Sukses

Cerita WNI di Australia Didik Anak dalam Rumah karena Corona COVID-19

Migran asal Indonesia mendampingi anak mereka belajar di rumah di tengah pandemi Virus Corona (COVID-19).

Melbourne - Sekolah-sekolah di luar negeri memutuskan menunda tahun ajaran baru akibat ada penyebaran Virus Corona COVID-19. Ini turut berdampak ke para warga negara Indonesia (WNI) yang ada di luar negeri. 

Saat diterima menjadi mahasiswa PhD di University of Melbourne di tahun 2016, Bahruddin Jamil asal Yogyakarta membawa serta istri dan dua anaknya ke Australia.

Kedua anaknya, Malya Nazala Jagaddhita (9 tahun) duduk di kelas 4, sementara adiknya, Nararya Maulana Khalfani (6 tahun) duduk di kelas 1 di Brunswick North West Primary School, Melbourne.

Keduanya mulai menjalani sekolah di rumah mulai Rabu pekan lalu karena dampak penutupan sekolah akibat Virus Corona. Menyadari kedua anaknya sangat kehilangan suasana sekolah dan teman-teman mereka di sekolah, Bahruddin berusaha menciptakan suasana sekolah di rumahnya.

Sebelum sekolah dimulai, ia sengaja memutarkan lagu kebangsaan Australia, sebagai pengganti 'assembly', semacam upacara sekolah, yang biasanya menandai pembukaan hari pertama sekolah.

Bahruddin yang berprofesi sebagai dosen di Indonesia, tapi mengajar anak-anaknya bukanlah perkara yang mudah.

Sebagai orang Indonesia, Bahruddin mengalami kesulitan saat harus mengajarkan kedua anaknya yang sudah terbiasa dengan Bahasa Inggris di sekolah mereka. 

"Saya memang kesulitan mengajarkan mata pelajaran tertentu, seperti matematika misalnya, dalam Bahasa Inggris karena keterbatasan kosakata yang saya kuasai," kata Bahruddin kepada Hellena Souisa dari ABC News, Senin (20/4/2020).

Untuk mengatasinya, ia mencoba mencari sumber-sumber lain dari internet yang bisa membantunya menyampaikan materi pengajaran sekolah.

Untungnya, menurut Bahruddin, pihak sekolah juga tidak menetapkan target tertentu, karena dikhawatirkan akan menjadi beban orangtua.

Dampak belajar di rumah akibat adanya Virus Corona cukup tidak terduga. Selain kendala bahasa, tantangan lainnya adalah soal keterbatasan ruangan dan konsumsi data internet yang menghabiskan biaya ekstra.

"Sebagai mahasiswa penerima beasiswa, saya hanya mampu menyewa rumah yang tidak terlalu besar, padahal pihak sekolah mengimbau kami untuk menyediakan semacam ruang khusus yang memadai untuk proses belajar di rumah ini," ujarnya.

"Sekolah di rumah yang sebagian besar menggunakan media internet juga otomatis akan menambah pengeluaran karena pemakaian data internet yang lebih dari biasanya."

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

Berusaha Menyiasati Rasa Bosan Anak

Bahruddin berpendapat, tidak ada tantangan yang lebih besar, selain rasa bosan yang menyerang anak-anaknya.

Tempat dan guru yang "aneh", menjadi alasan mengapa sekolah di rumah menjadi membosankan bagi anak-anaknya.

Ia juga khawatir, kekurangannya dalam mengajar akan mempengaruhi hubungannya dengan anak-anaknya.

"Mudah-mudahan tidak (mempengaruhi hubungan ayah dan anak) dan mereka bisa melihat usaha yang saya lakukan."

Sebagai salah satu upaya mengantisipasi rasa bosan, Bahruddin kemudian melengkapi 'sekolah' dengan kantin kecil, lengkap dengan uang-uangan untuk transaksi.

"Tampaknya (kantin) ini yang jadi favorit. Apalagi di sana dijual es krim," ucap Bahruddin setengah tergelak. 

Bahruddin hanyalah salah satu dari ribuan orang tua migran di Australia yang berjuang untuk mengikuti model pembelajaran online saat ini di Australia.

Mereka rata-rata mengalami kendala bahasa dan kurangnya pengetahuan tentang sistem pendidikan Australia.

Ini juga dialami Jing Hong, warga Sydney yang beremigrasi dari Tiongkok pada 2006.

Memiliki dua anak perempuan berusia tiga dan tujuh tahun, dia mengaku kewalahan dan bingung menghadapi instruksi dan materi yang disediakan oleh sekolah putri sulungnya. 

Ia mengatakan orangtua migran lebih "kurang beruntung" ketika harus berhadapan dengan model pembelajaran online.

"Bagi banyak orangtua migran, kami terbiasa mengandalkan guru sekolah dan bimbingan pribadi, tapi sekarang kami harus melakukannya sendiri," katanya.

"Saya tahu beberapa orangtua migran dari latar belakang China, Korea, atau Jepang yang terlalu malu untuk berbicara dengan para guru, karena mereka pikir Bahasa Inggris mereka terlalu buruk."

"Orangtua Asia sangat gugup dan khawatir jika anak-anak mereka tertinggal."

3 dari 4 halaman

Akses Terbatas ke Penerjemah

Pengungsi Ahwazi, Hamideh Manish, melarikan diri dari Provinsi Khuzestan di Iran barat daya pada 2012, dan sekarang tinggal di Melbourne dengan visa perlindungan sementara.

Sebagai orangtua tunggal, dia sudah berjuang untuk secepatnya belajar Bahasa Inggris untuk membantu putrinya yang berusia 12 tahun, Raghad, mengerjakan tugas sekolahnya.

Selama COVID-19, sekolah Raghad telah meminta para orangtua untuk membantu anak-anak mereka beralih ke pembelajaran online.

"Anak saya membutuhkan seseorang untuk membantunya belajar dan mengerjakan pekerjaan rumahnya, tetapi ini sangat sulit untuk saya lakukan," kata Hamideh kepada ABC.

"Dia berusaha keras untuk memahami dan menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Saya merasa tidak berdaya dan tidak bisa membantunya karena perbedaan bahasa".

Dengan akses yang terbatas ke penerjemah karena pembatasan aktivitas, Hamideh berusaha mengatasi kesulitannya dan meminta bantuan dari sukarelawan.

Meski begitu, dia bersyukur putrinya memiliki akses ke pendidikan yang baik di Australia, sesuatu yang lebih sulit didapat di beberapa negara lain.

"Pendidikan itu penting. Penting untuk masa depannya ... dia membutuhkan seseorang untuk membantunya belajar, tetapi ini sangat sulit untuk saya lakukan sendirian." 

Mary Patetsos, ketua Federasi Dewan Masyarakat Etnis Australia (FECCA), mengatakan orangtua migran cenderung tidak memiliki infrastruktur ideal untuk membantu anak-anaknya belajar dari rumah.

"Kekhawatiran umum adalah mereka mungkin memiliki lebih sedikit akses ke teknologi, baik perangkat keras maupun perangkat lunak," katanya. 

 

4 dari 4 halaman

Respons Departemen Pendidikan

Departemen Pendidikan negara bagian New South Wales dalam sebuah pernyataan mengatakan sekolah publik telah secara aktif mengusahkan perangkat tambahan bagi siswa, dan meminjamkan perangkat sekolah jika memungkinkan.

Lebih dari 4.200 perangkat, termasuk komputer, modem, dan perangkat internet 4G, di luar perangkat yang dipinjamkan oleh sekolah-sekolah setempat, telah disediakan oleh Departemen Pendidikan pada akhir semester pertama.

Departemen Pendidikan mengatakan akan ada lebih banyak pengiriman di seluruh NSW pada awal semester kedua, yang dimulai pada 27 April mendatang. 

Untuk itu, Departemen Pendidikan mengembangkan metode belajar dari rumah dalam 35 bahasa untuk orangtua dan wali, kata juru bicara itu, dan bahan-bahan itu tersedia di hub 'Learning From Home' dan di halaman dokumen yang diterjemahkan di situs web mereka. 

Layanan Penerjemahan dan Penerjemahan gratis juga tersedia di seluruh Australia untuk membantu orangtua dan wali yang memiliki pertanyaan.

"Kami juga menargetkan keberadaan penyiar radio bahasa komunitas untuk memberi saran kepada komunitas dari latar belakang bahasa, selain Bahasa Inggris tentang bagaimana menggunakan dari bahan-bahan Learning from Home," kata juru bicara itu.

Departemen Pendidikan dan Pelatihan Victoria mengatakan sekolah-sekolah Victoria telah "dipersiapkan dengan baik" untuk mendukung siswa belajar dari rumah dalam jangka waktu dua tahun, serta anak-anak yang perlu melanjutkan sekolah di tempat tersebut. 

Departemen Pendidikan Victoria juga telah membuat informasi belajar di rumah tersedia dalam 23 bahasa untuk mendukung siswa dan keluarga mereka.