Tehran - Dalam satu bulan terakhir, otoritas Iran telah menyatakan peringatan tertinggi akibat penyebaran Virus Corona COVID-19 di beberapa kota di provinsi Gilan, Iran utara.
Padahal Gilan adalah tujuan wisata popular di Iran yang letaknya 200 kilometer di sebelah utara Teheran, ibu kota negara itu. Demikian seperti dikutip dari DW Indonesia, Sabtu (7/3/2020).Â
Advertisement
"Ketika sekolah-sekolah di Teheran ditutup karena Virus Corona jenis baru, banyak warga Iran pergi ke wilayah utara," ujar Shahla, seorang ibu muda di Iran kepada DW.
Shahla yang tumbuh di sebuah kota kecil di Laut Kaspia kini tinggal bersama keluarganya di Teheran. Dia kesal terhadap orang-orang yang justru pergi ke utara meskipun ada peringatan perjalanan resmi dari pemerintah.
"Ibuku masih tingal di kota kecil di sepanjang Laut Kaspia. Dia memberi tahu kami tentang dua orang di lingkungan kami yang baru-baru ini meninggal akibat flu. Keluarga mereka sekarang dikarantina," katanya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kondisi Memburuk
Situasi akibat penyebaran COVID-19 di Iran semakin serius, ketika akhir pekan lalu gubernur Gilan mengeluarkan peringatan perjalanan. Rumah sakit di Gilan pun penuh sesak dan sangat membutuhkan tambahan peralatan medis, ujar anggota DPRD Gholam Ali Jafarzadeh.
Ali Jafarzadeh pun meragukan angka resmi kematian di provinsi Gilan yang dikeluarkan pemerintah pada 4 Maret. Disebutkan sedikitnya 92 kematian terjadi di provinsi itu, namun Jafarzadeh menduga jumlahnya jauh lebih tinggi.
Rekannya yang baru terpilih menjadi anggota DPRD Gilan, Mohammad Ali Ramezani pun menjadi korban akibat COVID-19 dan telah meninggal dunia.Â
Otoritas Iran kewalahan menangani penyebaran COVID-19 di negaranya. Meskipun ada jaminan dari pejabat kesehatan namun situasinya memburuk secara drastis dalam beberapa hari terakhir.
Jumlah kematian dan kasus baru akibat COVID-19 terus naik. Iran menjadi negara yang memiliki angka kematian terbanyak akibat COVID-19 di luar China sejauh ini.
Advertisement
Tak Percaya Pemerintah
"Hubungan antara pemerintah dan publik sangat rusak," ujar sosiolog Saeed Paivandi kepada DW.
"Pemerintah kehilangan kepercayaan besar. Dan ini terlihat dalam situasi kritis seperti sekarang. Karena ketidakpercayaan ini, masyarakat mengabaikan informasi yang diberikan oleh pemerintah. Dalam beberapa minggu terakhir, pemerintah terlalu sering memperbaiki pernyataan yang mereka buat."
Bahkan dalam beberapa bulan terakhir, ketidakpercayaan warga Iran terhadap pemerintahnya meningkat drastis. Hal ini juga disebabkan oleh cara pemerintah Iran menangani kasus penembakan pesawat komersil Ukraina pada awal Januari lalu.
Pusat wabah COVID-19 di Iran terletak di kota suci Syiah Qom, sekitar 130 kilometer dari selatan Teheran. Di situlah kematian pertama di Iran dilaporkan pada 19 Februari. Robert Koch Institute Jeman selama berminggu-minggu mengklasifikasikan Qom dan Teheran sebagai ‘‘area berisiko‘‘ di Iran.
Tetapi pemerintah Iran telah gagal mengidentifikasi, mengisolasi, dan merawat orang-orang yang telah melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi COVID-19.
Pemerintah tidak mampu meyakinkan pemimpin agama di kota itu tentang ancaman bahaya dan diperlukannya langkah-langkah cepat dan tepat dalam menahan penyebaran virus.
Pemerintah gagal membangun karantina di dalam dan sekitar kota. Pemimpin agama akan memandang tindakan itu sebagai "penghinaan terhadap orang-orang suci Syiah yang terkubur di sana." Akibatnya, kemungkinan penyebaran virus ke wilayah lain lebih besar.
Perlu Keterlibatan Masyarakat
Seorang profesor penyakit menular di Universitas Kedokteran Teheran dan Kepala Pusat Pengendalian HIV/AIDS di Iran mengatakan bahkan tindakan karantina sekalipun tidak akan banyak membantu, mengingat penularan virus yang telah meluas.
Namun, di sosial media banyak warga Iran menyebut Mohraz sebagai pembohong. Warga Iran yakin Mohraz mendapat tekanan dari pihak berwenang karena mengubah pendapatnya dari yang sebelumnya menyatakan setuju dengan tindakan karantina.
Meski begitu, Mohraz adalah orang yang dihormati di komunitas ilmiah dan aktif mengkampanyekan hak-hak masyarakat sipil, ujar Paivandi.
"Dalam beberapa tahun terakhir, warga Iran telah menyaksikan represi sitematis terhadap organisasi non-pemerintah," katanya.
"Tapi sekarang pemerintah menghadapi tantangan besar. Karena hilangnya kepercayaan publik, dibutukan dukungan dari masyarakat sipil. Tapi, hampir tidak ada aktivis terpercaya yang dapat membantu."
Advertisement