Sukses

Dokter di China Berhasil Operasi Transplantasi Paru-Paru Pasien Virus Corona

Tim dokter di China berhasil menyelesaikan operasi transplantasi paru-paru ganda pada pasien Virus Corona.

Liputan6.com, Jakarta - Tim dokter di Provinsi Zhejiang, China timur, berhasil menyelesaikan operasi transplantasi paru-paru ganda pada pasien penderita Virus Corona COVID-19. Kabar itu disampaikan Rumah Sakit Afiliasi Pertama Fakultas Kedokteran Universitas Zhejiang.

Operasi pada pasien COVID-19 yang berusia 66 tahun itu dilakukan pada Minggu 1 Maret oleh tim medis yang dipimpin Liang Tingbo, ahli bedah terkemuka bidang transplantasi organ di China sekaligus ketua Partai Komunis China di rumah sakit tersebut.

Paru-paru itu didonasirkan oleh seorang donor asal Provinsi Hunan, China tengah, dan dibawa lewat transportasi udara ke Hangzhou, seperti dilansir Xinhua, Selasa (3/3/2020).

Pasien wanita tersebut didiagnosis terinfeksi Virus Corona COVID-19 pada 31 Januari, lalu dipindahkan dari rumah sakit lokal di Hangzhou pada 2 Februari ketika kondisinya semakin memburuk.

Beberapa hasil tes asam nukleat menyatakan dirinya negatif setelah menjalani operasi trakeostomi (kanul trakea) pada 3 Februari, serta bantuan oksigenasi membran ekstrakorporeal dan pengobatan pada 16 Februari. Namun, pasien itu menderita disfungsi paru-paru yang sudah tidak dapat diobati.

"Saat ini, pasien sudah berada dalam kondisi stabil dan paru-paru yang ditransplantasikan teroksigenasi dengan baik," ujar pihak rumah sakit.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

2 dari 3 halaman

16 Pasien Virus Corona di Vietnam Sembuh

Ini kisah seorang dokter asal Israel, Rafi Kot yang terlibat dalam penanganan wabah Virus Corona di Vietnam. Dia menceritakan bagaimana negara itu bisa menyembuhkan seluruh 16 pasien positif beberapa waktu lalu.

Tiga pekan setelah kasus pertama ditemukan, Vietnam mampu menangani wabah virus corona. Sejak 13 Februari tidak ada lagi kasus Virus Corona yang dikonfirmasi di Vietnam dan seluruh 16 oarang yang terinfeksi sudah sembuh.

"Penyakit ini masih penuh misteri," kata Kot dalam wawancara, seperti dilansir laman Haaretz, pekan lalu.

 "Pertama, masalah terbesarnya adalah virus corona ini wabahnya terjadi di saat jutaan orang China dan Vietnam berpergian ketika Tahun Baru Imlek. Itu menjadi salah satu faktor utama penyebarannya. Kedua, virus ini sangat berbeda dengan SARS, dia menginfeksi orang jauh sebelum orang itu menunjukkan gejala. Sebagian besar pasien tidak tahu mereka sakit corona dan masih bepergian lalu menulari orang lain.

Kot sudah tinggal di Vietnam selama 32 tahun. Dia membantu membangun sistem fasilitas kesehatan di negara itu.

"Kami menjalankan seluruh tindakan pemeriksaan dari pemerintah kementerian kesehatan supaya pasien tetap aman di tengah wabah ini. Untuk melakukan itu kami mengadakan pertemuan hampir setiap hari, bahkan beberapa kali dalam sehari, terkadang tengah malam, untuk menjalankan serangkaian panduan dari pemerintah dan memberi info terbaru."

"Semua bermula setelah Tahun Baru Imlek, di akhir Januari. Kami tahu soal Virus Corona di China, tapi kami masih tenang saja. Kami sudah menghadapi banyak macam Virus Corona, seperti SARS, swine flu, avian flu, dan kami sudah membentuk tim dan sistem, tapi kami tidak terpikir ke sana. Setelah SARS kami kira tidak ada lagi yang lebih buruk karena SARS sangat parah: Pasien SARS pertama meninggal di Vietnam begitu juga dokter yang menanganinya.

Mengapa hanya Saigon saja yang terkena?

"Perang melawan Virus Corona dilakukan oleh setiap provinsi. Turis Korea mengunjungi banyak tempat di Vietnam jadi kami khawatir dengan kerumunan massa di tempat umum, perkotaan, turis China, turis lain dari negara asing."

"Itulah sebabnya kami menyarankan semua sekolah di Vietnam ditutup dan menunggu apa yang akan terjadi."

Kot mengatakan Vietnam memang tidak mengisolasi kota-kota, tapi banyak orang memilih untuk tidak pergi bekerja karena takut terinfeksi corona. Ditambah lagi, permintaan untuk diperiksa Virus Corona meroket.

"Kami segera menyadari setiap orang ingin diperiksa karena ada histeria, jadi badan pencegahan penyakit menular Vietnam menyiapkan kuesioner untuk menentukan siapa yang layak diperiksa, misal dari suhu tubuhnya, apakah dia pernah kontak dengan orang China dan seterusnya. Tapi di saat yang sama kami tahu orang juga bisa berbohong karena mereka takut didiagnosa."

3 dari 3 halaman

Tanpa Gejala Virus Corona hingga Saling Menulari

Masalahnya diperparah dengan fakta bahwa kit uji klinis menunjukkan tanda negatif, jadi orang yang terinfeksi masih bisa menulari.

"Kita punya tiga kasus seperti itu. Singapura punya 20. Sementara Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular AS mengakui ada masalah dengan kit uji klinis. Di hari yang sama China mengumumkan mereka tidak lagi memakai kit uji klinis dan langsung mengidentifikasi lewat gejala."

"Kami mulai menemukan kasus Corona ketika orang datang ke rumah sakit dengan gejala yang positif setelah diperiksa. Kami mengetahui di sebelah utara Hanoi, di sebuah desa ada sekelompok pekerja yang baru pulang dari Wuhan. Mereka dikirim ke sana oleh perusahaan cat Jepang untuk mengikuti pelatihan. Mereka pulang dan menulari keluarganya. Pada waktu itu sekitar tanggal 4-5 Februari. Keseluruhan ada 16 orang terinfeksi."

"Mereka yang sakit kemudian ditempatkan di karantina militer. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh negara totaliter. Mereka ditempatkan di sebuah rumah sakit yang sudah dievakuasi. Mereka memasang pagar kawat duri dan menempatkan pos tentara. Mereka mengerahkan tim dokter dengan perlengkapan khusus."

Bagaimana Anda menjelaskan di Italia dan Korea Selatan pasien bertambah dengan cepat, tapi tidak di Vietnam?

"Alasan masuk akal adalah cuaca. Di selatan Vietnam saat ini sangat panas dan di Korea Selatan dan Italia sedang dingin. Saat dingin orang berkumpul di rumah supaya lebih hangat dan mereka bisa saling menulari."