Sukses

HEADLINE: Polusi Udara Sejumlah Negara Turun Saat Pandemi Corona, Bagaimana Indonesia?

Dari Venesia hingga Beijing, Los Angeles sampai Bangalore, pandemi Virus Corona jenis baru telah melahirkan langit biru dan air jernih.

Liputan6.com, Jakarta - COVID-19 bukan hanya soal sakit dan kematian. Di balik itu, dari Venesia hingga Beijing, Los Angeles sampai Bangalore, pandemi Virus Corona jenis baru telah melahirkan langit biru dan air jernih.  

Membaiknya kualitas udara dan lingkungan global, merupakan dampak tak terduga dari melemahnya ekonomi akibat pandemi Virus Corona COVID-19. Virus ini telah mendorong roda ekonomi global hingga hampir berhenti ketika pandemi melanda dunia.

Banyaknya pabrik-pabrik tutup dan mobil-mobil yang terparkir di garasi, membuat polusi udara mereda di sejumlah kota dunia. Seperti di Ibu Kota China, Beijing, yang dikenal karena tingkat polusi beracun yang mencekik paru-paru, memiliki pemandangan langit cerah yang tidak biasa karena pabrik-pabrik di kawasan itu menghentikan produksinya.

Gambar satelit dari Badan Antariksa Eropa (ESA) menunjukkan berkurangnya tingkat nitrogen dioksida, produk sampingan dari pembakaran bahan bakar fosil yang menyebabkan masalah pernapasan. Pemandangan itu tampak di seluruh kota besar di benua itu termasuk Paris, Madrid, dan Roma ketika negara-negara terkunci atau lockdown dan membatasi perjalanan mencegah penyebaran COVID-19.

Kota-kota di seluruh Amerika Serikat juga telah mengalami efek yang sama ketika warganya tinggal di rumah pada kota-kota yang rawan macet seperti Los Angeles dan New York.

Di China, penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, emisi karbon dioksida turun seperempatnya pada pertengahan Februari dibanding beberapa pekan sebelumnya, menurut analisis yang diterbitkan dalam Carbon Brief. Para ilmuwan mencatat penurunan serupa di polutan lain seperti nitrogen dioksida dan partikel di negara itu, yang telah bertahun-tahun berusaha membersihkan udara yang tersumbat asap.

"Dalam hal pergeseran atau perubahan yang benar-benar terjadi dalam semalam, ini sangat dramatis," kata Lauri Myllyvirta, penulis laporan Carbon Brief dan analis utama di Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih.

Secara teori, penurunan tajam dalam polusi dan emisi karbon ini merupakan perkembangan positif bagi Bumi dan manusia yang hidup di dalamnya. Polusi udara berkontribusi terhadap jutaan kematian di seluruh dunia setiap tahun, memperburuk penyakit kardiovaskular, dan kesehatan pernapasan.

Udara yang lebih jernih juga dapat memberikan pertolongan singkat bagi mereka yang positif Virus Corona COVID-19, membuatnya lebih mudah untuk bernapas untuk pasien yang berjuang, meskipun para ahli kesehatan mengatakan bahwa paparan polusi selama bertahun-tahun kemungkinan membuat banyak orang lebih rentan terhadap penyakit ini.

"Kerusakan sudah terjadi," kata Sascha Marschang, penjabat sekretaris jenderal Aliansi Kesehatan Masyarakat Eropa dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari Time. "Bertahun-tahun menghirup udara kotor dari asap lalu lintas dan sumber-sumber lain akan melemahkan kesehatan semua orang yang sekarang terlibat dalam pertarungan hidup atau mati."

Infografis Polusi Udara di Dunia Menurun saat Pandemi Corona. (Liputan6.com/Trieyasni)

Organisasi lingkungan internasional Greenpeace menyebut COVID-19 telah memberi dampak negatif kepada perdagangan dan ekonomi. Namun ada efek positif bagi Bumi karena kegiatan industri tertahan, polusi industri berkurang, dan kualitas lingkungan hidup meningkat.

"Krisis COVID-19 ini telah berimplikasi terhadap perlambatan dalam perdagangan dan kegiatan ekonomi secara global, seperti yang disaksikan di China, Amerika dan beberapa negara kota di Eropa," ujar Forest Campaigner Team Leader dari Greenpeace Indonesia, Arie Rompas kepada Liputan6.com, Kamis (2/4/2020). 

Meningkatnya kualitas lingkungan setelah aktivitas industri terhenti akibat lockdown, turut membuktikan bahwa manusia dan ekonomi punya andil dalam penyebaran polusi.

"Polusi udara yang hilang, sungai-sungai yang menjadi bersih, adalah bukti bahwa kerusakan lingkungan berasal dari aktivitas ekonomi manusia," lanjut Arie. 

Bagaimana dengan di Indonesia?

Greenpeace menyebut Indonesia belum mengalami hal serupa. Indonesia juga tidak menerapkan lockdown, hanya pembatasan sosial.

Selain itu, Greenpeace memantau masih ada perusahaan yang melakukan pembukaan lahan hutan di Kalimantan dan Papua. Kebijakan pembatasan sosial pemerintah juga dinilai belum memberi efek pada lingkungan. 

"Status pembatasan sosial skala luas yang baru saja di umumkan oleh pemeritah belum maskimal karena beberapa perusahaan masih terus melakukan aktivitas dan kami prihatin bahwa perusahaan ini masih terus mendapatkan keuntungan dari situasi krisis ini," jelas Arie. 

Masalah perlindungan hutan menjadi fokus serius Greenpeace, sebab ada keterkaitan antara kerusakan hutan dan penyebaran virus zoonosis. Virus Corona yang sedang mewabah termasuk kategori tersebut. 

Sementara, hutan di Indonesia terus ditebang akibat berbagai industri seperti kelapa sawit dan kayu pulp. Pemerintah diminta menyadari ada koneksi antara kesehatan manusia dan lingkungan hidup.

Perlindungan hutan ini diharapkan dilakukan bersamaan dengan memberantas COVID-19 agar membantu generasi selanjutnya agar terhindar dari penyakit-penyakit baru. "Penghancuran keanekaragaman hayati dan habitat alami menciptakan kondisi untuk virus dan penyakit baru seperti COVID-19," ucap Arie.

"Kesehatan masyarakat dan kesehatan planet berhubungan erat dan harus ditangani bersama. Kita perlu melindungi hutan dan keanekaragaman hayati dunia karena kehidupan kita," pungkasnya.

Khusus di Jakarta, kebijakan kerja dari rumah atau work from home (WFH) selama pandemi COVID-19, serta curah hujan intens, telah memperbaiki kualitas udara Ibu Kota. "Hujan yang turun di Jabodetabek juga turut membantu tercucinya atmosfer dari polusi," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Andono Warih.

Berdasarkan pemantauan di lima Stasiun Pemantauan Kualitas Udara (SPKU) yang dikelola Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, hasilnya menunjukkan perbaikan kualitas udara, terutama menurunnya kosentrasi parameter PM 2.5 selama penerapan WFH. Namun, WFH bukanlah faktor tunggal untuk memperbaiki kualitas udara Jakarta. 

"Penurunan ini juga konsisten dengan tingkat curah hujan. Ketika curah hujan tinggi, konsentrasi parameter PM 2.5 menunjukkan penurunan dan ketika hari-hari tidak hujan, konsentrasi parameter PM 2.5 sedikit meningkat," kata dia.

Selain itu, arah angin juga berpengaruh terhadap polutan jenis PM 2.5 ini atau partikel debu halus berukuran 25 mikrogram/m³. 

Pantauan Air Quality Index (AQI) AirVisual pada 2 April pukul 20.25 WIB menunjukkan, Jakarta berada pada urutan ke-33 dari urutan kota-kota berpolusi tinggi, yang artinya kualitas udara Jakarta lebih baik dari 32 kota lainnya di dunia, dengan Air Quality Index (AQI) di angka 64.

 

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 4 halaman

Polusi Turun Signifikan di Eropa

Berdasarkan pengamatan dari satelit Copernicus Sentinel-5P, menunjukkan penurunan kuat konsentrasi nitrogen dioksida di beberapa kota besar di Eropa. Seperti di Paris, Madrid, dan Roma.

Virus Corona COVID-19 telah menyebar dengan cepat di seluruh dunia. Mempengaruhi 170 negara dengan lebih dari 530.000 kasus yang dikonfirmasi.

Virus Corona dinyatakan sebagai pandemi global oleh Organisasi Kesehatan Dunia, dan sejak itu wabah ini meluas lebih cepat, demikian dikutip dari laman ESA.Int., Kamis (2/4/2020).

Untuk mengurangi penyebaran wabah COVID-19, negara-negara di seluruh dunia menerapkan langkah-langkah ketat -- menempatkan kota dan bahkan seluruh negara dalam kondisi terkunci alias lockdown.

Satelit Copernicus Sentinel-5P baru-baru ini memetakan polusi udara di seluruh Eropa dan China dan telah mengungkapkan penurunan signifikan dalam konsentrasi nitrogen dioksida -- bertepatan dengan langkah-langkah karantina yang ketat.

Para ilmuwan dari Lembaga Meteorologi Kerajaan Belanda (KNMI) telah menggunakan data dari satelit Copernicus Sentinel-5P untuk memantau cuaca dan polusi di Eropa. Gambar satelit menunjukkan konsentrasi nitrogen dioksida dari 14 hingga 25 Maret 2020, dibandingkan dengan rata-rata konsentrasi bulanan dari 2019.

Henk Eskes, dari KNMI, menjelaskan mengapa tanggal ini dipilih, "Konsentrasi nitrogen dioksida bervariasi dari hari ke hari karena perubahan cuaca. Kesimpulan tidak dapat ditarik berdasarkan hanya satu hari data saja."

Dia melanjutkan, "Dengan menggabungkan data untuk periode waktu tertentu, 10 hari dalam kasus ini, variabilitas meteorologis sebagian rata-rata keluar dan kami mulai melihat dampak perubahan karena aktivitas manusia."

"Kimia di atmosfer kita tidak linier. Oleh karena itu, persentase penurunan konsentrasi mungkin agak berbeda dari penurunan emisi. Model kimia atmosfer, yang bertanggung jawab atas perubahan harian dalam cuaca, dalam kombinasi dengan teknik pemodelan terbalik diperlukan untuk mengukur emisi berdasarkan pengamatan satelit."

Tim KNMI, bekerja sama dengan para ilmuwan di seluruh dunia, telah mulai bekerja pada analisis yang lebih rinci menggunakan data tanah, data cuaca dan pemodelan terbalik untuk menginterpretasikan konsentrasi yang diamati, untuk memperkirakan pengaruh langkah-langkah penutupan.

Henk berkomentar, "Untuk perkiraan kuantitatif dari perubahan emisi akibat transportasi dan industri, kita perlu menggabungkan data Tropomi dari satelit Copernicus Sentinel-5P dengan model kimia atmosfer. Studi-studi ini telah dimulai, tetapi akan memakan waktu untuk diselesaikan."

Negara-negara lain di Eropa utara sedang diawasi dengan ketat, termasuk Belanda dan Inggris.

Tetapi para ilmuwan telah mengamati variabilitas yang lebih besar karena perubahan kondisi cuaca. Pengukuran baru dari minggu ini akan membantu menilai perubahan nitrogen dioksida di barat laut Eropa.

Claus Zehner, manajer misi ESA Copernicus Sentinel-5P, mengatakan, "Fitur khusus dari satelit Copernicus Sentinel-5P, dengan resolusi spasial yang tinggi dan kemampuan akurat untuk mengamati gas jejak dibandingkan dengan misi satelit atmosfer lainnya, memungkinkan untuk generasi ini pengukuran konsentrasi nitrogen dioksida yang unik dari luar angkasa."

Direktur ESA untuk Program Observasi Bumi, Josef Aschbacher, mengatakan, "Kerja sama jangka panjang antara ESA dan KNMI terbukti sangat berharga dan menunjukkan pentingnya analisis pelengkap oleh berbagai organisasi mitra. Seperti yang dapat kita lihat, satelit Copernicus Sentinel-5P adalah satelit terbaik yang dilengkapi untuk memonitor konsentrasi nitrogen dioksida pada skala global."

3 dari 4 halaman

Terasa Juga di Asia

Dua negara di Asia yaitu China dan India dilaporkan mengalami penurunan tingkat polusi selama masa lockdown akibat Virus Corona COVID-19 diberlakukan pemerintah setempat.

Dikutip dari laman Mercury News  Kamis (2/4/2020), polusi udara dari nitrogen dioksida, gas yang dipancarkan mobil, pembangkit listrik dan pabrik, turun 40 persen di kota-kota China karena pembatasan sementara diberlakukan demi menekan penyebaran Virus Corona.

Gambaran terbaru dari Badan Antariksa Eropa menampilkan dampak pencemaran udara di Tiongkok ketika pihak berwenang bergerak untuk membersihkan jalan-jalan dan menutup pabrik pada Januari.

"Kami saat ini melihat pengurangan sekitar 40 persen (dalam tingkat nitrogen dioksida) di atas kota-kota China," ujar Claus Zehner yang mengelola misi satelit badan antariksa Copernicus Sentinel-5P.

"Namun ini hanyalah perkiraan kasar, karena cuaca juga berdampak pada emisi," tambahnya.

Penurunan awal yang ditunjukkan dalam animasi, yang mencakup 20 Desember tahun lalu hingga 16 Maret, bertepatan dengan perayaan Tahun Baru Imlek, ketika emisi biasanya turun, tetapi berlangsung lebih lama.

Badan antariksa itu mengatakan Layanan Pemantauan Atmosfer Copernicus juga mengamati penurunan partikel halus - polutan udara utama - pada Februari 2020 dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya.

Studi menunjukkan partikel turun sekitar 20-30% di sebagian besar China, kata badan itu.

Ketika India memberlakukan lockdown secara nasional pemerintah menginginkan agar angka penyebaran Virus Corona COVID-19 bisa ditekan.

Negara berpenduduk 1,3 miliar orang ini sangat rentan pada penyebaran virus ditambah kedisipinan warga yang masih kurang, demikian dikutip dari laman CNN.

Kunci paling ampuh adalah melakukan lockdown. Semua pabrik, pasar, toko hingga tempat ibadah juga ditutup.

Turunnya polusi secara tiba-tiba dan penampakan langit biru menandakan perubahan dramatis bagi India yang memiliki 21 dari 30 kota paling tercemar di dunia, menurut Laporan Kualitas Udara Dunia 2019 AirVisual AirVisual.

Di ibukota, New Delhi, data pemerintah menunjukkan konsentrasi rata-rata PM 2,5 turun 71 persen dalam waktu sepekan.

Angka ini turun dari 91 mikrogram per meter kubik pada 20 Maret, menjadi 26 pada 27 Maret, setelah locdown dimulai.

Organisasi Kesehatan Dunia menganggap apa pun di atas 25 tidak aman. Data dari Dewan Kontrol Polusi Pusat (CPCB), bagian dari Kementerian Lingkungan Hidup India, dikumpulkan oleh Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA).

Nitrogen dioksida naik dari 52 per meter kubik menjadi 15 pada periode yang sama. Ini juga turun 71 persen.

Mumbai, Chennai, Kolkata, dan Bangalore juga mencatat penurunan polusi udara ini.

"Saya belum pernah melihat langit biru di Delhi selama 10 tahun terakhir," kata Jyoti Pande Lavakare, salah satu pendiri organisasi lingkungan India, Care for Air.

"Ini adalah hikmah dari krisis yang mengerikan ini sehingga kita bisa melangkah keluar dan bernafas."

 

4 dari 4 halaman

Amerika Juga Mengalami

Tak ketinggalan, Amerika Serikat pun mengalami hal serupa. New York City yang merupakan salah satu kota tersibuk di dunia juga mengalami peningkatan kualitas udara.

Itu semua dikarenakan oleh kebijakan otoritas di New York yang mengimbau warganya melakukan karantina di rumah.

Mengutip dari euronews.com, lalu lintas di salah satu kota yang dipenuhi kendaraan ini berkurang 35 persen aktivitas lalu lintasnya.

Para peneliti di Universitas Columbia menemukan pengurangan tajam. "Tingkat karbonmonoksida berkurang di New York," ujar Róisín Commane, Asisten profesor di Universitas Columbia kepada AFP.

Ini cukup mencengangkan bagi sebuah kota dengan lebih dari 23 juta penduduk yang menempati peringkat 10 kota paling tercemar, dalam laporan "State of the Air" tahun 2019.

Mulai tanggal 13 Maret, monitor Earth Institute di Columbia University menunjukkan penurunan 10 persen karbon dioksida dan emisi metana, dan 50 persen penurunan karbon monoksida.