme akan menjadi bencana".

Dewan beranggotakan 15 orang membahas resolusi saingan tersebut di balik pintu tertutup pada Rabu.

Duta Besar Rusia untuk PBB Nebenzia Vassily Alekseevich mengatakan resolusi sponsor "tidak ada hubungannya dengan situasi nyata di lapangan" dan "tidak dapat diterima dan tidak dapat diselamatkan". Hal itu menunjukkan bahwa Moskow akan memveto jika dilakukan pemungutan suara terhadap resolusi tersebut.

Sementara Duta Besar Inggris untuk PBB Karen Pierce menyebut bahwa "dalam beberapa tahun terakhir situasinya tidak berubah secara material untuk meniadakan perlunya bantuan lintas batas".