Manila - Pemberitaan media Filipina yang tak lagi beroperasi akibat diduga diberedel pemerintah kini tengah jadi sorotan.
Adalah stasiun televisi dan radio terbesar di Filipina ABS-CBN, yang terpaksa berhenti mengudara usai gagal memperpanjang izin siaran. Keputusan tersebut memperkuat tuduhan bahwa pemerintah Filipina memberedel media-media kritis.
Lisensi siaran yang berlaku selama 25 tahun berakhir pada Selasa 5 Mei 2020. Sebelumnya ABS-CBN sempat mencoba mengajukan perpanjangan izin siaran kepada parlemen Filipina. Namun hingga kini permohonan tersebut belum juga dibahas.
Advertisement
Kementerian Kehakiman mengatakan ABS-CBN bisa mengajukan banding atas keputusan pemerintah tidak memperpanjang izin siaran mereka.
“Bagi kami pembredelan ini sangat menyakitkan, juga sama menyakitkannya buat jutaan warga Filipina yang menganggap layanan kami penting buat mereka,” kata Direktur ABS-CBN, Mark Lopez, di depan kamera sebelum kanal ditutup seperti dikutip dari DW Indonesia, Jumat (8/5/2020).
Pemberitaan Kritis Terhadap Duterte
Perpecahan antara ABS-CBN dan Presiden Rodrigo Duterte berawal pada 2016, ketika sang presiden menuduh stasiun televisi itu membatalkan tayangan iklan kampanye secara sepihak, tanpa mengembalikan uang yang telah dibayarkan.
Sebaliknya ABS-CBN sejak awal mengkritik gaya kepemimpinan Duterte, terutama dalam perang narkoba yang menimbulkan banyak korban jiwa.
Februari silam Jaksa Agung José Calida mengajukan permintaan penghentian izin operasi ABS-CBN kepada Mahkamah Agung. Pemerintah beralasan pihak manajemen melanggar ketentuan lisensi yang melarang saham media nasional dijual kepada pihak asing. ABS-CBN menepis tuduhan tersebut.
Izin siaran bagi ABS-CBN sejatinya berakhir Maret silam, tapi diperpanjang selama 60 hari menyusul wabah corona. Namun Calida mengajukan banding atas putusan tersebut. Pemerintah ingin agar stasiun televisi dan radio milik ABS-CBN berhenti beroperasi sesegera mungkin.
“Kematian” Kebebasan Pers
Organisasi HAM dan lembaga pers Filipina sontak menuduh pemerintah melancarkan perang terhadap kebebasan berpendapat. “Ini menjadi pukulan serius bagi kebebasan pers di FIlipina,” kata Carlos Conde dari Human Rights Watch.
“Sulit membayangkan Duterte tidak berurusan apapun dengan perintah penutupan ini,” imbuhnya.
Sementara Butch Olano dari Amnesty International menilai langkah pemerintah “sangat tidak bertanggungjawab di saat warga sedang menghadapi pandemi COVID-19.”
“Ini adalah hari yang gelap bagi kebebasan media di Filipina, mengingatkan kita pada UU Darurat Militer ketika rejim diktatur mengambilalih semua kantor berita,” kata dia.
Bagi Daniel Bastard, Direktur Asia Pasifik di organisasi pers, Reporters Without Borders, pemberedelan terhadap ABS-CBN mengancam pluralisme media, “yang mengingatkan kita pada masa-masa paling suram kediktaturan Ferdinand Marcos dan mengisyaratkan kematian bagi demokrasi di Filipina.”
Media dalam Bidikan Duterte
ABS-CBN pernah berhenti beroperasi ketika Maros memberlakukan status darurat militer pada 22 September 1972 dan mengambilalih semua stasiun media dan kantor berita di FIlipina. Pendudukan itu baru berakhir pada 1986 seiring dengan kemunculan gerakan Revolusi Kekuasaan Rakyat yang mengakhiri kekuasaan sang diktatur.
Awal tahun 2019 ABS-CBN sempat berusaha meredakan ketegangan dengan meminta maaf secara terbuka kepada Presiden Duterte. Namun Jaksa Agung Jose Calida bersikeras menuntut penutupan stasiun. Saat ini kasus tersebut masih dibahas di Mahkamah Agung.
ABS-CBN bukan kantor berita pertama yang terancam dibredel lantaran bersitegang dengan Duterte. Sang presiden juga gemar menyerang situs berita Rappler yang kerap merilis berita kritis terhadap pemerintah.
Akibatnya salah seorang jurnalis Rappler, Maria Ressa, dijebloskan ke penjara.
Kedua media dituduh melanggar larangan kepemilikan saham oleh pihak asing seperti yang tercantum di UU Siaran Publik. Namun ABS-CBN dan Rappler menepis tuduhan tersebut.
Ketika Jurubicara Kepresidenan Harry Roque mengklaim Duterte “sepenuhnya netral” dalam keputusan pemberedelan ABS-CBN, bagian pengecekan fakta di Rappler melabeli pernyataan tersebut “salah” dengan dibubuhi tautan berisi linimassa serangan sang presiden terhadap stasiun televisi tersebut.
Saat ini Filipina bertengger di urutan 136 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers 2020 versi Reporters Without Borders.
Advertisement