Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi dari China yang rilis baru-baru ini menunjukkan bahwa Virus Corona baru dapat bertahan di dalam tubuh selama setidaknya dua pekan setelah subjek sembuh.
Akan tetapi, kapabilitas Virus Corona untuk membuat inangnya kembali sakit atau berpindah dan menginfeksi ke subjek lain sudah melemah. Klaim riset tersebut diulas oleh dan dikutip dari Livescience, Minggu (1/3/2020).
Kegigihan virus semacam itu adalah sebuah catatan positif tersendiri di kalangan ahli, kata Krys Johnson, ahli epidemiologi di College of Public Health Temple University.
Advertisement
Virus yang melemah dan masih berkeliaran dalam sistem manusia juga cenderung memicu kekebalan tubuh menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Studi baru, yang diterbitkan dalam jurnal JAMA pada Kamis 27 Februari 2020 mengambil subjek empat profesional medis berusia 30 hingga 36 tahun yang mengidap COVID-19 (nama penyakit yang disebabkan oleh virus corona baru). Mereka dirawat di Rumah Sakit Zhongnan Universitas Wuhan di China antara 1 Januari dan 15 Februari.
Baca Juga
Semua orang pulih, menurut penelitian itu, dan hanya satu yang dirawat di rumah sakit selama periode sakitnya. Para pasien diobati dengan oseltamivir, yang lebih dikenal dengan nama merek dagang Tamiflu, obat antivirus.
Para pasien dianggap pulih setelah gejala mereka sembuh dan setelah mereka dites negatif untuk COVID-19 dua kali (pada dua hari berturut-turut). Setelah pemulihan, pasien diminta untuk mengkarantina diri di rumah selama lima hari.
Mereka terus menjalani tes seka (swab) tenggorokan untuk virus corona setelah 5-13 hari setelah pemulihan. Hasilnya menunjukkan bahwa setiap tes antara hari ke 5 dan 13 positif untuk virus.
"Temuan ini menunjukkan bahwa setidaknya sebagian dari pasien yang pulih masih menjadi pembawa virus," jelas para peneliti.
Temuan itu datang ketika Jepang melaporkan kasus pertama seseorang yang sembuh dari Virus Corona dan kemudian sakit kembali akibat virus yang sama untuk kedua kalinya.
Mengingat hasil baru pada kegigihan pasca-Virus Corona dari China, tidak jelas apa yang terjadi dengan pasien Jepang, kata Krys Johnson dari Temple University. Satu kemungkinan adalah dia menangkap virus versi baru dari orang lain. Kemungkinan lain adalah bahwa sistemnya sendiri tidak melawan virus sepenuhnya dan ketika mulai mereplikasi di dalam paru-parunya lagi, ia mengalami kebangkitan gejala.
Simak video pilihan berikut:
Virus Tingkat Rendah
Tidak jarang virus bertahan pada level rendah dalam tubuh bahkan setelah seseorang sembuh dari suatu penyakit, kata Ebenezer Tumban, seorang virolog di Michigan Tech University. Sebagai contoh, virus Zika dan virus Ebola diketahui bertahan selama berbulan-bulan setelah pasien pulih, catat Krys Johnson.
Tes yang dilakukan empat subjek penelitian dari Wuhan, China, tersebut ditujukan untuk mencari fragmen genetik virus dalam tubuh, kata Tumban. Obbat Tamiflu yang mereka pakai bisa saja mendorong jumlah salinan virus di tubuh mereka menjadi beberapa, katanya. Pada saat itu, tes tidak akan cukup sensitif untuk mendeteksi virus.
Setelah pengobatan antivirus berakhir, virus mungkin sudah mulai mereplikasi lagi pada tingkat rendah, kata Tumban. Tidak akan ada cukup virus untuk menyebabkan kerusakan jaringan, sehingga pasien tidak merasakan gejala. Tetapi jumlah salinan virus akan cukup tinggi bagi tes untuk mendeteksi mereka lagi.
Pada saat itu, orang-orang itu kemungkinan tidak terlalu menular, kata Johnson. Batuk dan bersin memuntahkan partikel virus di sekitarnya, tetapi orang-orang ini tidak batuk atau bersin. Viral load mereka juga rendah. Perlu kontak yang lebih intens untuk menyebarkan virus.
"Mereka harus berhati-hati dalam urusan rumah tangga dengan tidak berbagi minuman dan memastikan mereka sering mencuci tangan," katanya.
"Tetapi jika mereka hanya pembawa, mereka seharusnya tidak dapat mentransmisikan di luar dari kontak dekat minum dan makan bersama," lanjutnya.
Advertisement
Implikasi Kekebalan
Studi juga menyebut bahwa tidak ada anggota keluarga subjek penelitian yang dites positif terkena virus Corona pada saat publikasi makalah ini. Namun, penulis mencatat bahwa semua subjek adalah profesional di bidang medis yang mengambil tindakan pencegahan yang sangat hati-hati untuk menghindari penyebaran penyakit saat di rumah.
Riset itu juga menyebut bahwa virus yang bertahan dalam tubuh dapat memperoleh respon imun yang cukup untuk memberikan perlindungan terhadap infeksi baru, kata Johnson. Ada banyak pertanyaan tentang berapa lama kekebalan akan bertahan, kata Ebenezer Tumbang dari Michigan Tech University.
Sebagai contoh, tubuh mempertahankan kekebalan terhadap virus korona yang menyebabkan flu biasa hanya satu atau dua tahun , katanya. Dan selalu ada kemungkinan bahwa virus corona baru akan bermutasi ketika bergerak melalui populasi, berubah menjadi versi yang tidak dapat dikenali oleh sistem kekebalan tubuh.
"Tantangannya adalah, seberapa cepat ini bermutasi?" Kata Johnson.
Lebih banyak studi tindak lanjut diperlukan untuk memahami pemulihan dari COVID-19, kata Johnson. Orang-orang dalam studi dari Wuhan itu semua memiliki usia dan status kesehatan yang sama, dan tidak ada yang mengalami penyakit parah dari COVID-19.
Penelitian di masa depan juga harus melihat muatan virus di dalam paru-paru, kata Tumban. Seka tenggorokan hanya menangkap virus dari bagian atas saluran pernapasan, tetapi virus membuat rumahnya jauh di dalam paru-paru.
Pengambilan sampel dari paru-paru adalah prosedur yang lebih invasif, termasuk mencuci cairan melalui alveoli (kantung udara kecil di paru-paru) dan menguji cairan itu untuk partikel virus, kata Tumban. Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa pemantauan jangka panjang pasien yang pulih dan kontak mereka adalah penting.
"Satu minggu atau dua minggu setelahnya, apakah jumlah virus dalam darah atau paru-paru akan naik ke konsentrasi yang lebih tinggi sehingga orang tersebut dapat menularkannya ke orang lain?" Tumban berhipotesis. "Itu sesuatu yang masih belum kita ketahui."