Sukses

18-3-1992: Referendum Warga Kulit Putih Akhiri Apartheid di Afrika Selatan

Pada 18 Maret 1992, masyarakat kulit putih di Afrika Selatan menggunakan suaranya dalam referendum untuk mengakhiri apartheid.

Liputan6.com, Jakarta - 18 Maret 1992, masyarakat kulit putih di Afrika Selatan menggunakan suaranya dalam referendum untuk memiih mengakhiri apartheid atau mempertahankannya, dan menciptakan pemerintahan multi-ras yang diharapkan dapat berbagi kekuasaan. Hasilnya, mayoritas setuju untuk mengakhir sistem yang rasialis di Afrika Selatan.

Dalam kemenangan besar atas perubahan itu pemerintah menyapu keunggulan di empat provinsi, dan semua kecuali satu dari 15 wilayah referendum.

Pemilu ini memenangkan 68,6% suara dalam rekor turn-out yang di beberapa kabupaten melebihi 96%.

"Hari ini kita telah menulis dalam sejarah kita titik balik yang mendasar," kata FW de Klerk, mantan presiden kulit putih di Afrika Selatan. Demikian seperti dilansir melalui laman BBC, Rabu (18/3/2020).

Tingkat perubahan telah disorot di wilayah Kroonstad di Negara Bagian Oranye, di mana lima dari tujuh kursi Parlemen dipegang para juru kampanye "tidak" dalam partai konservatif.

Meskipun merupakan salah satu distrik paling konservatif di seluruh negeri, ada kemungkinan kecil untuk terjadi perubahan. Hanya Pietersburg di Transvaal Utara, kubu sayap kanan pedesaan tempat Dr. Andries Treurnicht memiliki konstituensi parlementernya sebagai kepala CP, yang tidak memberikan suara.

Pretoria, ibukota administrasi yang melambangkan Afrikanerdom, menghasilkan 57% suara. Sedangkan di ibukota legislatif, Cape Town, 85% memilihnya dan di ibukota yudisial Bloemfontein 58,5%.

"Hari ini kami telah menutup buku tentang apartheid," kata de Klerk di Cape Town. 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Tak Bisa Langsung Ada Pemerintahan Multi Ras

Para pemilih kulit putih tidak hanya memilih mayoritas 2-1 untuk menghapuskan apartheid tetapi juga untuk kehilangan kekuatan mereka sendiri.

de Klerk mengatakan hasilnya adalah dorongan untuk Konvensi Afrika Selatan yang demokratis. Walaupun begitu, dia tidak bisa berkomitmen pada jadwal untuk memasang pemerintahan multi-ras, yang membutuhkan diskusi lebih lanjut.

Dr Treurnicht berjanji untuk tidak bekerja di dewan Codesa dan bahwa CP tidak akan bergabung dengan forum negosiasi.

Dia berkata: "De Klerk telah memenangkan referendumnya. Itu jelas."

Namun dia bersumpah akan ada kembalinya apartheid di negara itu dan dia menyalahkan propaganda media, intervensi asing, dan ancaman oleh pengusaha terhadap karyawan atas hasilnya.

Nelson Mandela, presiden Kongres Nasional Afrika yang dipenjara selama 27 tahun karena perjuangannya melawan segregasi kulit hitam, mengatakan dia ''memang sangat senang ''.