Melbourne - Imbas merebaknya Virus Corona di China mengakibatkan permintaan lobster dari Australia menurun tajam. Hal tersebut memicu anjloknya harga makanan laut yang dikenal mahal itu.
Menurunnya harga lobster akan berdampak buruk dalam jangka panjang bagi industri yang sebagian besar terkonsentrasi di Australia Barat bila Virus Corona tidak tertangani dengan baik.
Baca Juga
China adalah pembeli terbesar industri bernilai AUD 500 juta ini, yang membeli 98 persen dari produksi 6.615 ton setiap tahunnya.
Advertisement
Biasanya permintaan lobster dari China akan mencapai puncaknya menjelang perayaan Tahun Baru Imlek, sekitar 40-50 ton per hari.
Geraldton Fishermen's Co-operative (GFC) adalah koperasi yang menguasai 60 persen produksi lobster di Australia dan sejak dua pekan lalu menghentikan pengiriman lobster ke China, karena menurunnya permintaan.
Menurut CEO GFC Matt Rutter, saat ini banyak tangkapan lobster yang berada di pusat penampungan di Australia dan mereka harus menjual produk tersebut dengan harga rendah, termasuk di dalam negeri.
Saat ini harga lobster paling mahal kelas A jenis western rock dihargai AUD 33 (sekitar Rp 330 ribu), padahal sebelum adanya wabah Virus Corona, harganya Rp 480 ribu.
"Kami sebenarnya tidak memiliki banyak lobster di kolam penyimpanan," kata Rutter seperti dikutip dari DW Indonesia, Kamis (5/2/2020).
"Kami memperkirakan persedian yang ada sekitar 1 bulan dan kami terus berusaha menjual lobster ini ke pasar mana saja."
"Di seluruh Australia, ada beberapa ratus ton lobster yang sudah ditangkap, tapi belum dikapalkan ke China sebelum pasar ditutup. Ini seluruh Australia."
"Dari ratusan ton itu, sebagian di antaranya adalah lobster western rock."
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Harga Pasaran Lobster Terendah
Harga lobster saat ini bukanlah yang terendah. Namun, Rutter mengatakan sudah lebih rendah dari harga pasaran dunia.
"Masih belum pasti kapan pasar China akan dibuka lagi," kata Rutter.
"Situasi ini akan berkembang terus dan karenanya harga akan turun. "Menurut Matt Rutter, dampak dari penutupan perdagangan lobster ke China sangat luas.
"Karena tidak ada penangkapan yang dilakukan, tidak ada truk yang jalan, tidak ada depot yang menerima lobster. Banyak staf yang sebelumnya bekerja, sekarang harus berhenti kerja sampai produksi dimulai lagi."
"Jadi bukan saja para nelayan yang mengalami dampaknya, tapi semua orang yang menggantungkan hidupnya dari industri ini terkena."
Sebagai perusahaan yang melakukan ekspor lobster terbesar dari Australia, GFC memiliki kapasitas penyimpanan 220 ton, dengan tempat penyimpanan tersebut bisa memuat pasokan lobster selama 4 sampai 6 minggu.
Sambil menunggu China membuka pintu bagi perdagangan lobster, Rutter mengatakan mereka berusaha mencari pasar baru termasuk pasar domestik, juga ke Jepang, Taiwan, Asia Tenggara dan Amerika Serikat.
Advertisement