Melbourne - Beberapa seniman asal Indonesia di Australia menceritakan bagaimana mereka harus kehilangan sumber pendapatan, akibat larangan dan pembatasan jumlah kerumunan di saat Australia sedang mencoba menekan angka penularan Virus Corona COVID-19.
Wabah virus corona telah berdampak luas di berbagai sektor di Australia, termasuk industri seni.
Advertisement
Baca Juga
Pemerintah Australia mengakui signifikansi sektor seni bagi ekonomi, yang menyumbang AU$112 miliar, atau sekitar 6,4% dari nilai Produk Domestik Bruto untuk ekonomi Australia pada 2016-2017, seperti dilansir dari laman ABC Indonesia, Rabu (15/4/2020).Â
Jayanto Tan, yang pindah ke Australia di tengah kerusuhan 1998 dan menjadi warganegara Australia enam tahun kemudian, sekarang harus mengandalkan bantuan dari Centrelink yang merupakan program pendanaan Pemerintah Australia bagi warga negara mereka.
"[Bantuan dari Centrelink] mencukupi untuk makan yang sederhana, roti dan kacang hitam atau telur goreng dan kacang hitam, pasta atau 'chicken drumstick' [atau paha ayam]," kata Jayanto ketika diwawancarai via telepon.
"Untuk membayar sewa juga mencukupi. Sementara waktu memang harus hidup sederhana."
Jayanto yang bekerja sebagai seniman 'full-time' atau penuh waktu sebelumnya mendapatkan penghasilan dari mengajar 'workshop' dan mengadakan pameran seni menggunakan skema tunjangan dari organisasi kesenian di Australia.
Namun, sumber penghasilan seniman asal Tebing Tinggi, Sumatera Utara tersebut lenyap ketika gedung pagelaran, di mana ia biasa menggelar pelatihan ditutup.
Tak hanya itu dua pameran seninya diundur hingga tahun depan akibat pandemi COVID-19.
"Saat ini saya [hanya mengandalkan bantuan] Centrelink. Pendapatan saya semua ditahan sampai kapan tidak tahu," kata Jayanto.
"Dan saya kan juga memang seniman, tahu kan keadaan seniman bagaimana? Jadi apa-apa bersyukur saja."
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Andalkan Skema Bantuan
Sebagai inisiatif membantu warga yang terancam kehilangan pekerjaan di tengah pandemi COVID-19, Pemerintah Australia telah meluncurkan dua skema program subsidi, yakni 'JobSeeker' untuk mereka yang tidak memiliki pekerjaan, dan 'JobKeeper' untuk mereka yang berstatus karyawan tetap.
Bantuan Centrelink yang diterima Jayanto masuk dalam skema 'JobSeeker' karena untuk saat ini Jayanto dianggap tidak punya pekerjaan.
Tak hanya itu, ia juga sedang berusaha untuk mendapatkan bantuan dana, atau 'grant' dari sejumlah organisasi seni di Sydney, namun ia harus bersaing dengan 50.000 seniman lainnya.
Jumlah seniman ini juga termasuk 600.000 pekerja lainnya di Australia yang juga mengakses bantuan pemerintah.
"Sekarang lagi [mendaftar] banyak grant tapi susah mengharapkan dari sana. Saya mendaftar saja, kalau diterima syukur, kalau tidak juga tidak bisa marah," kata Jayanto kepada ABC News.
Namun, bila dirinya menjadi salah satu yang beruntung dan berhasil menerima 'grant', Jayanto tetap harus menunggu hingga tahun depan untuk dapat melangsungkan pamerannya.
Jayanto yang karya seninya bertema kisah keluarga, diaspora dan migran, sekarang hanya dapat berkarya di rumah sembari berbagi energi positif bagi para pengikutnya di media sosial.
"Saya sedang menyulam simbol double happiness [kebahagiaan ganda] untuk pameran tahun depan di University of Sydney. Semoga tidak dibatalkan," katanya.
"Saya juga sedang mencoba memasukkan karya masa lalu saya ke Instagram dua hari sekali ketika masih happy. Sekarang kan apa-apa sudah sedih, kelabu. Tapi ketika memasukkan karya saya ke Instagram banyak yang menunjukkan harapan indah."
Advertisement
Cerita Pekerja Seni Lainnya
Jika Jayanto menjalani profesi sebagai seniman secara penuh waktu, tidak demikian halnya dengan Nadira Farid.
Pertama kali menjejakkan kaki di Australia pada tahun 1999, Nadira sebenarnya sudah berprofesi sebagai perawat dan berstatus sebagai staf permanen pada tahun 2016.
Tetapi karena panggilan hatinya di bidang tarik suara, perempuan asal Jakarta ini memutuskan menjadi perawat 'casual', supaya bisa lebih serius melakoni 'ensemble' beraliran jazz 'Nadira and Friends' yang dirintisnya sejak tahun 2014.
"Sejak tahun lalu karena aku bertambah sibuk urusan gig [penampilan musik], aku memang selalu mengutamakan gig karena itu passion-ku, singing is my passion, dan aku rencananya ke depan memang ingin mengutamakan [bidang] ini, makanya aku switched status perawatnya menjadi casual" kata Nadira."Sok dan berani-beraninya jadi casual, padahal tahu sendiri kan risikonya. Enggak dapet cuti tahunan, enggak ada cuti sakit," tambah Nadira setengah tertawa saat berbicara dengan Hellena Souisa dari ABC News.
Keputusan Nadira sepertinya cukup beralasan karena sejak tahun 2015, ia bisa melakukan rata-rata 35 penampilan musik per tahun.
"Memang enggak sama setiap bulan karena job lebih banyak saat musim panas. Tetapi angkanya rata-rata segitu," ucap Nadira.
Sambil menjalani pilihannya antara menyanyi dan merawat orang sakit, ia membagi hidupnya dengan tinggal di dua kota, yakni Melbourne dan Hobart, di Tasmania.
Nadira memahami betul konsekuensi pilihan yang ia ambil, termasuk di saat wabah corona memaksanya tinggal di rumah.
Semua jadwal penampilan musiknya, baik di Melbourne dan Hobart, dibatalkan.
"Sampai bulan Mei sudah batal. Jadwal bulan Juni belum [dibatalkan], sepertinya pihak venue masih mau melihat situasi, berharap di bulan Juni keadaan sudah berubah," kata Nadira.
Akibatnya, Nadira yang kini tinggal di Hobart kehilangan sumber pemasukan terbesarnya.
Setidaknya 70 persen dari pendapatan Nadira dihasilkannya dari menyanyi. (Supplied: Facebook Nadira and Friends)"Pemasukan saya dari menyanyi itu kira-kira 75 persen dari total pemasukan saya per bulan, jadi memang [pendapatan saya] turun drastis sekarang," tutur Nadira.Pekerjaannya sebagai perawat casual pun tidak sesibuk yang ia bayangkan, karena sejak pandemi corona, banyak orang yang memilih untuk tidak datang ke rumah sakit kalau memang bukan untuk situasi yang sangat darurat.
Selain itu, karena peraturan larangan terbang dan bepergian di Australia, perawat yang berstatus permanen memilih tidak ke mana-mana dan bekerja dengan normal.
Akibatnya, perawat casual seperti Nadira yang biasanya dibutuhkan untuk mengisi kekosongan perawat lain yang mengambil cuti, kini tidak mendapat jadwal kerja.
Meski mengaku menghadapi situasi yang tidak mudah, ia mengaku pekerjaannya sebagai perawat, walaupun dengan jadwal kerja yang tidak menentu, masih bisa menghidupinya saat ini.
"Ya saya harus menyesuaikan saja. Semuanya diirit-irit," kata Nadira.
"Sampai saat ini rata-rata saya masih kebagian 2 sampai 3 shift [jadwal kerja] per minggu di rumah sakit dan saya bersyukur, mortgage [cicilan rumah] masih terbayar, bills [tagihan bulanan] ya telat-telat dikitlah," sambungnya.
Nadira menambahkan, meskipun bank menawarkan banyak keringanan seperti penundaan cicilan rumah selama enam bulan ke depan, ia memilih tidak berutang bila tidak benar-benar terpaksa.
Selain itu, sama seperti Jayanto, Nadira juga mengupayakan berbagai grant yang tersedia untuk melanjutkan karya seninya.
"Saya mencoba mengakses small business grant dari pemerintah, karena usaha ensemble ini sebenarnya masuk ke kategori usaha kecil karena saya mempekerjakan musisi-musisi lain," imbuh Nadira yang juga sudah memikirkan kemungkinan melakukan penampilan musik secara online.
"Kalau kita mau fokus ke masalah dan tantangan kayaknya memang berat ya, tapi kalau bisa jangan biarkan kesulitan keuangan menghentikan kita.""Take your time. Saya pikir wajar kita sedih, tapi jangan lama-lama. Dan mungkin jalani saja, kayaknya bisa kok meski mungkin uang kita sekarang terbatas. Toh pengeluaran kita juga berkurang," pungkasnya.