Sukses

Kisah Pasien Positif Virus Corona COVID-19 Bangkit dari Mimpi Buruk

Selama beberapa hari, pasien kasus ke-119 di Singapura dibius dan berhalusinasi, sampai akhirnya ia memenangkan pertempuran melawan Virus Corona.

Liputan6.com, Singapura - Bernafas lewat bantuan tabung oksigen, tak bisa bangun dari tempat tidur adalah mimpi buruk yang baru saja dialami oleh pasien kasus ke-119 di Singapura yang terdampak Virus Corona COVID-19.

Selama beberapa hari, pasien kasus ke-119 dibius dan berhalusinasi, sampai akhirnya ia memenangkan pertempuran melawan Virus Corona jenis baru.

Dikutip dari laman Straitstimes, Rabu (1/4/2020) Pria berusia 55 tahun, yang tidak memiliki riwayat perjalanan ke negara ini terdampak Virus Corona dan harus menjalani perawatan intensif di ruang ICU Rumah Sakit Alexandra Singapura.

Dokter mengatakan bahwa 80 persen pasien yang terinfeksi oleh Virus Corona hanya menderita gejala ringan. Hanya lima persen dari kasus-kasus yang berubah menjadi separah kasus pria dengan nama samaran Ben ini.

Pasalnya, ia harus benar-benar berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Dia sangat tersentuh dengan perawatan yang diterimanya sehingga dia kembali ke rumah sakit Jumat lalu untuk berterima kasih kepada staf.

Kasus ini dimulai pada 27 Februari 2020. Kala itu, suhu badannya mencapai 37,2 derajat Celcius sehingga ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit.

Pada 29 Februari, ketika dia mengunjungi dokter lagi, suhu tubuhnya naik menjadi 38 derajat Celcius Dia tidak memiliki gejala lain.

Pada 1 Maret 2020 ia dirawat di Rumah Sakit Alexandra karena demam yang tak kunjung turun. Hingga pada tanggal 5 Maret, ia didiagnosa positif Corona COVID-19 dengan kondisi yang semakin buruk.

Dia diberikan oksigen tingkat tinggi melalui masker oksigen.

"Karena dia membutuhkan oksigen yang cukup banyak, kami memindahkannya ke ICU untuk pemantauan lebih dekat. Kami menduga dia menderita COVID-19," kata Dr Liew Mei Fong, kepala ICU, yang dipanggil pada siang hari untuk meninjau ulang kondisinya.

Demamnya naik dan turun dan paru-parunya semakin meradang dan kekurangan oksigen.

kondisinya semakin memburuk di ICU dan jelas dia harus diberikan bantuan intensif.

Kondisinya memburuk dengan sangat cepat, kata Dr Liew, yang kemudian memasukkan tabung pernapasan yang terhubung ke ventilator, ke tenggorokannya melalui mulut, untuk membantunya bernafas.

Dokter melakukan prosedur intubasi dengan alat pelindung penuh untuk menjaga agar tidak terinfeksi virus.

Apa yang Ben miliki adalah sindrom gangguan pernapasan akut, atau Ards, kondisi paru-paru yang parah dan penyebab umum kematian pada pasien COVID-19 yang sakit kritis.

Dia mengirim pesan kepada keluarganya untuk memberi tahu mereka tentang kondisinya, dan kemudian dia mengirim singkat kepada seorang teman dekat untuk memberi tahu dia di mana surat wasiatnya berada dan bahwa "jika sesuatu terjadi pada saya, tolong beri tahu keluarga saya tentang surat wasiat saya".

 

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Halusinasi

Pada tanggal 6 hingga 11 Maret pasien mulai mengalami halusinasi.

"Ketika saya diintubasi, saya ingat bangun ke ruang kantor yang saya tidak kenal," katanya.

"Itu menakutkan dalam artian aku tidak punya kendali. Aku tidak bisa keluar darinya."

Dalam satu adegan, dia menatap ruang kantor yang memiliki meja, lemari arsip, jam, dan tidak ada seorang pun di dalamnya.

Dalam adegan kedua, kata-kata - dalam bahasa Korea, bahasa yang tidak ia mengerti - terus berkedip padanya.

"Aku mencoba memejamkan mata, tetapi aku tidak bisa menghindarinya," kata Ben, yang mengalami halusinasi ini sambil dibius.

"Yang kupikirkan hanyalah oh tolong, aku hanya ingin keluar dari situasi ini, aku tidak bisa menerimanya! Lalu aku pergi ke adegan selanjutnya."

Dr Liew mengatakan Ben menderita ICU delirium, yang sangat umum pada pasien yang sakit kritis dan sedasi dosis tinggi.

Alat bantu pernapasan dan pengaruh obat bius berdosis tinggi baru mulai perlahan berkurang mulai 12 Maret.

Ia merasa lebih baik dan bisa mengingat situasi secara sadar, meski belum dapat berbicara karena pengaruh intubasi. Ben juga masih diberikan terapi oksigen melalui nasal kanula, selang bantu pernapasan yang berada di lubang hidung.

Memasuki 17 Maret, Ben mulai dipindahkan dari ICU ke ruang isolasi. Sejak itu, ia menjalani swab test sebanyak tiga kali setiap harinya. Hingga pada 21 Maret ia dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang.