Sukses

PBB: Pengungsi yang Terkena Dampak Iklim Tak Bisa Dipaksa Pulang

PBB mengeluarkan aturan baru yang menyatakan bahwa mereka yang terpaksa mengungsi karena terkena imbas dari perubahan iklim tak bisa dipaksa pulang kembali ke negaranya.

Liputan6.com, Jakarta - Panel PBB telah memutuskan suatu aturan baru yang menyatakan bahwa para pengungsi yang melarikan diri dari dampak krisis iklim, tidak dapat dipaksa pulang ke rumah oleh adoptive country atau negara yang jadi tempat mereka mengungsi. Putusan ini sangatlah penting lantaran dapat membuka pintu bagi klaim hukum yang dilaporkan okeh orang-orang terlantar di seluruh dunia.

Komite Hak Asasi Manusia PBB membuat keputusan didasari oleh adanya kasus Ioane Teitiota, yang mengajukan permohonan perlindungan dari Selandia Baru setelah mengklaim hidupnya dalam bahaya di negara asalnya, Kiribati.

Pulau Pasifik berisiko menjadi negara pertama yang menghilang di bawah permukaan laut yang naik, seperti dilansir dari CNN, Senin (20/1/2020).

Komite memutuskan melawan Teitiota dengan dasar bahwa hidupnya tidak berisiko, tetapi juga menggarisbawahi bahwa negara-negara dapat melanggar hak-hak internasional rakyat jika memaksa mereka kembali ke di negara-negara di mana perubahan iklim merupakan sebuah ancaman langsung yang nyata.

“Tanpa upaya nasional dan internasional yang kuat, dampak perubahan iklim di negara-negara penerima dapat membuat individu mungkin akan kehilangan hak-hak mereka,” menurut aturan baru tersebut.

Saksikan Video Pilihan di Bawah ini:

2 dari 2 halaman

Dampak Signifikan

Keputusan itu dapat memiliki dampak yang signifikan pada klaim di masa depan, karena jumlah orang yang dipaksa keluar dari rumah mereka yang berstatus gawat darurat iklim semakin bertumbuh.

Kekeringan, gagal panen dan naiknya permukaan laut diperkirakan akan memaksa puluhan juta orang pindah ke daerah lain di tahun-tahun mendatang.

Sebuah studi di tahun 2018 oleh Bank Dunia, menemukan bahwa 143 juta orang di seluruh Asia Selatan, Afrika sub-Sahara dan Amerika Latin berisiko menjadi migran iklim.

Dalam putusannya, komite PBB mengutip pasal 6 dan 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang menjamin hak melekat individu untuk hidup.

"Mengingat bahwa risiko seluruh negara terendam air adalah risiko yang sangat ekstrem, kondisi kehidupan di negara seperti itu mungkin menjadi tidak sesuai dengan hak untuk hidup bermartabat sebelum risikonya direalisasikan," keputusan tersebut menambahkan.

Panel antar pemerintah tentang Perubahan Iklim telah mengidentifikasi negara asal Teitiota di Kiribati sebagai salah satu dari enam negara Kepulauan Pasifik yang paling terancam oleh kenaikan permukaan laut.

Laporan tersebut mengklaim bahwa, karena erosi pantai dan pencemaran air tawar, Kiribati bisa menjadi negara yang tidak dapat lagi dihuni pada awal tahun 2050.

Kiribati telah menjadi salah satu kelompok negara-negara Pasifik yang mengkhawatirkan perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir, namun mendapat perlawanan dari Australia yang lokasinya berdekatan.