Wuhan - Ini adalah kisah dari seseorang yang berhasil kabur dari pusat wabah Virus Corona baru, Wuhan. Identitasnya disamarkan demi melindungi diri dan keluarganya.
Alkisah sekitar sepuluh hari lalu, Claire sempat mengunci diri di rumah setelah kabur secara dramatis dari Wuhan. Dia melakukan perjalanan ke Kota Wuhan untuk menghabiskan tahun baru Imlek dengan mertuanya. Kemudian tersiar kabar bahwa Wuhan akan dikarantina.
Baca Juga
Claire dan pacarnya cepat-cepat melarikan diri, hanya beberapa menit sebelum karantina diterapkan di kota itu.
Advertisement
Sejak itu mereka mengurung diri di rumah. "Pada awalnya, itu keputusan kita sendiri untuk tetap di sini," katanya kepada DW melalui videochat seperti dikutip dari DW Indonesia, Jumat (7/2/2020).
Namun, kebijakan karantina akhirnya juga resmi diperluas ke kotanya. "Kami menerima telepon dari komite lingkungan dan kantor polisi setempat yang mendesak kami untuk tetap di rumah." Mereka harus mengukur dan melaporkan suhu badan ke pihak berwenang setiap hari.
China telah dikritik dan dipuji karena tanggapannya terhadap krisis Virus Corona. Ketika kasus-kasus pertama muncul Desember lalu, pemerintah lokal berusaha menutupinya. Dokter yang melaporkan kasus penyakit pneumonia misterius dipanggil polisi dan diancam dengan hukuman.
Respons Lambat di Wuhan
Awalnya pihak berwenang mengesampingkan penularan Virus Corona, sekalipun para ahli sudah menyatakan ada ancaman penularan dari manusia ke manusia. Virus akhirnya menyebar tidak terkendali. Setelah itu, dikeluarkan kebijakan dramatis untuk menutup kota metropolitan Wuhan yang berpenduduk sekitar 11 juta orang. Tidak berapa lama, karantina diperluas ke kota-kota lain di Provinsi Hubei.
Sampai sekarang, diperkirakan ada 56 juta orang yang terkurung di Provinsi Hubei, hampir sebanyak populasi Italia. "Bisa ada lebih banyak kasus di luar China, dan mungkin juga kematian, jika bukan karena upaya dan kemajuan pemerintah (China)," tulis Tedros Adhanom Ghebreyesus, Ketua Organisasi Kesehatan Dunia WHO di akun Twitternya.
Beberapa pakar kesehatan masyarakat memperingatkan bahwa tindakan drastis mengkarantina kota besar mungkin memiliki efek sebaliknya, karena mendorong pasien bersembunyi atau membuat warga jadi panik. Pada hari-hari awal karantina, gambar-gambar menunjukkan orang-orang bergegas pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan.
Foto-foto orang yang berjejal penuh sesak di ruang tunggu rumah sakit menjadi viral di jejaring media sosial China. "Saya melihat beberapa mayat di rumah sakit," kata jurnalis warga Chen Qiushi, yang dihubungi DW lewat videochat di Wuhan. "Dan saya melihat banyak orang yang menderita demam dan batuk selama beberapa hari, tetapi tidak tahu apakah mereka terinfeksi karena rumah sakit tidak memiliki alat tes lagi."
Advertisement
Pelarian Dramatis dari Wuhan
Claire ada di rumah mertuanya ketika dia mendengar tentang rencana untuk menutup seluruh kota. Dia tiba malam sebelumnya dan sedang bersiap merayakan tahun baru Imlek, salah satu liburan keluarga yang paling penting di China.
Keesokan harinya, jam 09.00 pagi, dia melihat pengumuman yang melarang orang meninggalkan Wuhan mulai pukul 10 pagi. "Saya panik dan memberi tahu pacar saya, bahwa kami harus segera pergi," katanya.
Dia dan pacarnya cepat berkemas dan berlari ke luar. Tidak ada taksi teguler maupun taksi online di jalanan. Mereka lalu menghentikan mobil di lampu merah, dan mengatakan bahwa mereka akan membayar berapa pun, asal dibawa ke luar kota. Seseorang lalu mengantar mereka dengan mobil keluar dari Wuhan, setelah membayar 800 yuan, atau sekitar 1,5 juta rupiah. Dari sana mereka lalu naik kereta api kembali ke kota asal mereka.
Sejak itu, mereka tinggal di dalam apartemen dan hanya meninggalkan rumah untuk mengambil bahan makanan yang ditinggalkan oleh layanan pengiriman di gerbang kompleks mereka, atau untuk membuang sampah pada malam hari.
"Kami menunggu sampai semua orang tidur. Lalu kami memakai masker dan membuang sampah," kata Claire.