Liputan6.com, Jakarta - Opini oleh Kent Sepkowitz, MD, seorang ahli pengendalian infeksi di Memorial Sloan Kettering di New York City. Pandangan yang diungkapkan dalam tulisan ini adalah miliknya sendiri, seperti dilansir CNN, Selasa (17/3/2020).
Â
Ketika pandemi COVID-19 terus merajalela, perhatian otoritas di Amerika Serikat menekankan pada upaya ketersedian tes diagnostik.
Advertisement
Meskipun pengujian tersebut diketahui secara efektif mampu mengurangi risiko penularan, banyak ahli mulai mengaitkan pengujian yang lebih besar dapat membuat banyak orang bertahan hidup dari penyakit.
Di Korea Selatan tingkat pengujian sangat tinggi. Sehingga, tingkat kematian di antara mereka yang terinfeksi cukup rendah -- sekitar 0,6 persen.
Baca Juga
Sebaliknya, Italia menguji sedikit orang dengan angka kematian jauh lebih besar.
Selain itu, masalah yang dihadapi oleh warga di Amerika Serikat adalah kurangnya pelayanan untuk melakukan tes.
Banyak warga AS yang komplain lantaran tidak diberi kesempatan untuk bisa menguji kondisi tubuh apakah terpapar COVID-19 atau tidak.
Pihak rumah sakit di Amerika Serikat mengatakan bahwa tes hanya tersedia bagi mereka yang memenuhi kriteria pengujian.
Hal ini lantas mengundang komentar warga yang menyebut "kurangnya pengujian akan membunuh kita semua."
Padahal, dengan banyaknya layanan bagi masyarakat untuk melakukan pemeriksaan akan menyelamatkan banyak nyawa.
Bagaimanapun, mereka yang terpapar Virus Corona tidak memiliki perawatan khusus. Cukup dengan menjaga pola kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh.
Namun, ini akan berbahaya bagi mereka yang memiliki masalah kesehatan lain. COVID-19Â akan bekerja jauh lebih cepat pada mereka yang sebelumnya memiliki riwayat penyakit lain.
Lalu, mengapa Korea Selatan miliki angka kematian yang jauh lebih rendah dibandingkan Italia?
Apakah karena Korea Selatan lebih banyak dan rajin melakukan pengujian bagi seluruh warganya meski hanya memiliki gejala kecil?
Â
Saksikan Juga Video Berikut Ini:
Menilik Data dari Badan Kesehatan Dunia
Menurut laporan PBB pada tahun 2015, sekitar 28,6 persen dari populasi di Italia berusia lebih dari 60 tahun -- angka ini menunjukkan bahwa Italia ada di urutan kedua setelah Jepang.
Jepang menempati urutan pertama di angka 33 persen sebagai negara dengan populasi lansia terbanyak di dunia.
Hal ini cukup sebanding dengan Korea Selatan yang juga memiliki banyak populasi yang tergolong lansia. Jumlahnya ada di angka 18,5 persen,
Dampak dari perbedaan ini dengan cepat ditunjukkan dalam analisis kematian akibat Virus Corona di masing-masing negara.
Di Italia, 90 persen dari lebih dari 1.000 kematian terjadi pada mereka yang berusia 70 tahun atau lebih.
Sebaliknya, Virus Corona di Korea Selatan terjadi di antara orang-orang yang jauh lebih muda. Di sana, hanya 20 persen kasus yang didiagnosis pada mereka yang berusia 60 tahun ke atas.
Kelompok yang terkena dampak terbesar adalah mereka yang berusia 20-an, yang menyumbang hampir 30 persen dari semua kasus.
Â
Advertisement
Faktor Lain
Lalu ada faktor gender.
Perbedaan gender dalam kasus COVID-19 di seluruh dunia memang ada di angka 50:50 (baik pria maupun wanita sama, semua bisa terpapar).
Namun, apakah angka kematian dan bertahan hidup bisa sama?
Menurut data dari China, tingkat kematian keseluruhan ada di angkat 4,7 persen pada pria versus 2,8 persen pada wanita. Perbedaan ini cukup besar.
Ini merupakan kabar baik bagi Korea Selatan, di mana 62 persen kasus terjadi di kalangan perempuan. Merokok adalah faktor lain yang jelas terkait dengan kelangsungan hidup seseorang.
Tingkat merokok hampir sama antara kedua negara: 24 persen untuk Italia dan 27 persen untuk Korea Selatan. Tetapi perbedaan gender di antara perokok sangat berbeda.
Di Italia, 28 persen pria versus 20 persen wanita merokok, sementara di Korea Selatan, sekitar 50 persen pria dan kurang dari 5 persen wanita.
Dengan kata lain, Korea Selatan memiliki wabah di kalangan wanita muda yang tidak merokok. Sedangkan di Italia terjadi di kalangan tua dan sangat tua dan banyak di antaranya adalah perokok.
Perbedaan demografis dasar ini menjelaskan mengapa Italia dan Korea Selatan berbeda. Untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi, ahli membutuhkan pembaruan kasus harian untuk memasukkan informasi tentang usia dan jenis kelamin.
Kurangnya kesalahan program pengujian yang efektif di AS adalah kegagalan yang tidak masuk akal dan telah menyebabkan banyak transmisi COVID-19.