Liputan6.com, Yangon - Myanmar berencana akan membebaskan hampir 25.000 orang tahanan sebagai bentuk amnesti untuk menandai Tahun Baru Tradisional di negara tersebut.
Presiden Myanmar Win Myint mengatakan ada 24.896 orang yang dipenjara di seluruh negeri, termasuk 87 orang asing, demikian dikutip dari laman Channel News Asia, Jumat (17/4/2020).
Mereka akan dibebaskan tanpa syarat "untuk membawa kesenangan kepada warga Myanmar dan mempertimbangkan masalah kemanusiaan".
Advertisement
Baca Juga
Presiden tidak memberikan perincian tentang kejahatan yang dilakukan oleh para narapidana.
Kerumunan berkumpul di luar penjara Insein di ibu kota komersial Yangon berharap untuk menyambut anggota keluarga, meskipun ada larangan pertemuan untuk mencegah penyebaran Virus Corona jenis baru yang telah memicu pandemi.
Myanmar telah melaporkan 85 kasus pasien terpapar virus dan empat kematian.
Tidak secara jelas apakah pembebasan itu akan terjadi setiap tahun. Seorang juru bicara departemen penjara tidak dapat dihubungi saat dimintai komentar.
Aung San Suu Kyi mengambil alih kekuasaan pada tahun 2016, setelah lebih dari setengah abad dikuasai oleh militer. Salah satu tindakan pertamanya adalah membebaskan ratusan tahanan politik.
Departemen Lembaga Masyarakat mengatakan sebelumnya tidak ada tahanan politik di Myanmar, tetapi kelompok hak asasi mengatakan puluhan orang dipenjara karena aktivitas politik mereka.
"Pemerintah tidak benar-benar mengakui tahanan politik tetapi kami diminta beberapa daftar dan kami memberikan daftar lebih dari 70 orang," kata Aung Myo Kyaw dari Assistance Association for Political Prisoners.
"Kami masih belum tahu apakah ada di antara mereka yang dibebaskan."
Â
Simak video pilihan berikut:
Kebebasan Berekspresi
Lebih dari 331 orang dituntut dalam kasus-kasus terkait kebebasan berekspresi pada 2019, menurut Athan, kelompok hak asasi manusia.
Mereka yang berada di balik jeruji termasuk anggota rombongan puisi satir dan siswa yang dipenjara bulan lalu karena memprotes penutupan internet yang diberlakukan pemerintah.
Sementara militer mempertahankan kekuatan yang luas, para aktivis mengatakan pemerintah sipil telah gagal menggunakan mayoritas parlementernya untuk menghapuskan undang-undang represif yang membungkam perbedaan pendapat, memperketat pembatasan pada masyarakat sipil.
Advertisement