Liputan6.com, Beirut - Rumah sakit di garis depan wabah Virus Corona COVID-19 Lebanon telah menolak orang yang tidak berdokumen atau menetapkan biaya sangat tinggi untuk melakukan tes. Hal ini pun membuat mereka khawatir akan kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Misalnya saja dua mantan pekerja rumah tangga asal Ethiopia yang hendak melakukan tes di Rumah Sakit Universitas Rafik Hariri (RHUH) Beirut, pusat pengujian dan perawatan COVID-19 utama di negara itu.
Advertisement
Baca Juga
Keduanya mengatakan mereka ditolak karena tidak memiliki dokumen identitas.
Melansir Senin, Minggu (29/3/2020), banyak pekerja rumah tangga migran yang tinggal di Lebanon dibiarkan tanpa dokumen ketika mereka melarikan diri dari majikan yang kejam. Ini juga disebabkan oleh majikan yang menyita paspor dan kartu identitas lainnya.
Ketika dimintai komentar, seorang sumber di RHUH, yang berbicara dengan syarat anonim karena sensitifitas masalah tersebut, mengonfirmasi bahwa kebijakan rumah sakit adalah memalingkan mereka yang tidak memiliki dokumen selama mereka tidak membutuhkan perawatan darurat.
"Kita harus memberikan informasi hasilnya kepada negara dari mana orang tersebut berasal, sehingga jika dinyatakan positif kita dapat memberi tahu negara dan orang tersebut. Kita tidak dapat melakukan itu (tes) tanpa nama," kata sumber itu, menambahkan bahwa mereka tidak dapat hanya mengandalkan informasi kontak.
"Untuk menjadi sangat jelas, siapa pun yang datang kepada kami dalam kondisi darurat dan membutuhkan perawatan akan diberikan perawatan, tetapi jika mereka bukan kasus darurat kami tidak bisa," kata sumber itu.
Menteri Kesehatan Hamad Hasan tidak menanggapi permintaan komentar terkait hal ini.
Â
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Biaya Mahal
Sementara itu, seorang karyawan di bangsal Virus Corona di Rumah Sakit St George di Beirut, salah satu yang terbesar di ibukota, mengatakan bahwa orang yang tidak berdokumen harus membayar untuk menguji diri mereka sendiri, dengan biaya 750.000 pound Lebanon (sekitar hampir Rp 8 juta).
Ini adalah biaya yang sangat tinggi bagi orang yang berjuang untuk membayar kebutuhan dasar seperti makanan dan akomodasi.
Pegawai tersebut mengatakan pasien pertama-tama diberikan scan darah dan paru-paru, kemudian pemindaian lain yang lebih tepat, dan hanya kemudian, jika semua indikator mengarah ke Virus Corona, tes COVID-19.
Tes itu sendiri tersedia di beberapa klinik swasta dengan biaya sekitar 150.000 pound Lebanon (sekitar Rp 1.500.000).
Pada hari Sabtu, Lebanon mencatat 412 kasus COVID-19, dengan delapan kematian dan 27 yang dinyatakan sembuh, menurut statistik pemerintah. Pada tingkat saat ini, jumlah kasus menjadi dua kali lipat setiap lima hingga enam hari.
Advertisement
Takut Menyebar
Tenteb, seorang mantan pekerja rumah tangga berusia 32 tahun yang telah tinggal di Libanon selama lebih dari 10 tahun, mengatakan bahwa ia mulai merasakan gejala-gejala mirip Virus Corona. Ada pun beberapa gejala yang dialaminya pada awal Maret adalah batuk dan sakit kepala yang kuat.
"Saya menjadi sangat takut, karena saya tinggal di apartemen tiga kamar dengan 14 orang," katanya, "semuanya adalah mantan pekerja rumah tangga yang melarikan diri dari majikan yang kejam atau diberhentikan selama krisis ekonomi Lebanon."
Diperkirakan 250.000 pekerja rumah tangga tinggal di Lebanon, kebanyakan datang dari sejumlah negara Afrika dan Asia Tenggara.
Tenteb mengatakan hanya dua dari 14 wanita di kediamannya, termasuk dirinya, masih mendapatkan gaji sebelum wabah Virus Corona dimulai di Lebanon pada akhir Februari.
Sekarang, keduanya telah di-PHK karena statsus lockdown sebagian yang bertujuan menghentikan penyebaran virus.
Dia mengatakan dia curiga batuknya yang kuat telah menyebabkan majikannya melepaskannya, dan dia segera ingin melakukan pengujian untuk virus corona. Tetapi dia ditolak RHUH dan diminta untuk mengobati penyakitnya sendiri dengan obat "antibiotik, vitamin, dan panadol".
Tenteb masih tidak tahu apakah dia menderita COVID-19, dan mengatakan bahwa mereka yang tinggal bersama dia "untungnya belum mengalami gejala apa pun."