Sukses

RI Lakukan Diplomasi Lunak ke China Soal Isu Uighur, Ini Penjelasan Kemlu

Mahfud MD mengatakan Indonesia memilih soft diplomacy atau diplomasi lunak. Apa itu?

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD mengatakan Indonesia memilih menggunakan diplomasi lunak (soft diplomacy) dalam menyelesaikan masalah masyarakat Uighur di Xinjiang, China. Ia berargumen Indonesia tidak melakukan intervensi eksplisit terhadap kebijakan China, namun tidak juga diam.

"Gini ya, kita punya hubungan diplomatik dengan China. Oleh sebab itu tidak mungkin tidak diplomasi. Cuma, diplomasi kita bukan diplomasi megaphone," kata Mahfud di Jakarta, Kamis 26 Desember 2019.

Menurut dia, diplomasi yang dimaksud adalah memanggil Duta Besar China untuk Indonesia dan menanyakan langsung mengenai Uighur.

"Saya katakan orang Islam Indonesia agak terusik dengan perstiwa di Uighur itu. Saya pribadi, Mahfud, sering ke China. Kok di sana banyak perkampungan muslim aman. Di Beijing itu saya ke masjid nyaman. Cari restoran Islam, restoran halal, ada perkampungannya sendiri. Kok terjadi di Uighur seperti itu? Lalu dia beri penjelasan Uighur itu apa," jelas Mahfud.

Usai mendengarkan hal tersebut, dia menegaskan pemerintah Indonesia tak akan ikut campur. Dan menanyakan itulah bagian dari diplomasi yang dimaksud dengan diplomasi lunak.

"Oh kalau begitu, kami tidak ikut campur. Ini namanya diplomasi. Diplomasi lunak, gitu ya. Bukan diplomasi megaphone," pungkas Mahfud.

Ucapan Mahfud direspons positif Kementerian Luar Negeri, yang berkata Indonesia tidak bersikap represif dalam menyampaikan pandangan internasional.

"Sebagaimana yang pernah disampaikan Ibu Menlu (Retno Marsudi), Indonesia dalam banyak hal tidak menggunakan 'megaphone diplomacy' termasuk dalam menyampaikan pandangan Indonesia atas isu Uighur," ujar Juru Bicara Kemenlu Teuku Faizasyah kepada Liputan6.com yang dimuat Jumat (28/12/2019).

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump adalah satu contoh pemimpin yang menggunakan megaphone diplomacy untuk kepentingan nasionalnya. Ini terlihat dari cara Trump berinteraksi dengan Korea Utara (isu nuklir), China (perang dagang), Venezuela (isu politik), bahkan Bank Sentral Eropa (Trump tuduh memanipulasi nilai mata uang).

Berbeda dari megaphone diplomacy, Teuku Faizasyah menyebut soft diplomacy berasal dari istilah soft power sehingga lazimnya disebut soft power diplomacy (diplomasi kekuatan lunak).

Foreign Policy menyebut soft power menggunakan kekuatan seperti budaya, nilai-nilai politik dan kebijakan luar negeri. Sebagai catatan, sanksi dagang yang dimainkan Presiden Trump dan China tidak termasuk soft power sebab efeknya represif.

Presiden Barack Obama adalah contoh pemimpin terkenal dengan gaya diplomasi lunaknya. Meski demikian, soft diplomacy juga punya kelemahan. Politico mencatat Obama disebut naif dan lemah karena pendekatan diplomasi lunaknya.

Terkait Uighur, Teuku Faizasyah mengatakan Indonesia menggunakan kebijakan luar negerinya untuk membahas isu kebebasan agama Uighur bersama pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT). 

"RRT mendengarkan penyampaian kepedulian Indonesia. Salah satu responnya adalah dengan memberikan penjelasan atas perkembangan atau kondisi di Xinjiang termasuk kegiatan ibadah umat muslim di RRT pada umumnya," pungkasnya.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Indonesia Minta China Terus Beri Informasi Terkini Soal Muslim Uighur di Xinjiang

Sebelumnya, pihak Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyatakan secara berkelanjutan meminta pemerintah China memberikan informasi terkait perkembangan di wilayah tersebut. 

Menurut Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah, Indonesia telah dan akan terus melakukan pendekatan melalui komunikasi bilateral dengan pemerintah China untuk membahas isu Xinjiang.

"Jadi waktu ke waktu (komunikasi terus dilakukan), menunjukkan keseriusan kita untuk mengetahui perkembangan di lapangan,” kata Faizasyah saat ditemui di Jakarta, Jumat 20 Desember 2019 seperti diberitakan Antara News.

Isu Xinjiang juga disinggung oleh Menlu Retno Marsudi saat bertemu Menlu China Wang Yi di sela-sela Konferensi ke-14 Tingkat Menteri Asia-Eropa (ASEM) di Madrid, Spanyol, Senin 16 Desember 2019.

Dalam pertemuan itu, Menlu Retno meminta informasi mengenai perkembangan situasi di Xinjiang, yang kemudian direspons Wang Yi dengan menyatakan bahwa China menjamin kebebasan beragama umatMuslim di Xinjiang.

Dugaan persekusi dan diskriminasi terhadap etnis Muslim Uighur di wilayah Xinjiang telah berlangsung lama. Para ahli dan aktivis PBB mengatakan sedikitnya satu juga warga Uighur dan anggota kelompok minoritas Muslim lainnya telah ditahan di kamp-kamp di Xinjiang sejak 2017.

Selain itu, pemerintah China dikabarkan melarang etnis Uighur dan warga Muslim lainnya di Xinjiang untuk menjalankan ibadah. Larangan itu terutama berlaku bagi pegawai negeri sipil, guru, dan pelajar.